1. Limbah
Jerami Padi
Padi merupakan produk pertanian utama untuk
memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduk Indonesia. Luas lahan yang tersedia cukup
besar yaitu 11,5 juta hektar dengan hasi produksi mencapai 52.078,8 ribu ton
pada tahun 2003. Sehingga jerami padi merupaka limbah hasil pertanian yang
sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Namun demikian,
pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak belum optimal Karen rendahnya
kandungan protein kasar (3 – 4%) dan tingginya kandungan serat kasar (32 – 40%)
sehingga memiliki tingkat kecernaan yang rendah yaitu berkisar antara 35 – 37 (HARYANTO
dan WINUGROHO, 2000; RANGKUTI dan DJAJANEGARA, 1983). Komposisi kimiawi jerami
padi sebagai pakan ternak terlihat pada Tabel 2. Sehubungan dengan rendahnya
nilai gizi dan daya cerna bahan kering jerami padi maka inovasi teknologi
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas jerami padi sebagai pakan ternak.
Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk meningkatkan nutrisi jerami padi
baik secara kimiawi, fisik dan biologis. Namun kombinasi dari ketiga proses
tersebut lebih sering diterapkan untuk meningkatkan kualitas dan kecernaan
pakan jerami padi.
Tabel 2. Komposisi nutrisi jerami padi
sebagai pakan ternak
Bahan kering (DM) 66
Total kecernaan(TDN)
38,1
Kadar air 60,0
Protein kasar 3,93
Serat kasar 33,00
Lemak 0,91
Kadar abu 22,44
Kalsium 0,42
Pospor 0,40
Sumber:
RANGKUTI dan DJAJANEGARA (1983);
HARYANTO (2003); MAHENDRI et al.,(2005)
Proses fermentasi
jerami padi merupakan salah satu pendekatan secara biologis untuk meningkatan kualitas
pakan jerami padi. Proses ini menggunakan biostarter untuk mempercepat
peningkatan kualitas pakan dan untuk penyimpanan jangka panjang. Bahan
biostarter yang umum digunakan adalah mikroorganisme (bakteri asam laktat) dan
jamur (Aspergillus niger) (MATHIUS, 2000; HARYANTO, 2003). Proses
fermentasi dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pengeringan dan penyimpanan.
Proses fermentasi dapat dipercepat dengan penambahan urea untuk disimpan
(dibiarkan) selama 21 hari sebelum digunakan sebagai pakan ternak. HARYANTO
(2003) melaporkan bahwa jerami padi yang telah difermentasi memiliki penampilan
bewarna coklat dengan tekstur yang lebih lunak. Kandungan nutrisi yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa fermentasi (Tabel 3) serta
memiliki nilai gizi yang sebanding dengan rumput gajah. Sementara itu, MAHENDRI
et al (2005) menambahkan bahwa kandungan protein kasar pada jerami padi
fermentasi meningkat dari 5,36% menjadi 6,78% yang sekaligus menurunkan kadar
ADF dan NDF masing-masingnya mencapai 63,91% dan 66,03%. Kandungan protein
tersebut ternyata cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi potong. Untuk memperbaiki
daya cerna pakan, energy metabolik dan daya cerna, maka pakan jerami padi
fermentasi dapat ditambahkan beberapa bahan kimia seperti urea (CHEMJONG, 1991;
HARYANTO, 2003) atau 4% NaOH. Selain itu proses fermentasi dapat menurunkan
kandungan residu pestisida golongan organokhlorin (OC) maupun organofosfat
(OP), yang mana keberadaan residu pestisida dalam pakan dapat membahayakan
kesehatan ternak dan produk ternak yang dihasilkan. Hasil pengamatan yang
dilakukan oleh INDRANINGSIH dan SANI (2005) terhadap proses fermentasi pada
pakan jerami padi di Sukamandi dan Solo menunjukkan bahwa proses fermentasi
terhadap jerami padi asal Sukamandi dapat menurunkan kandungan total residu
pestisida golongan OC dari 11,7 menjadi 2,8 ppb dan golongan OP menurun dari
2,8 menjadi 0,3 ppb. Penurunan residu pestisida dalam pakan jerami terlihat
secara nyata pada total kandungan residu kedua golongan pestisida tersebut dari
14,5 menjadi 3,1 ppb. Selain itu proses fermentasi dapat mempengaruhi degradasi
residu pestisida
Non-fermentasi (%) Fermentasi (%)
Protein kasar 5,36
6,78 12,76
Lemak kasar 0,91 0,66 5,92
Abu 21,51
24,68 8,20
ADF 68,5
63,91 38,89
NDF 78,86 66,03 42,68
Daya cerna NDF 28 – 30 50 –
55 -
Ca 0,26
0,25 0,56
Sumber: MAHENDRI
(Laporan intern Puslitbang Peternakan, 2005); HARYANTO (2003)
seperti yang diperlihatkan oleh
jerami padi asal Solo dengan fluktuasi jumlah total residu OC dari 74,8 ppb
(selama 2 minggu penyimpanan), 76,5 ppb (selama proses pengeringan) dan 11,7
ppb (pada saat jerami siap untuk diberikan kepada ternak). Total kandungan
residu kedua golongan pestisida menurun secara bertahap sesuai dengan waktu
yaitu dari 172,7; 76,5; dan 11,7 ppb. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
fermentasi jerami padi dapat mengurangi residu pestisida di dalam pakan limbah
padi. Selanjutnya, MAHENDRI et al (2005) melaporkan bahwa fermentasi
jerami padi dengan menggunakan probion dapat menurunkan kadar residu pestisida,
yang mana jerami fermentasi yang diberikan mempunyai total residu pestisida
lebih rendah daripada jerami tanpa fermentasi. Kadar residu pestisida menurun
hingga 42% untuk golongan OC dan 44% untuk golongan OP.
Daya Cerna Jerami
Jika dibandingkan dengan rumput maka
daya cerna jerami padi lebih lambat. Yang dimaksud daya cerna adalah
lamanya makanan berada dalam saluran pencernaan sejak mulai masuk dari mulut
sampai keluar melalui anus. Untuk jerami padi waktu cerna dapat mencapai
5-12 hari, sedangkan rumput hanya 2-3 hari saja. Semakin cepat waktu
cernanya maka ternak makin mudah lapar lagi dan akan mengkonsumsi makanan lebih
banyak. Sebaliknya makin lambat proses pencernaan maka hewan juga akan
membutuhkan waktu yang lama untuk lapar kembali sehingga menyebabkan jumlah
pakan yang dikonsumsi lebih sedikit. Ditambah lagi nilai nutrisi jerami
yang relatif rendah menyebabkan nutrisi yang masuk ke tubuh ternak jga sedikit
dan ternak menjadi kekurangan nutrisi.
Penghambat daya cerna pada jerami
adalah kandungan lignin, silika dan kutin yang relatif tinggi karena jerami
adalah tanaman yang sudah tua dan telah melewati fase generatif (sudah
berbuah). Namun potensi jerami sebagai sumber energi cukup baik.
Pengolahan dan Pengawetan jerami merupakan upaya untuk dapat meningkatkan daya
cerna dan mempertahanakan kualitas selama mungkin selama penyimpanan.
Jerami bisa disimpan dan diawetkan dengan cara pengeringan (haylage) dan
silage.
Pengolahan Jerami
Pengolahan yang dimaksud di sini
adalah daya upaya untuk meningkatkan daya cerna jerami sesuai dengan kualitas
rielnya. Efektifitas cerna mikroorganisme ditingkatkan agar dapat
menghancurkan lignin, silika dan kutin, di samping itu masih dapat meningkatkan
kandungan protein.
Kandungan zat-zat makanan pada jerami padi
|
Kandungan (%)
|
Bahan kering (BK)
Protein kasar (% BK)
Serat kasar (%
BK)
Lemak
(% BK)
|
47,95
4,04
31,62
0,53
|
Jerami bisa disimpan dalam keadaan
segar dan kering. Pada prinsipnya dalam upaya menyimpan jerami agar tidak
mengalami kerusakan selama penyimpanan, perlu diusahakan agar tidak terjadi
perkembangan jamur dan bakteri yaitu dengan menambahkan urea.
Bahan-dan alat :
- Jerami
segar seberat 500 kg
- Urea
7,5 kg
- Terpal
2 buah
- Sabit/Parang
- Tali
plastik
Cara mengawetkan :
- Jerami
padi segar setelah dipanen, dikumpulkan kemudian dikat padat atau dipres
- Bagian
ujung jerami yang tidak rata dipotong dan dirapikan pada saat jerami
dipres (ditekan atau dipadatkan).
- Terpal
plastik dibentangkan di atas tanah karena nantinya jerami akan dibungkus
dengan terpal tersebut. Kemudian jerami diletakan secara
berlapis-lapis, setiap lapisan ditaburi urea secara merata.
- Jika
telah cukup, maka terpal plastik digunakan sebagai pembungkusnya dan
diupayakan agar padat dan rapat agar udara tidak masuk.
- Terpal
diikat kencang agar udara tidak masuk kedalam bungkusan jerami.
- Jerami
dapat disimpan selama 30-90 hari. Sebelum diberikan pada ternak,
pembungkus jerami (terpalnya) dibuka dulu dan biarkan jerami
diangin-anginkan. Setelah itu siap diberikan pada ternak.
Amoniasi Jerami
Amoniasi jerami padi merupakan
pengolahan jerami dengan menggunakan urea untuk meningkatkan manfaat
jerami. Cara ini merupakan teknik mengolah jerami dengan biaya murah,
mudah dilakukan, aman bagi peternak maupun bagi ternak dan memberikan
keuntungan meningkatkan kadar N (nitrogen). Dengan mencampurkan urea dan
air pada jerami padi maka akan terjadi proses hidrolisa, selanjutnya dengan
enzim urease, urea akan terurai menjadi ammonia dan CO2.
Bahan yang diperlukan.
- Jerami
padi (basah atau kering),
- Urea
- Air
Alat-alat :
- Lembaran
plastik
- Timbangan
- Ember
plastik
- Sabit/parang
- Tempat
menimbun jerami
Cara membuat
- Timbang
jerami sesuai yang dibutuhkan, kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-10
cm
- Selanjutnya
urea ditimbang sebanyak 6% dari bobot jerami yang digunakan. Jika
jerami yang diolah sebanyak 50 kg maka urea yang dibutuhkan adalah 6% x 50
kg = 3 kg.
- Sediakan
air bersih sebanding dengan jumlah jerami padi yang digunakan, maka air
yang dibutuhkan adalah 50 liter. Dari jumlah tersebut 30% digunakan untuk
melarutkan urea.
- Jerami
dapat ditempatkan dalam lubang di tanah atau dengan drum ukuran :
dalamnya 1 m; lebar 75 cm atau disesuaikan dengan jumlah jerami yang
akan diolah.
- Jerami
dimasukkan ke dalam lubang atau drum secara berlapis-lapis setebal 10-20
cm. Setiap lapisan disemprotkan dengan larutan urea + air secara merata.
- Susunan
jerami makin ke atas makin kecil (berbentuk kerucut). Jika pembuatan
jerami dalam lubang sebaiknya setiap lapisan dipadatkan dengan
diinjak-injak.
- Untuk
dapat mempercepat proses pemecahan lignin (lapisan sel pada jerami)
maka gunakan daun Gamal (Glirisidia maculata) untuk meningkatkan
kadar protein serta mempercepat proses amoniasi.
- Setelah
itu jerami ditutup dengan plastik secara rapat. Setelah 1 bulan jerami
dapat diberikan pada ternak.
Jerami
Fermentasi
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan kualitas jerami padi, baik dengan cara fisik, kimia maupun
biologis. Tetapi cara-cara tersebut biasanya disamping mahal, juga hasilnya
kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya, memerlukan investasi yang mahal;
secara kimiawi meninggalkan residu yang mempunyai efek buruk sedangkan dengan
cara biologis memerlukan peralatan yang mahal dan hasilnya kurang disukai
ternak (bau amonia yang menyengat). Cara yang relatif murah, praktis dan
hasilnya sangat disukai ternak adalah fermentasi dengan menambahkan bahan mengandung
mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi
nitrogen non simbiotik (contohnya : starbio, starbioplus, EM-4 dan lain-lain).
Bahan.
- Jerami : 1
ton
- Urea :
6 kg
- Starbio
atau bahan sejenis : 6 kg
- Air
secukupnya
Tempat pembuatannya harus ada naungan/atap terhindar dari
hujan dan sinar matahari langsung.
Cara Pembuatan :
- Jerami
kering panen dilayukan selama ± 1 hari untuk mendapatkan kadar air
mendekati 60%, dengan tanda-tanda jerami kita remas, air tidak menetes tetapi
tangan kita basah.
- Jerami
yang sudah dilayukan tersebut dipindahkan ke tempat pembuatan dengan cara
ditumpuk setebal 20-30 cm (boleh diinjak-injak)
- Kemudian
ditaburkan urea, bahan pemacu mikroorganisme (starbio atau bahan sejenis)
dan air secukupnya kemudian ditumpuk lagi jerami.
- Seperti
cara di atas sehingga mencapai ketinggian + 1,5 m.
- Tumpukan
jerami dibiarkan selama 27 hari (tidak perlu dibolak-balik).
- Setelah
21 hari tumpukan jerami dibongkar lalu diangin-anginkan atau dikeringkan.
- Jerami
siap diberikan pada ternak atau kita stok dengan digulung, dibuka dan
disimpan dalam gudang.
- Tahan
disimpan selama ± 1 tahun.
Catatan :
Dalam membuat jerarni fermentasi
tidak perlu ditutup. Apabila membuat jerami fermentasi dalam jumlah sedikit
tumpukan jerami bisa ditutup dengan sehelai karung goni. Selain jerami, bahan
lain yang bisa difermentasi untuk makanan ternak antara lain : alang-alang,
pucuk tebu dll. Alang-alang dibuat fermentasi dengan dilayukan terlebih dahulu
dan harus dipotong-potong antara 5-10 cm (bahan sama yaitu starbio dan urea). Fungsi
urea pada proses pembuatan fermentasi adalah sebagai pensuplai NH4 ini
digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia dalam proses fermentasi. Jadi
disini urea tidak sebagai penambah nutrisi pakan. Bisa juga dikatakan sebagai
katalisator dalam proses fermentasi.
2. Limbah
Kelapa Sawit
Kelapa sawit
merupakan salah satu bahan pakan yang memiliki potensi sangat tinggi
dibandingkan dengan limbah hasil pertanian dan perkebunan lainnya, mengingat
total limbah yang dihasilkan terhadap luas lahan yang tersedia cukup tinggi
yaitu mencapai 55.915.860 ton/tahun (Tabel 1). Dari 56 juta ton/tahun limbah sawit
yang dihasilkan, sebanyak 11.936.000 ton dapat digunakan sebagai pakan ternak
yang lebih tinggi dari jerami padi yaitu sebanyak 3.124.730 ton. Umumnya
bagian-bagian tanaman dari kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak terdiri dari daun, pelepah, lumpur, bungkil, dan bungkil inti sawit.
Akan tetapi, potensi limbah kelapa sawit yang tinggi, ternyata belum banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Pada umumnya produk samping yang diperoleh
dari industri kelapa sawit dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: (1) berasal dari
kebun kelapa sawit (diantaranya pelepah dan daun) dan (2) dari pabrik
pengolahan buah kelapa sawit (seperti bungkil dan lumpur). Nilai nutrisi limbah
tanaman dan pengolahan kelapa sawit telah banyak dilaporkan (ARITONANG, 1984:
MATHIUS et al., 2004; PASARIBU et al., 1998). Tabel 5 menunjukkan
bahwa kandungan nutrisi limbah tanaman kelapa sawit ternyata cukup rendah
karena tingginya kandungan serat kasar tetapi mengandung karbohidrat dalam
bentuk gula mudah larut yang cukup tinggi yaitu 22% (ISHIDA dan HASSAN, 1997).
Nilai nutrisi limbah tanaman kelapa sawit umumnya setara dengan limbah tanaman
pangan maupun pakan hijauan di daerah tropis (WAN ZAHARI et al., 2003).
Sementara itu, limbah hasil pengolahan kelapa sawit juga mengandung serat kasar
yang tinggi, namun kandungan protein kasar lumpur sawit dan bungkil kelapa
sawit secara berurutan yaitu 14,58 %BK dan 16,33 % BK,yang potensial untuk
digunakan sebagai bahan bakan ternak ruminansia.
A.
Daun dan pelepah kelapa sawit
Daun
dan pelepah kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang memiliki potensi
yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal oleh peternakan sapi. Produksi daun/pelepah dapat mencapai 10,5 ton
pelepah kering/ha/tahun. Kandungan protein kasar pada kedua bahan pakan
tersebut masing-masingnya mencapai 15% BK (daun) dan 2 – 4% BK (pelepah)
(MATHIUS, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan pakan tersebut dapat meningkatkan
kandungan protein menjadi 4,8%. ISHIDA dan HASAN (1997) melaporkan bahwa
pelepah kelapa sawit mengandung protein kasar 1,9% BK; lemak 0,5% BK; dan lignin
17,4% BK, sedangkan daun mengandung protein kasar 14,8% BK; lemak 3,2% BK; dan
lignin 27,6% BK. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kedua bahan pakan tersebut
mengandung lignin yang sangat tinggi dibandingkan dengan jerami padi yang hanya
mengandung 13% BK. Tingginya kadar lignin di dalam pakan akan mengakibatkan
rendahnya palatibilitas, nilai gizi dan daya cerna terhadap pakan (WINUGROHO
dan MARIATI, 1999). Perlakuan pelepah/daun kelapa sawit dengan penambahan 8%
NaOH dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi
58% (MATHIUS, 2003). Sementaraitu, nilai nutrisi pelepah sawit dapat
ditingkatkan melalui amoniasi,penambahan molases, perlakuan alkali, pembuatan
silase/pelet, perlakuan dengan tekanan uap yang tinggi dan secara enzimatis (WAN
ZAHARI et al., 2003). Pemberian pakan daun kelapa sawit kepada sapi
jantan dapat meningkatkan bobot badan sebesar 930 g/ekor/hari (MATHIUS, 2003).
B.
Lumpur sawit dan bungkil inti sawit
Lumpur sawit dan
bungkil inti sawit adalah hasil ikutan dari pengolahan minyak kelapa sawit.
Dalam proses pengolahan minyak kelapa sawit dapat diperoleh rendemen sebesar 4
– 6% lumpur sawit dan 45% bungkil inti sawit dari tandan buah segar. Setiap
hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 840 – 1246 kg lumpur sawit dan
567 kg bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit telah lama dimanfaatkan sebagai
pakan ternak untuk ruminansia dan babi yang sedang dalam masa pertumbuhan (ARITONANG,
1984). Sebaliknya lumpur sawit belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beberapa
perkebunan kelapa sawit masih cenderung menebarkan lumpur sawit ke areal perkebunan
yang digunakan sebagai pupuk. ARITONANG (1984) melaporkan bahwa nilai nutrisi
lumpur sawit bervariasi terutama pada kandungan abu, serat kasar dan lemak (Tabel
5). Pemanfaatan limbah pengolahan hasil kelapa sawit sebagai ransum komplit komplit
(100%) ataupun sebagai pakan penguat lainnya telah banyak dilakukan untuk ternak
ruminansia. WONG dan ZAHARI (1992).
Parameter
Limbah tanaman kelapa sawit dan olahannya
Kadar air (% BK) 8,98 16,59 6,84
7,22
Bahan kering (%) 46,18 26,07 24,08
91,83
Abu (% BK) 13,40 5,10 14,40
4,14
Protein kasar (% BK) 14,12 3,07 14,58
16,33
Serat kasar (% BK) 21,52 50,94
35,88 36,68
Lemak (% BK) 4,37 1,07 14,78
6,49
BETN (% BK) 46,59 46,59 16,36
28,19
Energi bruto/GE (kal/g) 4.461
4.841 4.082
5,18
Kalsium (% BK) 0,84 0,96 1,08
0,56
Sumber:
MATHIUS, 2003
menyampaikan bahwa bungkit inti
sawit dapat diberikan 50% untuk sapi dan 30% untuk domba. Sementara itu, JELAN et
al. (1991) menyampaikan bahwa pemberian bungkil inti sawit hingga 85% dalam
ransum sapi tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan harian.
Selanjutnya BATUBARA et al (2005) menambahkan bahwa penggunaan lumpur
sawit sampai 30% dalam campuran dengan bungkil inti sawit (70%) sebagai pakan
suplemen dapat memberikan pertambahan berat badan kambing jantan sekitar 54 –
62 g/ekor/hari dengan konversi pakan sebesar 8,1 – 9,4. Tabel 5 menunjukkan
bahwa lumpur sawit mengandung protein kasar antara 12–14% dengan kadar air yang
rendah (6,8%) sehingga kurang disukai ternak. Kandungan energi yang rendah dan
kadar abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat digunakan secara
tunggal tetapi harus dicampur dengan pakan lain. Untuk mengoptimalkan penggunan
limbah pengolahan kelapa sawit yang berupa lumpur sawit dan bungkil inti sawit
perlu memanfaatkan teknologi fermentasi dengan penambahan biostarter seperti Aspergillus
niger.
3. Limbah
Jerami Jagung
Limbah agroindustri
banyak tersedia dan beragam dalam jenis di daerah tropis yang menjadi sumber
utama untuk meningkatkan produktivitas ternak. Limbah jagung adalah salah satu
contoh bahan baku pakan ternak yang tersedia di dalam negeri. Total limbah jagung yang dihasilkan
dari luas lahan 3,3 juta ha mencapai 11 juta ton per tahun. Namun limbah jagung
yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan atau pakan ternak hanya mencapai 5,2 juta
ton atau sebanyak 50% dari total limbah yang dihasilkan. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa limbah tanaman jagung belum dimanfaatkan secara optimal untuk
pakan ternak, karena kualitas yang rendah dan mengandung serat kasar yang
tinggi (27,8%).
Bahan kering (DM) 21,0
Total kecernaan (TDN) 16,3
Kadar air -
Protein kasar 3,3
Serat kasar 20,2
Lemak -
Kadar abu
4,4
Kalsium 0,18
Pospor 0,36
Sumber:
MATONDANG dan FADWIWATI, 2005
Komposisi nutrisi dari jerami
jagung sebagai bahan baku pakan ternak telah banyak dilaporkan (RANGKUTI dan
DJAJANEGARA, 1983; SAONO dan SASTRAPADJA, 1999) sebagaimana terlihat pada Tabel
6. Untuk meningkatkan kualitas bahan pakan jerami jagung, maka diperlukan
sentuhan teknologi fermentasi dengan menambahkan probiotik yang mengandung
mikroba untuk memecah serat kasar, agar dapat dicerna dengan baik oleh ternak.
MATONDANG dan FADWIWATI (2005) melaporkan bahwa pemberian pakan jerami jagung
yang difermentasi dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan pertambahan
berat badan sapi Bali.
4. Limbah
Tebu
Bagi negara tropis,
tanaman tebu merupakan tanaman yang bersifat multiguna baik sebagai pangan
manusia, pakan ternak dan bahan bakar untuk memasak (PRESTON and MURGUEITIO,
1992). Limbah utama dari tanaman tebu yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai
pakan ternak adalah pucuk tebu/daun, molases, ampas tebu dan empulur (pith).
Limbah tanaman cukup banyak tersedia di Indonesia dimana total luas lahan yang
tersedia saat ini seluas 398.600 hektar dengan kapasitas produksi mencapai 1,9
juta ton tebu. Dari total produksi tebu dapat dihasil limbah tanaman tebu
sebanyak 1,8 juta ton/tahun. Namun limbah tanaman tebu belum dimanfaatkan
secara optimal sebagai pakan ternak sebagaimana terlihat pada Tabel 1 bahwa
hanya 262.724 ton limbah yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pucuk tebu
merupakan limbah tanaman yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan
ternak. Pucuk tebu memiliki daya cerna (60–62%) lebih baik daripada jerami padi
sebanyak 29-42% (SHARIF, 1984) yang dapat digunakan sebagai pengganti rumput
gajah pada penggemukan sapi (MUSOFIE et al., 1981) karena kandungan gula
terlarut dan mineral cukup tinggi (Tabel 7). O’DONOVAN (1970) melaporkan bahwa
pemberian pucuk tebu pada sapi perah dan sapi potong dapat meningkatkan
pertambahan produksi susu sebesar 2 kg susu per hari pada sapi perah dan berat
badan sebesar 0,25 kg/hari pada sapi potong. Sementara itu, pemberian pakan
campuran pucuk tebu dan empulur (pith) meningkatkan pertambahan berat badan
yang nyata dibandingkan dengan bila diberikan secara tunggal (DONEFER et al.,
1975). Bagas adalah limbah hasil penggilingan tebu atau hasil ekstraksi sirup
tebu. Limbah ini umumnya digunakan sebagai bahan bakar dalam industri gula.
Namun, bagas merupakan pakan limbah yang berkualitas rendah karena mengandung
kadar ligno-selulosa yang tinggi. Intake bagas dapat ditingkatkan bila dicampur
dengan 55% molases dalam ransumnya. Karena bagas merupakan bahan pembawa yang
baik untuk molases, maka ransum ini akan sangat bermanfaat bila diberikan
kepada ternak pada level optimum sekitar 20–30% konsentrasi ransum. Nilai
nutrisi bagas dapat ditingkatkan dengan perlakuan alkali atau pemanasan,
sehingga karbohidrat mudah dicerna oleh ternak (ILCA, 1979). Molases adalah
tetes tebu yang umumnya digunakan sebagai sumber energi dan untuk meningkatkan
palatibilitas pakan basal, meningkatkan kandungan mineral Ca, P dan S, atau
sebagai perekat dalam pembuatan pelet. Molases dapat memberikan hingga 80%
energy metabolisibel untuk sapi potong dan pertambahan berat badan harian
antara 0,7– 0,9/kg/hari pada saat persediaan rumput terbatas (PRESTON et al.,
1987; ELIAS et al., 1968). Komposisi kandungan nutrisi limbah tanaman
tebu tertera pada Tabel 7.
Bahan kering (%) 39 50
25 73 – 80
Total kecernaan (%) 43 – 62 33 71 80
Kadar air (%BK) - - - -
Protein kasar (%BK) 5,5 2,7 1,5
4,5
Serat kasar (%BK) 35 43 24
0
Lemak (%BK) 1,4 -
- -
Kadar abu (%BK) 5,3 2,2 3,1
7,3
Kalsium (%BK) - - - -
Pospor (%BK) - - - -
Sumber: FOULKES (1986); MUSOFIE (1987).
5. Limbah tanaman
kakao
Indonesia
memiliki areal perkebunan yang sangat luas. Luas areal perkebunan di Indonesia
mencapai 16 juta hektar. Salah satunya adalah perkebunan kakao yang mencapai
1.167.000 ha (Guntoro, 2006). Selama lima tahun terakhir ini produksi kakao
terus meningkat sebesar 7,14% per tahun atau 49.200 ton pada tahun 2004
(Baharuddin, 2007). Jika proporsi limbah mencapai 74 % dari produksi, maka
limbah kulit buah kakao mencapai 36.408 ton per tahun. Hal ini merupakan suatu
potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
Selain itu
adanya harga bahan pakan konsentrat yang mahal menjadikan limbah kulit kakao
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dikarenakan tingginya
persentase produksi kulit kakao dengan harga yang relatif terjangkau. Bahkan di
daerah-daerah penghasil buah kakao, kulit buah kakao belum dimanfaatkan, hanya
menumpuk sebagai limbah.
Kulit buah
kakao merupakan limbah agroindustri yang berasal dari tanaman kakao yang
umumnya dikenal dengan tanaman coklat. Komposisi buah kakao terdiri dari 74%
kulit, 24% biji kakao dan 2% plasenta. Berdasarkan komposisi tersebut, kulit
buah kakao merupakan komposisi terbesar dari produksi buah kakao. Setelah
dilakukan analisis proksimat, kakao mengandung 22% protein dan 3 – 9% lemak
(Nasrullah dan Ela, 1993) sehingga memungkinkan dijadikan sebagai pakan
alternatif bagi ternak. Limbah kakao bisa menghasilkan bahan konsentrat yang
harganya relatif terjangkau. Pemanfaatan limbah dapat meningkatkan
produktivitas (pertumbuhan, produksi susu, telur dan lain-lain) (Guntoro,
2006).
Kulit buah
kakao dapat dimanfaatkan sebagai substitusi suplemen 5 – 15% dari ransum pada
ternak domba dan pada ternak sapi dapat meningkatkan Pertambahan Berat Badan
Harian (PBBH) 0,9 kg/hari dengan diolah terlebih dahulu. Kulit buah kakao perlu
difermentasi terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin. Kulit kakao dapat
diolah dengan cara dilakukan fermentasi terlebuh dahulu maupun tanpa perlakukan
fermentasi. Fermentor yang dapat digunakan untuk proses fermentasi dapat
menggunakan Aspergillus Niger dan hasil fermentasi dapat dimanfaatkan
untuk ternak ruminansia seperti ayam dan babi (Anonim, 2001).
Berdasarkan
penerapan di atas, diketahui bahwa penggunaan kulit buah kakao belum banyak
diaplikasikan sebagai bahan pakan alternatif bagi ternak. Dengan pertimbangan
tersebut maka perlu dilakukan kajian tentang pemanfaatan kulit buah kakao
sebagai bahan pakan bagi ternak.
Potensi
Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan Ternak
Produk
sampingan atau limbah dari buah kakao hampir sebagain besar berupa kulit buah
kakao yang mencapai 74 % dari produk utama buah kakao. Tingginya persentase
kulit buah kakao ini belum maksimal dimanfaatkan. Salah satu alternatif dalam
pemanfaatan kulit buah kakao adalah dengan menjadikannya sebagai bahan pakan
ternak baik ternak ruminansia maupun ternak unggas. Selain kuantitas yang
banyak yang mencapai 36.000 ton/tahun, harganya relatif murah dan mudah didapat
serta kandungan protein kasarnya cukup tinggi yang mencapai 10 %
(Roesmanto, 1991). Jika difermentasi dengan Aspergillus niger kadar
proteinnya mencapai 16,60 % (Guntoro, 2006). Berdasarkan hasil analisa
proksimat (Nasrullah dan Ela, 1993) kandungan protein kakao mencapai 22%.
Berdasarkan analisa kimia, limbah kakao mengandung zat-zat makanan yang dapat
dimanfaatkan untuk pakan. Menurut Zainuddin et al. (1995) kulit buah
kakao mengandung 16,5% protein, 16,5 MJ/kg dan 9,8% lemak dan setelah dilakukan
fermentasi kandungan protein meningkat menjadi 21,9%.
Nutrisi
kulit buah kakao non fermentasi jika dibandingkan dengan kulit buah kakao
fermentasi mengalami perbedaan kandungan nutrisi terutama protein kasar dan
serat kasar. Kandungan protein kasar kulit buah kakao fermentasi mengalami
peningkatan dan serat kasarnya menurun. Proses fermentasi ini mampu
meningkatkan kualitas nutrisi kulit buah kakao. Proses fermentasi dengan Aspergillus
niger mampu meningkatkan protein kasar dari 8,11 % menjadi 16,61 % dan
mampu menurunkan serat kasar dari 16,42 % menjadi 10,15 %. Penggunaan Aspergillus
niger sebagai fermentor bahan pakan ternak sering dilakukan karena adanya
sifat dari kapang yang mampu menghasilkan enzim-enzim yang berguna untuk
menurunkan serat kasar dan meningkatkan protein kasar bahan pakan. Namun
penggunaan kulit buah kakao dalam bentuk segar terbatas dikarenakan adanya zat
antinutrisi berupa theobromin sebesar 0,17 – 0,20 %.
Tabel 2.
Kandungan Theobromin (zat anti nutrisi) pada Bagian-Bagian Buah Kakao
Bagian
Buah Kakao
|
Kandungan
theobromin (%)
|
- Kulit buah
- Kulit biji - Biji |
0,17 – 0,20
1,80 – 2,10 1,90 – 2,0 |
Sumber : Wong, et al (1986)
Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Sebagai
Pakan Ternak
Pemberian
Kulit Buah Kakao Pada Ternak Kambing
Berikut ini
adalah hasil penelitian pemberian cangkang buah kakao pada ternak kambing:
No
|
Uraian
|
Rata- rata
( kg/hr/ek )
|
|
Polmas
|
Majene
|
||
1
|
Berat
badan ternak kambing percobaan
|
||
• Berat
badan awal
|
12,875 kg
|
16,00 kg
|
|
• Berat
badan akhir
|
20,067
kg
|
21,53 kg
|
|
•
Pertambahan berat badan
|
0,23
|
0,184
|
|
2
|
Berat
badan ternak kambing kontrol
|
||
• Berat
badan awal
|
12,325 kg
|
15,11 kg
|
|
• Berat
badan akhir
|
15,797 kg
|
18,117 kg
|
|
•
Pertambahan berat badan
|
0,112
|
0,097
|
Sumber :
BPTP Sulawesi Selatan 2001
Berdasarkan
tabel diatas, ternak kambing yang diberi pakan kulit buah kakao menunjukkan
adanya pertambahan berat badan dengan rata- rata 0,239 kg/hr/ek. Selain
menunjukkan pertambahan berat badan, ternak kambing yang mengkonsumsi
kulit buah kakao memberikan tampilan performans bulu yang mengkilat dan mata
berbinar, ternak terlihat lebih sehat serta aktif.
Berdasarkan
hasil penelitian di desa Ongko dan Baruga Sulawesi Selatan, pemberian kulit
buah kakao kepada ternak dapat berupa kulit kakao segar dan dalam bentuk
tepung. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kulit buah
kakao terhadap ternak kambing lebih dominan dalam bentuk segar. Hal ini
disebabkan karena pemberian pakan berupa kulit buah kakao dalam bentuk segar
lebih mudah didapatkan dibandingkan dalam bentuk lainnya.
Hasil
penelitian menunjukkan kulit buah kakao segar yang dikeringkan dengan sinar matahari
kemudian dicincang dapat langsung digunakan sebagai pakan ternak (Baharuddin,
2007). Namun, pemberian limbah kulit buah kakao secara langsung pada ternak
justru akan menurunkan berat badan ternak. Hal ini dikarenakan tingginya kadar
lignin dan selulosa yang terdapat pada kulit buah kakao. Oleh karena itu
sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak perlu difermentasikan terlebih
dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh ternak dan untuk
meningkatkan nilai protein kasarnya.
Pemberian
Kulit Buah Kakao pada Ternak Sapi
Pemberian
limbah kakao olahan untuk pakan sapi yang digemukkan (fattening)
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan sapi. Bila pemberian limbah
kakao tersebut dikombinasikan dengan pemberian ”Bio-Cas” akan menghasilkan PBB
yang lebih tinggi lagi. Penggunaan limbah kakao olahan sebagai pakan penguat
dapat meningkatkan keuntungan usaha dan keuntungan tersebut akan lebih tinggi
bila penggunaan limbah kakao dikombinasikan dengan pemberian Bio-Cas (Guntoro, 2006).
Berikut tabel pertambahan bobot badan sapi bali yang diberi pakan limbah kulit
kakao :
Berdasarkan
tabel di atas dapat dilihat terjadi kenaikan berat badan awal sapi dari 261 kg
mencapai 315,11 kg dengan PBB (Pertambahan Berat Badan) 636 g/ekor/hari selama
mengkonsumsi kulit buah kakao olahan (fermentasi). Peningkatan bobot badan ini
dikarenakan adanya kandungan gizi yang tinggi di dalam kulit buah kakao
fermentasi dibandingkan hijauan sehingga pemberiannya dalam ransum sapi mampu
meningkatkan jumlah zat-zat makanan yang terserap oleh tubuh ternak
(James dan David, 1998).
Pemberian
Kulit Buah Kakao Pada Itik
Hasil penelitian Warmadewi
(2008) menunjukkan bahwa penggunaan 10 % pod kakao dalam ransum ternyata tidak
berpengaruh terhadap jumlah ransum yang dikonsumsi oleh itik. Akan tetapi, pada
level 20 % dan 30 %, penggunaan pod kakao dalam ransum secara nyata
meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kandungan
serat kasar ransum sebagai akibat penggunaan pod kakao yang mengandung serat
kasar tinggi.
Peningkatan
kandungan serat kasar dalam ransum menyebabkan laju aliran ransum dalam saluran
pencernaan menjadi cepat (Bidura et al., 1996) sehingga konsumsi ransum
itik akan meningkat. Di samping itu, peningkatan serat kasar dalam ransum akan
mengurangi efisiensi penggunaan energi metabolis (ME) yang disebabkan oleh
terjadinya pengalihan sebagian fraksi energi netto untuk aktivitas energi
muskuler yang dibutuhkan untuk aktivitas tambahan gizard dan untuk
mendorong sisa makanan sepanjang saluran pencernaan itik (Lloyd et al., 1978).
Penggunaan
pod kakao pada tingkat 20 % dan 30 % menyebabkan penurunan berat badan akhir
itik. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi serat kasar sebagai akibat
dari penggunaan pod kakao. Serat kasar tidak dapat dicerna oleh ternak unggas
sehingga secepatnya dikeluarkan dari saluran pencernaan yang menyebabkan
peluang penyerapan zat makanan menjadi berkurang (Bidura, 2007). Serat kasar
yang tinggi menyebabkan penurunan kecernaan energi (Siri et al., 1992)
dan penyerapan lemak (Sutardi 1997) sehingga pertambahan berat badan itik
menurun. Berdasarkan penelitian Wenk dan Hadorn (l994), peningkatan kandungan
serat kasar ransum dari 3,2 % menjadi 9,1 % dan 11,2 % secara nyata menurunkan
berat badan dan karkas ayam. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Puspani
(2005) yang mendapatkan bahwa peningkatan serat kasar ransum menyebabkan
terjadinya penurunan koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan
organik ransum sehingga penyerapan nutrien ransum menjadi rendah.
Penggunaan
10 % pod kakao dalam ransum tidak berpengaruh secara nyata terhadap penampilan
itik Bali jantan umur 2 – 8 minggu. Akan tetapi, tingkat penggunaan 20 % dan 30
% pod kakao dalam ransum nyata menurunkan penampilan itik Bali jantan umur 2 –
8 minggu.
Pemberian
Kulit Buah Kakao Pada Ayam
Berdasarkan
penelitian Guntoro dan Rai Yasa (2005), penggunaan limbah kakao hasil
fermentasi pada ayam Buras petelur pada taraf 22% tidak menyebabkan penurunan
produktivitas telur tetapi memberikan peningkatan produktivitas. Penggunaan
pada ayam pedaging hingga 5% tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan,
namun penggunaan di atas level tersebut akan menyebabkan turunnya laju
pertumbuhan ayam (Zainuddin et al., 1995). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena adanya theobromin yakni zat antinutrisi pada kulit
buah kakao yang dapat menghambat pencernaan (Zainuddin et al., 1995).
Penggunaan pod-kakao yang disuplementasi probiotik dan enzim dalam ransum
mampu menurunkan kadar kolesterol broiler. Menurut Siri et al.(1992),
kecernaan energi menurun dengan semakin meningkatnya kandungan serat kasar
ransum. Kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum ternyata dapat
menurunkan kadar kolesterol dan perlemakan dalam tubuh ternak ayam (Bidura et
al.,1996). Penurunan kadar kolesterol tersebut disebabkan
karena fraksi serat kasar yaitu lignin mampu mengikat kolesterol ransum sebesar
29,2% (Linder, 1985). Serat kasar mampu menurunkan kolesterol dengan jalan
mengisi ventrikulus dan menurunkan lemak sebesar 25g/100g daging ayam
(USDA, 1997). Sejalan dengan Suwidjayana dan Bidura (1999) bahwa suplementasi
ragi tape dalam ransum dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida
daging dada itik. Syamsuhaidi (1997) melaporkan, bahwa semakin tinggi pemberian
duckweed (20-40%) sebagai sumber serat pada broiler umur 3-8
minggu cenderung menghasilkan kolesterol daging yang semakin rendah. Terjadinya
penurunan kolesterol, dikarenakan adanya kemampuan serat kasar untuk
memperbaiki ekosistem mikroflora saluran pencernaan. Penambahan 0,20% enzim optizyme
atau ragi dalam ransum yang mengandung pod kakao dapat menurunkan akumulasi
lemak tubuh dan kadar kolesterol daging broiler umur enam minggu.
6. Limbah Bawang
Putih
Bawang putih
adalah salah satu jenis tanaman herbal yang selain digunakan sebagai bumbu
dalam masakan juga bisa digunakan sebagai obat. Kandungan senyawa aktif yang
terdiri atas allisin dan ajoene serta senyawa flavonoid dalam bawang putih
menjadikannya dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan di dalam tubuh (Santosa et
al., 1991; Kim et al., 2000). Maryam et al (2003) melaporkan bahwa pemberian
ekstrak bawang putih sebesar 4% pada ransum yang mengandung Aflatoksin rendah
(0,4 mg AFB/kg) menunjukan adanya peningkatan produktivitas ayam dan produksi
telur ayam.
Senyawa –
senyawa aktif yang terkandung di dalam bawang putih diduga dapat menggantikan
fungsi dari antibiotik sintetik yang biasa diberikan kepada ayam. Sehingga efek
buruk dari penggunaan antibiotik sintetik ini bisa kita hindari, kesehatan
ternak terjaga dan produk yang dihasilkan oleh ternak juga aman untuk
dikonsumsi oleh masyarakat.
Potensi bawang putih sebagai feed
additive
Bawang putih
mempunyai kandungan yaitu saponin dan
flavonoid, disamping minyak atsiri
yan sama-sama berfungsi sebagai antibakteri. Saponin adalah senyawa aktif yang kuat dan
menimbulkan busa jika digosok dalam air sehingga bersifat seperti sabun
(Robinson, 1995) dan mempunyai kemampuan antibakterial (Ilmi, 1995).
Saponin
dapat meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah
struktur dan fungsi membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga
membran sel akan rusak dan lisis (Siswandono dan Soekarjo, 1995).Menurut
Dwidjoseputro (1994) menyatakan bahwa saponin memiliki molekul yang dapat
menarik air atau hidrofilik dan molekul yang dapat melarutkan lemak atau
lipofilik sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel yang akhirnya
menyebabkan kehancuran kuman.
Flavonoid
merupakan senyawa fenol yang bersifat desinfektan yang bekerja dengan cara
mendenaturasi protein yang dapat menyebabkan aktifitas metabolisme sel bakteri
berhenti karena semua aktifitas metabolisme sel bakteri dikatalisis oleh suatu
enzim yang merupakan protein. Berhentinya aktifitas metabolisme ini akan
mengakibatkan kematian sel bakteri (Trease dan Evans, 1978). Flavonoid juga
bersifat bakteriostatik yang bekerja melelui penghambatan sintesis dinding sel
bakteri (Masya, 1985; Soedibyo, 1998).
Bawang putih
mengandung minyak atsiri dengan unsur utama
alliin. Alliin secara enzimatis akan dipecah oleh enzim allinase menjadi
senyawa berbau khas yaitu allicin. Senyawa
allicin dikenal mempunyai daya antibakterial yang kuat. Efek antibakteri
allicin bekerja dengan cara menghancurkan kelompok –SH, yaitu kelompok
Sulfhidril dan disulfida yang terikat pada protein dan merupakan enzim penting
untuk metabolisme sel bakteri serta merupakan gugus yang penting untuk
proliferasi bakteri atau sebagai stimulator spesifik untuk multiplikasi sel
bakteri. Dengan adanya allicin inilah
maka pertumbuhan kuman dapat dihambat dan proses selanjutnya mengakibatkan
terjadinya kematian kuman (Mursito, 2003). Kandungan
kimia bawang putih per 100 gram bahan.
Bawang putih sebagai feed additive untuk ayam broiler
Pemberian
bawang putih untuk ayam broiler dapat memberikan banyak keuntungan. Kandungan –
kandungan senyawa aktif didalam umbi bawang putih mampu menggantikan fungsi
dari antibiotik sintetik didalam tubuh ayam broiler dengan jauh lebih baik.
Kandungan senyawa-senyawa aktif ini mampu memperbaiki konversi ransum,
meningkatkan kesehatan dan produktivitas ayam broiler serta mampu mengurangi
kadar lemak yang terkandung didalam daging ayam broiler. Menurut Zulbardi dan
Bintang ( 2007) pemberian tepung bawang putih sebanyak 0,02% mampu merangsang
pertambahan bobot badan ayam broiler lebih cepat, dengan pencapaian konversi
pakan sebesar 1,81 dan diikuti dengan penurunan jumlah konsumsi pakan oleh ayam
broiler. Selain itu menurut Wiryawan et al (2005) pemberian tepung bawang putih
sebanyak 2,5% didalam ransum mampu meningkatkan efisiensi pakan ayam broiler yang teinfeksi S. Typhimurium. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh senyawa- senyawa aktif seperti allisin,
selenium dan metilatil trisulfida
yang terkandung didalam umbi bawang putih. Allisin
memiliki sifat anti bakteri yang mampu membunuh bakteri – bakteri patogen.
Sedangkan selenium mampu bekerja
sebagai anti oksidan dan metilatil
trisulfisa berperan dalam mencegah pengentalan darah. Sifat - sifat dari
ketiga senyawa aktif ini dapat mempengaruhi terjadinya proses metabolisme yang
lebih baik, sehingga proses penyerapan zat makanan dapat beralangsung lebih
optimal, konsumsi ransum lebih sedikit, yang menyebabkan angka konversi ransum
lebih rendah dan pencapaian bobot badan lebih cepat.
Hasil
penelitian Hidajati (2005) memperlihatkan bahwa pemberian bawang putih dengan
dosis 2 - 3mg/ekor /hari mampu menurunkan kadar kolestrol yang terkandung
didalam daging serta meningkatkan persentase karkas ayam broiler lebih baik
jika dibandingkan dengan ayam broiler tanpa pemberian bawang putih. Menurut
Sunarto dan Pikir (1995) penurunan kadar kolestrol pada daging ayam broiler ini
disebabkan karena adanya efek hipokolesterolemik dari senyawa aktif bawang
putih yaitu allicin (disulphide- oxide tidak jenuh). Allicin mampu mengikat
gugus –SH group dari Ko-A, menyebabkan NADH dan NADPH yang dibutuhkan dalam
proses pembentukan kolestrol dihati menurun. Penurunan ini menyebabkan
kolestrol yang terkandung didalam hati ayam akan berkurang sehingga kolestrol
yang ditransfer oleh darah ke daging melalui pembuluh darah juga berkurang.
Bawang putih sebagai feed additive untuk ayam petelur
Pada ayam
petelur, pemberian ekstrak bawang putih dalam ransumnya mampu memberikan efek
yang cukup baik juga tidak jauh berbeda dengan ayam broiler. Senyawa – senyawa
aktif yang terkandung didalam umbi bawang putih mampu menggantikan fungsi
antibiotik sintetik di dalam tubuh ayam petelur. Jika pada ayam broiler lebih
terfokus pada kualitas daging yang dihasilkan dan tingkat konsumsi ransum, maka
pada ayam petelur lebih terfokus pada kualitas dan tingkat produksi telur yang
dihasilkan. Sutama dan Lindawati (2005) melaporkan, ayam petelur yang diberi
suplementasi bawang putih sebesar 4% dalam ransumnya secara nyata mampu
menurunkan kolesterol telur yang dihasilkan. Sedangkan untuk pemberian
suplementasi bawang putih sebesar 2-6% dalam ransumnya tidak memberikan
pengaruh terhadap konsumsi ransum dan produksi telur yang dihasilkan. Faktor
yang memyebabkan penurunan kadar
kolestrol telur ini sama dengan faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan
kadar kolestrol pada daging ayam broiler.
Sedangkan
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryam et al (2003), pemberian ektrak
bawang putih sebanyak 4% pada ransum ayam petelur yang diinfeksi aflaktosin 0,4
mg AFB1/kg BH dapat meningkatkan bobot badan dan produksi telur
serta dapat mengurangi kadar residu aflaktosin pada telur yang dihasilkan.
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis ayam yang digunkan dalam penelitian
ini. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Sutama dan Lindawati menggunakan ayam
petelur yang sehata tanpa infeksi aflaktosin sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Maryam et al menggunakan ayam petelur yang diinfeksi dengan
aflaktosin sehingga menyebabkan respon
yang berbeda.
7. Limbah Bulu Ayam
Salah satu
produk samping yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan secara
optimal sebagai bahan baku pakan adalah bulu ayam/ unggas. Bulu ayam berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein pakan alternatif pengganti sumber
protein konvensional seperti bungkil kedelai dan tepung ikan. Bulu-bulu itu
dapat pula dimanfaatkan untuk makanan ternak (ruminansia, non ruminansia dan
unggas).
Bulu ayam
merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif
pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini
disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Murtidjo
(1995), protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis
3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut Rasyaf (1993), bulu ayam mengandung
protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi
dibanding tepung ikan.
Bila dlihat
dari segi ketersediaannya, tepung bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai
bahan pakan alternatif dalam ransum unggas. Ini didukung oleh jumlah pemotongan
ayam yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan ketersediaan
limbah bulu ayam terus meningkat. Demikian juga, bila ditinjau dari kandungan
proteinnya maka bulu ayam cukup potensial dijadikan sebagai bahan pakan
alternatif sumber protein hewani penganti tepung ikan karena mengandung protein
cukup tinggi dan kaya akan asam amino esensial. Namun sebagai bahan pakan
alternatif, tepung bulu ayam tidak hanya dilihat dari segi ketersediaannya saja
tetapi kandungan nutrisinya apakah mendukung untuk digunakan dalam formulasi
ransum unggas secara luas.
Sebagai
bahan baku pakan ternak, bulu unggas jarang digunakan oleh pabrik pakan ternak
unggas. Walaupun mengandung protein cukup tinggi dan kaya asam amino esensial,
namun permasalahan sekarang tepung bulu ayam mempuyai faktor penghambat seperti
kandungan keratin yang digolongkan kepada protein serat. Kandungan protein
kasar yang tinggi dalam tepung bulu ayam tersebut tidak diikuti oleh nilai
biologis yang tinggi. Hal ini menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan
bahan organik pada tepung bulu ayam rendah. Nilai kecernaan yang rendah pada
tepung bulu ayam disebabkan oleh kandungan keratin. Keratin merupakan protein
yang kaya akan asam amino bersulfur, sistin. Keratin sulit dicerna karena
ikatan disulfida yang dibentuk diantara asam amino sistin menyebabkan protein
ini sulit dicerna oleh ternak unggas, baik oleh mikroorganisme rumen maupun
enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen pada ternak ruminansia.
Keratin
dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim, sehingga pada akhirnya dapat
dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Sehingga bila
tepung bulu ayam digunakan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu
diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Nilai biologis tepung
bulu ayam dapat ditingkatkan dengan berbagai pengolahan dan pemberian perlakuan
yang benar.
Berdasarkan
hasil studi di dalam dan di luar negeri, nilai biologis bulu ayam dapat
ditingkatkan dengan pengolahan dan pemberian perlakuanyang benar. Sebagai
contoh, bulu ayam yang diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan
pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat
meningkatkan kecernaan pepsin bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang
terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta
menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi
tepung bulu terolah tertera pada
Tabel 1(Rasyaf,
1990) di bawah ini.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Bulu Terolah/
Terhidrolisa
Nutrisi
|
Kandungan
|
Protein Kasar
Serat Kasar
Abu calium Phospor Garam |
85%
0,3 – 1,5%
3,0 – 3,5% 0,20 – 0,40% 0,20 – 0,65% 0,20% |
METODE
PENGOLAHAN TEPUNG BULU AYAM
Untuk meningkatkan nilai nutrisi
bulu ayam ada beberapa metode pengolahan, yaitu
1. Penggolahan Melalui Perlakuan Fisik dengan Pengaturan
Temperatur dan Tekanan Tepung bulu direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan
3,2 atmosfer selama 45 menit dan dikembalikan pada tekanan normal selama
periode tersebut. Setelah itu dikeringkan pada temperatur 600C dan digiling
hingga halus.
2. Pengolahan Secara Kimiawi / Hidrolisis Pengolahan
secara kimiawi diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan
pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat
meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan
yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta
menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction).
3. Teknik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan
kimia merupakan teknik pengolahan yang saat ini bayak dipakai oleh industri
TBA. Sejauh ini penggunaan tepung bulu tidak lebih dari 4 % dari total
formulasi ransum unggas tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Namun
penggunaan dengan level yang lebih tinggi sangat diharapkan agar diperoleh
ransum yang lebih ekonomis. Semakin baik pengolahannya, maka akan semakin baik
pula hasilnya. Untuk itu penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diharapkan
seperti penggolahan secara enzimatis melalui fermentasi tepung bulu ayam
menggunakan berbagai sumber enzim proteolitik.
PENGGUNAAN
TEPUNG BULU AYAM PADA TERNAK UNGGAS
Di
Indonesia, tepung bulu untuk bahan makanan unggas ini tersedia dalam bentuk
produk pabrik yang terjamin dan merupakan tepung bulu siap pakai atau tepung
bulu yang sudah diolah. Berbagai hasil penelitian di berbagai belahan dunia ini
menunjukkan bahwa tepung bulu dapat digunakan pada level tidak lebih dari 4 %
dari total formula ransum tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Semakin
baik pengolahannya, akan semakin baik pula hasilnya. Semakin banyak digunakan
tepung ini justru akan menekan prestasi unggas, produksi telur berkurang dan
pertambahan berat badan juga merosot (Rasyaf, 1992). Sebagai bahan makanan
unggas dan juga babi, tepung bulu ini memang tidak terlalu menggairahkan.
Sejauh mana penggunaannya memang tergantung pada kemampuan mengolah tepung bulu
itu.
Hasil
Penelitian Erpomen et al. (2005) Ransum perlakuan dengan susunan sebagai
berikut : A = Ransum tanpa TBA (kontrol), B = Penggantian 25 % protein tepung
ikan dengan TBA, C = Penggantian 50 % protein tepung ikan dengan TBA, D =
Penggantian 75 % priotein tepung ikan dengan TBA, E = Penggantian 100 % protein
tepung ikan dengan TBA. Peubah yang diamati selama penelitian : konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan, konvensi ransum. Dari hasil penelitian tahap I
terlihat bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara dosis NaOH dengan
lama pengukusan terhadap BK, PK, LK dan pengukusan fermentasi TBA memberikan
pengaruh yang sangat nyata (P<0 0="" 13="" 15="" 2="" 45="" 53="" 90="" :="" adalah="" analisis="" ayam.="" ayam.jadi="" ayam="" bahwa="" berbeda="" bk="" broiler.="" bulu="" cerna="" dalam="" dan="" dapat="" dari="" daya="" dengan="" dilihat="" diolah="" dipakai="" disimpulkan="" hal="" hasil="" i="" ikan="" ini="" kandungan="" kasar="" konsentrasi="" konsumsi="" konversi="" lama="" lemak="" level="" lk="" memberikan="" memeberikan="" menit="" menunjukkan="" naoh="" nyata="" o:p="" pada="" pbb="" pemanasan="" penelitian="" pengaruh="" pengganti="" pk="" protein="" ransum.="" ransum="" sama="" sampai="" serta="" tahap="" tanpa="" telah="" tepung="" terbaik="" terendah="" terhadap="" tertinggi="" yang="">0>
8. Limbah
Onggok Atau Kulit Ari Biji Kedelai
Di Indonesia bahan pakan bebek dari
limbah agroindustri cukup melimpah namun masih jarang digunakan untuk pakan
bebek. Limbah yang cukup besar potensinya sebagai bahan pakan diantaranya
adalah onggok dan kulit ari biji kedelai (Kleci). Onggok adalah sisa pemerasan
umbi ubi kayu untuk mendapatkan pati. Satu ton ubi kayu dapat menghasilkan 114
kg onggok. Kulit ari biji kedelai adalah limbah dari pengupasan biji kedelai.
Potensi kulit ari kedelai atau kleci sangat besar karena pada proses pembuatan
tempe selalu dihasilkan limbah kulit ari biji kedelai. Sedangkan tempe
dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Beberapa kendala dalam pemanfaatan
limbah agroindustri sebagai ransum unggas adalah tingginya kandungan serat
kasar serta adanya protein yang sulit dicerna. Salah satu cara untuk
meningkatkan nilai nutrisi pakan bebek dari limbah agroindustri adalah dengan
melakukan fermentasi. Fermentasi ini bisa dilakukan secara sederhana dan mudah
diadopsi oleh peternak. Pemanfaatan bahan pakan bebek dari limbah agroindustri
dapat mengurangi biaya pakan. Untuk membuat pakan ternak tersebut, teman –
teman dapat mencoba teknologi berikut ini. Sebagai contoh adalah pembuatan
ransum sebanyak 10 kg bahan. Jika ingin membuat lebih banyak tinggal mengalikan
sesuai kelipatan yang diinginkan. Bahan yang diperlukan adalah 1,5kg Kleci, 1,5
kg Onggok, 4kg Jagung dan 3 kg Menir Kedelai. Jadi perbandingannya 15% Kleci,
15% onggok, 40% jagung dan 30% menir kedelai. Aduklah bahan tersebut sampai
merata kemudian lakukan proses fermentasi.
Ada
dua cara fermentasi yaitu dengan Aspergillus niger atau dengan multi mikroba
Untuk fermentasi dengan Aspergillus niger tempatkan 10 kg bahan ransum dalam
ember besar dan tambahkan 8 liter air hangat. Aduk sampai rata dan biarkan
beberapa menit. Setelah agak dingin tambahkan 100 gram ragi tempe (Aspergillus
niger) dan 100 gram urea, aduk kembali hingga merata. Kemudian tutup ember dan
biarkan selama 3 hari. Selanjutnya pakan bebek dari limbah agroindustri sudah
siap untuk diberikan pada bebek.
Untuk
fermentasi dengan Multi mikroba siapkan 8 liter air dalam ember, tambahkan 10
ml multi mikroba dan aduk merata. Tambahkan 10 kg bahan ransum sambil diaduk.
Kemudian masukkan dalam karung dan tutup rapat lalu dibiarkan selama 3 hari.
Bahan yang telah difermentasi dalam jumlah banyak dapat disimpan sebagai pakan.
Sebelum disimpan agar dijemur terlebih dahulu sampai kering supaya tidak bau
ataupun ditumbuhi jamur.
Penggunaan
pakan bebek dari bahan limbah ini menunjukkan adanya kenaikan bobot yang lebih
tinggi pada bebek yang dipelihara. Sedangkan banyaknya pakan yang diperlukan
menjadi berkurang. Berarti biaya pakan juga menjadi lebih murah. Kalau mau
lebih murah, disarankan pembuatan pakannya dengan cara fermentasi multi
mikroba.
9. Limbah
Biji Karet
Salah satu
persyaratan suatu bahan dapat digunakan sebagai bahan baku pakan adalah
ketersediaannya yang melimpah, harganya relatif murah, mudah dicerna oleh
ternak, mempunyai kandungan nutrisi yang baik (protein) dan tidak berkompetisi
dengan manusia. Biji karet dapat digunakan sebagai salah satu kandidat bahan
baku pakan ternak.
Biji karet
atau para (Hevea brasilliensis) di Indonesia saat ini masih merupakan produk
sampingan
yang dapat dikategorikan belum bermanfaat karena baru sebagian kecil yang
digunakan sebagai bibit. Setiap pohon diperkirakan dapat menghasilkan 5.000
butir biji per tahun atau satu hektar lahan dapat menghasilkan 2.253 sampai 3
juta biji /tahun (ARTCONANG, 1986). Komposisi kimia daging biji karet adalah
bahan kering 92,22%; protein kasar 19,20%; lemak kasar 47,20%; serat kasar
6,00%; abu 3,49%; BETN 24,11%; dan HCN 573,72 ppm.
Penggunaannya
dalam ransum unggas terbatas (5%) karena kandungan HCN yang tinggi dan rasa
yang pahit (BESTARI, 1984). Pengolahan dengan memanfaatkan teknologi fermentasi
merupakan salah satu cara untuk memperbaiki nilai gizi dan menurunkan kandungan
HCN sehingga menjadikan biji karet tersebut lebih berkualitas.
Menurut Oyewusi et al. (2007), biji karet mengandung 10 – 22%
protein dan asam amino esensial. Biji karet telah diteliti di Indonesia untuk
pakan ternak hewan darat, namun belum
diteliti untuk pakan ikan. Tepung biji karet yang ditambahkan dengan metionin
dalam ransum babi tidak memberikan konsumsi pakan dan pertumbuhan yang optimal
(Siagian et al., 1992). Menurut Arossi et al. (1985) dalam Prawirodigdo (2007), penambahan tepng
biji karet sampai 19% dalam pakan masih layak untuk pertumbuhan ayam pedaging strain
CP 707.
Sumber Protein
Nabati
Bahan baku pakan merupakan
faktor utama yang harus tersedia dalam pembuatan pakan. Bahan baku pakan pada
umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu bahan baku yang berasal dari
tumbuhan (nabati) dan hewan (hewani).
Seiring dengan peningkatan
harga bahan baku dari hewan (tepung ikan) maka bahan baku nabati sering
digunakan sebagai bahan alternatif. Hal ini tidaklah selalu berhasil karena
mengakibatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang rendah karena menurunnya pallatabilitas
pakan (Burel et al., 1998 dalam Jobling et al., 2002). Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh keseimbangan
asam amino esensial, ketersediaan fosfor yang rendah dan dampak metabolisme
dari faktor antinutrisi (Antinutritional
Factors / ANFs) yang tidak diabaikan (Medale et al., 1998; Alarcon, 1999 dalam
Jobling et al., 2002). Beberapa
protein nabati kekurangan satu atau lebih asam amino esensial, sehingga
penggunaan protein nabati sebagai bahan baku utama pada pakan harus menyediakan
suplemen asam amino.
Penghilangan
racun
Tepung biji karet dapat digunakan sebagai
subsitusi protein pakan komersial dilihat dari sisi kandungan protein,
ketersediaan dan harganya. Namun, biji karet tersebut mengandung asam sianida yang
dapat menghambat pertumbuhan . Asam
sianida dalam biji karet dapat dihilangkan atau dikurangi kandungannya melalui
beberapa cara, yaitu perendaman (dipping) selama 24 jam, pengukusan (steaming)
pada suhu 100oC selama 6 jam, penjemuran (drying) selama 12
jam di bawah sinar matahari atau kombinasi antara pengukusan dengan penjemuran
selama 12 jam.
Penggunaaan protein pakan optimal ini dipengaruhi oleh kesimbangan
protein dan energi yang tepat dan penambahan unsur-unsur vitamin dan mineral
yang sesuai dengan kebutuhan, proses pembuatan pakan dan penyimpannya serta
pemberian pakan yang tepat dan penyediaan kondisi lingkungan (air) yang baik.
Tepung biji karet yang telah dihilangkan atau dikurangi kandungan asam
sianidanya dapat menggantikan sebagian atau seluruhnya peranan protein pakan
komersial. Indikatornya adalah kelangsungan hidup, kecernaan
pakan, pertumbuhan (protein, lemak dan energi), efisiensi pakan, dan indeks
hipatosomatik.
Tepung Biji
Karet
Tepung biji
karet merupakan salah satu bahan baku alternatif dari pakan ikan. Keunggulan
tepung biji karet adalah tepung biji karet dihasilkan dari biji tanaman karet
yang merupakan tanaman perkebunan yang paling banyak ditanam di Indonesia,
sehingga ketersediaannya dalam jumlah besar relatif terjamin. Selain itu biji
karet selama ini merupakan biji yang disia-siakan atau belum dimanfaatkan dan
tidak dapat dimakan langsung. Biji karet terdiri atas kulit luar yang keras dan
intinya banyak mengandung minyak (Murni et
al., 2008).
Dilihat dari komposisi kimianya, kandungan protein tepung biji karet
sangatlah tinggi (Tabel 1 dan 2). Selain kandungan protein yang cukup tinggi,
pola asam amino biji karet juga sangat baik. Asam amino yang paling banyak
terkandung dalam tepung biji karet adalah asam glutamik, asam aspartik dan
leucine sedangkan methionine dan cystine merupakan kandungan asam amino yang
terendah (Tabel 3).
Tabel 1. Analisis proksimat
tepung biji karet dan beberapa kandungan kimia (100 g berat kering)
Komposisi proksimat
|
Kandungan (%)
|
Air (%)
|
3,6
|
Abu (%)
|
3,4
|
Protein
(%)
|
27,0
|
Lemak (%)
|
32,3
|
BETN (%)
|
33.7
|
Tiamin
(µg)
|
450,0
|
Asam
nikotinat (µg)
|
2,5
|
Akroten
dan Tokoferol (µg)
|
250,0
|
Sianida
(mg)
|
330,0
|
Sumber:
Murni et al. (2008)
Tabel 2. Analisis proksimat
tepung biji karet dari alam dan budidaya (berat kering)
Komposisi (%)
|
Biji karet alam
|
Biji karet budidaya
|
Kadar Air
|
14,1 ± 7,0
|
2,6 ± 0,4
|
Kadar abu kasar
|
9,7 ± 2,5
|
2,3 ± 0,2
|
Kadar protein kasar
|
10,3 ± 1,7
|
21,9 ± 1,2
|
Kadar lemak kasar
|
6,4 ± 1,1
|
15,8 ± 1,9
|
BETN
|
73,7,4 ± 5,1
|
65,1 ± 5,2
|
Sumber:
Oyewusi et al. (2007).
Tabel 3. Susunan asam amino tepung biji karet dari
alam dan budidaya (g/kg protein)
Asam Amino
|
Biji karet alam
|
Biji karet budidaya
|
Glutamic acid (Glu)
|
93.10
|
112.50
|
Aspartic acid (Asp)
|
76.00
|
80.40
|
Leucine (Leu)
|
51.60
|
71.90
|
Arginine (Arg)
|
46.00
|
51.10
|
Lysine (Lys)
|
39.50
|
49.90
|
Phenylalanine (Phe)
|
38.90
|
49.00
|
Glycine (Gly)
|
32.60
|
40.10
|
Valine (Val)
|
31.70
|
38.30
|
Isoleucine (Iso)
|
30.10
|
35.10
|
Tyrosine (Try)
|
29.00
|
33.80
|
Serine (Ser)
|
21.00
|
30.20
|
Alanine (Ala)
|
17.80
|
23.90
|
Histidine (His)
|
20.10
|
23.50
|
Threonine (Thr)
|
20.50
|
23.30
|
Proline (Pro)
|
20.20
|
18.10
|
Methionine (Met)
|
10.70
|
14.90
|
Cystine (Cys)
|
9.90
|
14.60
|
Sumber:
Oyewusi et al. (2007).
Agar biji karet dapat dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu
menjadi konsentrat (Zuhra, 2006). Menurut George (1985), konsentrat adalah
hasil pemekatan fraksi protein biji karet yang kadar proteinnya sudah tinggi
menjadi lebih tinggi lagi. Dalam pembuatannya, fraksi protein akan lebih tinggi
kadarnya dengan cara mengurangi atau menghilangkan lemak atau komponen-komponen
non protein lain yang larut. Walaupun mempunyai kandungan nutrien relatif baik,
biji karet memiliki zat anti nutrien
yaitu asam sianida (HCN) atau prussic
acid.
10.
Limbah Ampas Tahu
Tahu adalah
makanan yang banyak mengandung banyak protein nabati yang banyak diminati
konsumen. Efek lain dari peningkatan produksi tahu adalah surplus ampas tahu
atau sisa dari pembuatan tahu yang belum banyak dimanfaatkan dan dianggap
kurang mempunyai nilai ekonomis.
Jika kita
mengkaji lebih lanjut dalam ampas sisa tadi masih bisa dimanfaatkan sebagai
pakan ternak yang banyak kandungan proteinya. Saat ini belum banyak peternak
yang memanfaatkan ampas tahu tadi sebagai pakan tambahan bagi ternaknya selain
konsentrat. Pertumbuhan ternak yang di bebri pakan ampas tahu lebih cepat dari
pada yang tidak diberi (Titis, 2009).
Ampas tahu
adalah salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun ransum. Sampai
saat ini ampas tahu cukup mudah didapat dengan harga murah, bahkan bisa didapat
dengan cara cuma-cuma. Ditinjau dari komposisi kimianya
ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Mengingat
kandungan protein dan lemak pada ampas tahu yang cukup tinggi. Tetapi kandungan
tersebut berbeda tiap tempat dan cara pemprosesannya. Terdapat laporan
bahwa kandungan ampas tahu yaitu protein 8,66%; lemak 3,79%; air 51,63% dan abu
1,21%, maka sangat memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan makanan
ternak (Dinas Peternakan Provinsi jawa Timur, 2011).
Limbah
adalah seluruh bahan yang terbuang dari proses produksi barang-barang kimia,
pertambangan, penyulingan, pertanian dan bahan-bahan pembuatan makanan yang
tampak perubahannya pada permukaan air. Karakteristis ampas tahu adalah
partikel atau padatan berwarna keruh keputih-putihan dan bau khas kedelai.
Karakteristik kimia ampas tahu adalah kandungan organik yaitu karbohidrat,
lemak, dan protein. Limbah padat pembuatan tahu di dalam air merupakan padatan
tersuspensi dan terendap.
Ampas tahu
yang merupakan limbah industri tahu memiliki kelebihan, yaitu kandungan protein
yang cukup tinggi (Masturi et al. 1992). Namun ampas tahu memiliki kelemahan
sebagai bahan pakan yaitu kandungan serat kasar dan air yang tinggi. Kandungan
serat kasar yang tinggi menyulitkan bahan pakan tersebut untuk dicerna itik dan
kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan daya simpannya menjadi lebih pendek
((Masturi et al., 1992 dan Mahfudz et al., 2000). Salah satu cara untuk
mengurangi kandungan serat kasar tersebut adalah diproses dengan fermentasi.
Nilai Gizi Ampas Tahu
Ditinjau
dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein.
Ampas tahu lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan kacang kedelai. Prabowo
dkk., (1983) menyatakan bahwa protein ampas tahu mempunyai nilai biologis lebih
tinggi daripada protein biji kedelai dalam keadaan mentah, karena bahan ini
berasal dari kedelai yang telah dimasak.
Ampas tahu
juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun makro yaitu untuk mikro; Fe
200-500 ppm, Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co kurang dari 1 ppm, Zn lebih dari 50
ppm.
Ampas tahu
dalam keadaan segar berkadar air sekitar 84,5 % dari bobotnya. Kadar air yang
tinggi dapat menyebabkan umur simpannya pendek. Ampas tahu basah tidak tahan
disimpan dan akan cepat menjadi asam dan busuk selama 2-3 hari, sehingga ternak
tidak menyukai lagi. Ampas tahu kering mengandung air sekitar 10,0 - 15,5 %
sehingga umur simpannya lebih lama dibandingkan dengan ampas tahu segar
(Widjatmoko, 1996)
Tabel 1. Komposisi Nutrisi/Kimia :
Nutrisi
|
Ampas tahu
|
|
Basah (%)
|
Kering (%)
|
|
Bahan.
Kering
|
14,69
|
88,35
|
Protein
Kasar
|
2,91
|
23,39
|
Serat.
Kasar
|
3,76
|
19,44
|
Lemak
kasar
|
1,39
|
9,96
|
Abu
|
0,58
|
4,58
|
BETN
|
6,05
|
30,48
|
Tahu diproduksi
dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal bila bereaksi dengan
asam. Penggumpalan protein oleh asam cuka akan berlangsung secara cepat dan
bersamaan diseluruh bagian cairan sari kedelai, sehingga sebagian besar air
yang semula tercampur dalam sari kedelai akan terkumpul di dalamnya.
Pengeluaran air yang terkumpul tersebut dapat dilakukan dengan memberikan
tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, semakin banyak air dapat
dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein itulah yang disebut dengan
tahu (Suprapti, 2005).
Sebagai
akibat proses pembuatan tahu, sebagian protein terbawa atau menjadi produk
tahu, sisanya terbagi menjadi dua, yaitu terbawa dalam limbah padat (ampas
tahu) dan limbah cair. Kandungan gizi dalam kedelai, tahu dan ampas tahu
masing-masing dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2.
Kandungan Unsur Gizi dan Kalori dalam Kedelai, Tahu dan Ampas Tahu
No
|
Unsur Gizi
|
Kadar/100
g Bahan
|
||
Kedelai
|
Tahu
|
Ampas Tahu
|
||
1
|
Energi
(kal)
|
382
|
79
|
393
|
2
|
Air (g)
|
20
|
84,4
|
4,9
|
3
|
Protein
(g)
|
30,2
|
7,8
|
17,4
|
4
|
Lemak (g)
|
15,6
|
4,6
|
5,9
|
5
|
Karbohidrat
(g)
|
30,1
|
1,6
|
67,5
|
6
|
Mineral
(g)
|
4,1
|
1,2
|
4,3
|
7
|
Kalsium
(g)
|
196
|
124
|
19
|
8
|
Fosfor (g)
|
506
|
63
|
29
|
9
|
Zat besi
(mg)
|
6,9
|
0,8
|
4
|
10
|
Vitamin A
(mg)
|
29
|
0
|
0
|
11
|
Vitamin B
(mg)
|
0,93
|
0,06
|
0,2
|
Sumber:
Daftar Analisis Bahan Makanan Fak. Kedokteran UI (Suprapti, 2005)
Pengolahan
dan Pengawetan Ampas Tahu
Ampas tahu
memiliki kadar air dan protein yang cukup tinggi sehingga bila disimpan akan
menyebabkan mudah membusuk dan berjamur. Pengolahan ampas tahu sebagai tepung
dapat dilakukan dengan cara penjemuran atau dengan pengeringan dengan sinar
matahari atau dengan oven pada suhu 45-50°C, kemudian digiling sampai menjadi
tepung (Sudigdo, 1983).
Bila
mengawetkan ampas tahu secara basah dapat dilakukan dengan pembuatan silase
tanpa menggunakan stater. Terlebih dahulu ampas tahu dikurangi kadar airnya
dengan cara dipres sampai kadar air mencapai kira-kira 75%. Lalu disimpan dalam
ruang kedap udara atau plastik tertutup rapat supaya udara tidak dapat masuk.
Setelah tertutup disimpan minimal 21 hari dan digunakan sesuai dengan
kebutuhan. Penyimpanan dengan cara pembuatan silase dapat mengawetkan ampas
tahu sampai 5-6 bulan (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 1999). Pembuatan
silase ampas tahu dapat dicampur dengan bahan pakan lain.
Proses
fermentasi akan menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan
meningkatkan nilai gizinya. Bahan pakan yang telah mengalami fermentasi akan
lebih baik kualitasnya dari bahan bakunya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi
akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan
menurunkan kadar serat kasar ampas tahu (Poultryindonesia, 2010).
Fermentasi
dapat memecah selulosa, hemiselulosa, dan polimernya menjadi gula sederhana
atau turunannya serta mampu meningkatkan nutrisi bahan asal, karena mikroba
bersifat katabolik selain juga dapat mensintesis vitamin seperti riboflavin,
vitamin B12 dan pro vitamin A (Mahfudz et al., 1997). Salah satu bahan untuk
fermentasi adalah ragi oncom yang mengandung kapang Neurospora sitophila,
kapang ini memiliki aktivitas lipolitik yang tinggi, yaitu memproduksi lipase
yang menghidrolisa trigliserida menjadi asam-asam lemak bebas.
Penggunaan
Ampas Tahu pada Unggas
Menurut
Yusrizal (2002), pemberian ampas tahu dalam ransum yang digunakan sebagai pakan
itik mojosari fase stater tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
performansnya. Ampas tahu yang digunakan dalam ransum itik Mojosari sampai
level 15 %. Hal ini berarti ampas tahu bisa diberikan sebagai bahan pakan untuk
itik Mojosari dalam fase stater dan finisher karena ampas tahu tidak
mempengaruhi performans dari itik Mojosari itu sendiri.
Pemberian
ampas tahu untuk mengetahui kualitas karkas broiler dilakukan oleh Yuni
Sofrianti (2001) diperoleh hasil bahwa pemberian ampas tahu kedalam ransum
broiler sampai level 36 % tidak menurunkan kualitas karkas broiler.
Menurut
Dessita (2003) pemberian ampas tahu sampai level 20% yang diberikan pada puyuh
(Cortunix-cortunix japonica) umur 1-6 minggu tidak memberikan efek negatif
terhadap performans puyuh umur 1-6 minggu dibandingkan ransum normal. Sedangkan
pemberian ampas tahu sampai level 10% yang diberikan pada puyuh (Cortunix-cortunix
japonica) setelah 6 bulan produksi secara kumulatif tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan
konversi ransum (Ferdinan sembiring, 2002).
Terhadap
produksi telur puyuh, pemberian tepung ampas tahu dalam ransum taraf 10% pada
puyuh umur 20-32 minggu secara kumulatif tidak berdampak negatif terhadap
konsumsi ransum, prouksi telur, berat telur dan konversi ransum (Suparyanto,
2003).
11.
Limbah Kulit Pisang
Kulit pisang
merupakan limbah dari industri pengolahan pisang. Pengolahan pisang akan
menghasilkan limbah kulit pisang yang cukup banyak jumlahnya yaitu kira-kira
sepertiga dari buah pisang yang belum dikupas (Munadjim, 1983 disitasi oleh
Siti Qotimah). Selain menjadi limbah industri pengolahan pisang, kulit pisang
juga merupakan limbah rumah tangga yang jika dibuang sembarangan akan mengakibatkan
orang lain terpeleset dan mengotori lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perlu
adanya pengolahan kulit pisang menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Limbah kulit
pisang ini dapat dimanfaatkan untuk cuka kulit pisang, nata de banana, wine
(anggur), dan pakan ternak. Dilihat dari komposisinya, kulit pisang memiliki
kandungan vitamin A sangat tinggi, terutama provitamin A, yaitu beta-karoten,
sebesar 45 mg per 100 gram berat kering. Beta-karoten berperan sebagai
antioksidan (Elvien, 2010 disitasi oleh Siti Qotimah). Selain itu, kulit pisang
juga mengandung karbohidrat terutama bahan ekstrak tanpa nitrogen sebesar 66,20
% (Heruwatno, 1993 disitasi oleh Siti Qotimah), sehingga dapat digunakan untuk
mengganti sebagian jagung atau dedak dalam ransum.
Kandungan
nutrisi kulit pisang sangat berpotensi sekali sebagai sumber karbohidrat yang
baik untuk semua fase kehidupan ternak. Kandungan karbohidrat terutama bahan
ekstrak tanpa nitrogen sebesar 66,20 % (Heruwatno, dkk. 1993) dan masih
mengandung selulosa dan hemiselulosa sebesar 40 % dari total serat kasar yang
dikandungnya (Parakkasi, 1990) dengan kandungan serat kasar kulit pisang
sebesar 13 % (Gohl, 1981). Van Soest (1994) bahwa selulosa dan hemiselulosa
merupakan komponen dinding sel tanaman yang masih dapat dimanfaatkan oleh
ternak ruminansia. Hasil analisis kulit pisang yang dilakukan di Laboratorium
nutrisi dan makanan Ternak Universitas Brawijaya (Susilowati, 1997) diperoleh
komposisi nutrient sebagai berikut : BK = 12,6 %; BO = 80,36%; PK = 8,36 %;
gula reduksi = 42,34 % dan gula terlarut = 5,41 %. Kandungan karbohidrat yang
besar terutama gula reduksi pada kulit pisang ambon termasuk dalam Readily
Available Carbohidrates (RAC) dengan energy bruto sebesar 3724,32 Kcal/kg.
Adanya
ancaman kenaikan harga bahan baku pakan, seperti jagung, maka dibutuhkan bahan
yang dapat disubtitusi untuk menurunkan biaya pakan. Adanya substitusi sebagian
jagung dengan limbah kulit pisang akan dapat mengurangi biaya pakan dan juga
berpengaruh dengan biaya produksi yang dikeluarkan peternak.
Pada
beberapa penelitian menunjukkan pemberian pakan buatan yang mengandung tepung
kulit pisang dapat meningkatkan produksi ayam kampung dilihat dari pertambahan
berat badan, konsumsi pakan, konversi pakan, kadar kolesterol dalam serum
darah, daging, hati, feses, dan berat organ pencernaan.
Pemberian
pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang juga dapat menghasilkan daging
ayam broiler dengan kadar kolesterol rendah. Hal ini menunjukkan kulit pisang
dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas yang dapat menghasilkan produk yang
rendah kolesterol. Kandungan kolesterol yang tinggi akan menyebabkan banyak
orang yang menghindari untuk mengkonsumsi produk tersebut demi kesehatan. Oleh
karena itu, diperlukan produk ternak unggas yang sehat dan rendah kolesterol.
Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan kulit pisang sebagai pakan unggas.
Analisis Proksimat Kulit Pisang
Hasil
analisis proksimat untuk pengukuran kadar: protein, lemak, BETN, serat kasar,
abu, kalsium dan phosphor, ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
(P>0.05) antara pengeringan oven dan jemur, kecuali untuk kadar air dan
energi. Hasil analisis kulit pisang di Indonesia menunjukkan bahwa kulit pisang
memiliki kandungan – kandungan makanan yang cukup tinggi.
Dari hasil
analisis proksimat diperoleh komposisi nutrient kulit pisang sebagai berikut :
BK = 12,6 %; BO = 80,36%; PK = 8,36 %; gula reduksi = 42,34 % dan gula terlarut
= 5,41 %. Kandungan karbohidrat yang besar terutama gula reduksi pada kulit
pisang ambon termasuk dalam Readily Available Carbohidrates (RAC) dengan
energy bruto sebesar 3724,32 Kcal/kg.
Sifat Fisik Dan Kimia Kulit Pisang
Pengolahan
kulit pisang menjadi produk tepung adalah salah satu upaya menanggulangi limbah
kulit pisang, sehingga mempunyai manfaat dan bernilai ekonomi. Menurut
penelitian beberapa ahli, kulit pisang dijadikan tepung dengan cara diblender
menghasilkan sifat seperti dibawah ini :
• Sifat Fisika
- Tekstur tepungnya halus
- Panjang : 12 – 18 cm
- Warna : Coklat Tua
• Sifat Kimia
- Mudah teroksidasi, dengan ditandai oleh perubahan warna pada kulit pisang.
- Memiliki nilai gizi yang cukup tinggi
• Sifat Fisika
- Tekstur tepungnya halus
- Panjang : 12 – 18 cm
- Warna : Coklat Tua
• Sifat Kimia
- Mudah teroksidasi, dengan ditandai oleh perubahan warna pada kulit pisang.
- Memiliki nilai gizi yang cukup tinggi
Analisis Kecernaan Kulit Pisang
Tingkat
kecernaan, konsumsi dan efisiensi penggunaan nutrisi bahan pakan asal limbah
atau hasil sisa tanaman dipengaruhi oleh tingkat kandungan berbagai senyawa
kimiawi yang bersifat penghambat (inhibitor). Pada bahan pakan asal tanaman
pangan faktor penghambat didominasi oleh kelompok senyawa fenolik polimer
seprti lignin yang terdapat di dalam dinding sel. Pada batang dan daun pisang
kandungan lignin mencapai 12% (ROXAS et al., 1996; QUIROS et al., 1996 disitasi
oleh Siti Qotimah). Rendahnya kecernaan bahan kering tanaman pisang (42%)
kemungkinan terkait dengan kadar lignin dan tannin.
Fakta Manfaat Kulit Pisang Untuk Pakan Unggas
Telah
dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi tepung kulit
pisang sebagai pakan ayam broiler untuk menghasilkan daging yang mengandung
kolesterol rendah oleh Hernawati dkk. Sebanyak 20 ekor ayam broiler digunakan
dalam desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL). Ayam broiler diberikan
pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dengan kadar yaitu 30%, 50%
dan 70% dalam 100 gram pakan, sedangkan kontrol diberikan pakan buatan tanpa
tepung kulit pisang. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Pakan buatan
diberikan setiap pagi dan sore sebanyak 100 g/ekor, serta air minum diberikan
secara ad libitum. Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang
dengan kadar 30%, 50%, dan 70% menurunkan konsumsi ransum, bobot badan, berat
karkas, namun meningkatkan konversi ransum. Pakan buatan yang mengandung tepung
kulit pisang dengan kadar 30%, 50%, dan 70% tidak mempengaruhi kadar kolesterol
dalam darah, menurunkan kadar kolesterol daging, meningkatkan kadar kolesterol
hati dan feses. Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dengan kadar
serat 30%, 50% dan 70% dapat diterima sebagai alternatif pakan ayam broiler
untuk menghasilkan daging dengan kadar kolesterol rendah. Penggunaan tepung
kulit pisang sebagai bahan pakan ayam broiler sebaiknya pada kadar 30% atau
50%. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan konsumsi ransum, pertambahan bobot
badan, konversi ransum, berat karkas, kolesterol daging menghasilkan nilai yang
cukup baik. Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa pemberian pakan buatan
yang mengandung tepung kulit pisang dapat menghasilkan daging ayam broiler
dengan kadar kolesterol rendah.
Penelitian
penggunaan kulit pisang sudah dilakukan di Indonesia. Kulit pisang sebagai
pakan basal ternak punya kendala kandungan serat kasar rendah sehingga
pemberiannya harus ditambahkan hijauan berserat kasar tinggi. Tetapi karena
kulit pisang kaya energy sehingga pemberiaanya bisa dicampurkan dengan nitrogen
bukan protein (NPN) seperti urea sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein
mikroba (single cell protein). Penggunaan urea dalam pakan sumber
protein dianjurkan maksimum sebanyak 1 % dari total bahan kering konsentrat
atau sebanyak 5 % dari protein konsentrat. Mengingat urea merupakan bahan kimia
menjadi tidak tepat mempunyai banyak kelemahan yaitu terjadinya polusi tanah
dan lingkungan serta residu yang berbahaya dalam saluran pencernaan ternak,
sehingga penggunaan bahan kimia ini tidak begitu dianjurkan.
Cara dan
Dampak Pemberian Kulit Pisang bagi Ternak
Dari
berbagai macam penelitian yang telah dilakukan dijelaskan bahwa tepung kulit
pisang tidak hanya dijadikan sebagai bahan pakan pengganti untuk ternak, tetapi
sebagai bahan pakan pelengkap yang dapat melengkapi nutrisi yang belum ada pada
pakan utama. Pemberian kulit pisang dapat dicampur dengan pakan utama, tetapi
batas pemberiannya hanya 30%-50% dari total ransum yang diberikan.
Dijelaskan pula dampak dari pemberian ransum dengan bahan campuran tepung
kulit pisang pada ternak unggas, khususnya ayam broiler, dapat menurunkan
konsumsi ransum, bobot badan, berat karkas, namun meningkatkan konversi ransum.
Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang tidak mempengaruhi kadar
kolesterol dalam darah, dapat menurunkan kadar kolesterol daging, meningkatkan
kadar kolesterol hati dan feses.
12.
Limbah Lumpur Sawit
Penyediaan
ransum yang murah, tersedia dan baik kualitasnya serta tidak bersifat racun
perlu dilakukan untuk menekan biaya produksi, dimana 60%-70% dari komponen
biaya produksi adalah biaya ransum.Salah satu upaya yang dilakukan untuk
menekan biaya ransum adalah dengan memanfaatkan sumber bahan pakan non
kovensial yang mempunyai nilai ekonomis rendah, tidak bersaing dengan
manusia, serta tersedia secara terus menerus. Sumber bahan pakan yang dimaksud
dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan limbah pertanian, salah satunya adalah
limbah pabrik kelapa sawit.
Limbah
kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternate ternak unggas
dan punya potensi yang besar adalah bungkil inti sawit dan Lumpur sawit,
yang sampai saat ini limbah tersebut belum digunakan secara maksimal sebagai
bahan pakan dalam ransum ternak.
Lumpur sawit (palm sludge) merupakan limbah pengolahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), yang memungkinkan untuk dioptimalkan pemanfaatannya sebagai bahan pakan penyusun ransum unggas
Lumpur sawit (palm sludge) merupakan limbah pengolahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), yang memungkinkan untuk dioptimalkan pemanfaatannya sebagai bahan pakan penyusun ransum unggas
Penggunaan
Lumpur sawit sebagai bahan pakan ayam pedaging akan memberikan keuntungan ganda
yaitu menambah variasi dann persediaan bahan baku ransum serta mengurangi
pencemaran lingkungan, disamping dapat memberikan keuntungan lain dalam hal
penekanan biaya ransum.
Penggunaan
limbah di atas sebagai ransum ternak harus melalui penanganan dan pengolahan
lebih lanjut atau perlu sentuhan tehnologi untuk meningkatkan nilai gizi nya,
dikarenakan bahan limbah ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu serat kasar
tinggi, kandungan protein dan kecernaan rendah (Zamora et al. 1989). Menurut
Sinurat 1998 dalam Mirwandhono (2004), teknologi untuk meningkatkan mutu bahan
pakan adalah dengan fermentasi.
Tehnik ini
sudah dilaporkan dapat meningkatkan nilai gizi Lumpur sawit (Sinurat et al.,
1998. Pasaribu et al, 1998). Secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya
mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan
asalnya sehingga dapat meningkatkan nilai gizinya (Purwadaria et al.,
1995; Sinurat dkk., 1996; Supriyati dkk., 1998). Fermentasi juga berfungsi
sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan cara untuk
mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang dikandung suatu bahan. Berbagai jenis
mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk mengkonversikan pati menjadi protein
dengan penambahan nitrogen anorganik melalui fermentasi. Kapang yang
sering digunakan dalam teknologi fermentasi antara lain Aspergillus niger.A.
niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak menghasilkan
mikotoksin sehingga tidak membahayakan. Produk fermentasi ini mempunyai
kandungan protein kasar dan protein sejati yang lebih tinggi dari bahan
asalnya. Lumpur sawit memiliki komposisi nutrisi yang setara dengan
dedak padi.
Lumpur sawit mengandung protein kasar 13,3 %, lemak kasar 18,9%, serat kasar 16,3%, abu 12%, dan BETN 39,6% (Widyawati, 1991 dalam Mairizal dkk, 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Balitnak Ciawi diketahui bahwa proses fermentasi Lumpur sawit dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai gizinya namun produk hasil fermentasi tersebut dalam aplikasinya hanya efektif digunakan sampai taraf 10% dalam ransum ( Sinurat dkk. 2001)
Lumpur sawit mengandung protein kasar 13,3 %, lemak kasar 18,9%, serat kasar 16,3%, abu 12%, dan BETN 39,6% (Widyawati, 1991 dalam Mairizal dkk, 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Balitnak Ciawi diketahui bahwa proses fermentasi Lumpur sawit dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai gizinya namun produk hasil fermentasi tersebut dalam aplikasinya hanya efektif digunakan sampai taraf 10% dalam ransum ( Sinurat dkk. 2001)
Berdasarkan
pemikiran di atas, maka cukup beralasan untuk mengadakan kajian mengenai
pemanfaatan Lumpur sawit terfermentasi dalam ransum untuk menunjang
kinerja pertumbuhan ayam pedaging serta mendukung pengembangan perunggasan di
Indonesia.
Potensi
Limbah Sawit Sebagai Ransum Ternak
Tanaman
kelapa sawit meghasilkan 4 jenis limbah utama yang digunakan sebagai bahan
pakan ternak yaitu daun sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit dan serabut
sawit. Limbah ini cukup melimpah sepanjang tahun, namun penggunaannya sebagai
bahan pakan belum digunakan secara maksimal sampai sekarang. Dari
693.015,64 ha kebun kelapa sawit dihasilkan tandan buah segar sebesar 10,40
juta ton per tahun dan akan dihasilkan limbah pabrik pengolahan sawit berupa
lumpur sawit 0,52 juta ton dan bungkil inti sawit sebesar ,24 juta ton, dan serat
buah 1,25 juta ton pertahun. Lumpur sawit adalah larutan buangan yang
dihasilkan selama proses pemanasan minyak mentah sawit. Bahan ini merupakan
emulsi mengandung sekitar 20% padatan, 0,5-1% sisa minyak dan sekitar 78-79% air
(Devendra, 1997 dalam Mirwandhono 2004).
Aspergillus
Sebagai Inokulum Fermentasi
Penggunaan
kapang sebagai inokulum fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya
relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleat rendah ( Mirwandhono, 2004).
Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti
kapas yang mulanya berwarna putih , tetapi jika spora telah timbul akan
terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapangnya.
Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al., 1989). Aspergillus niger mempunyai konidi yang besar, dipak secara padat, bulat, dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memasang di stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 ºC-37 ºC.
Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al., 1989). Aspergillus niger mempunyai konidi yang besar, dipak secara padat, bulat, dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memasang di stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 ºC-37 ºC.
Perubahan
Kandungan nutrisi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger
Setelah
lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, kandungan PK nya naik menjadi 35,43 %
dari 13,25% dan serat kasarnya menjadi 13,8% dari 16,3%. Kenaikan PK LSF ini
dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering yang
tinggi (28,77%), kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang
tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk
mencegah urea menjadi asam amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari. Asam amonnia
dapat digunakan oleh kapang untuk pebentukan asam amino. Sedangkan perubahan
kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang , kemampuan
memecah SK untuk memenuhi kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama
fermentasi. Penurunan SK diduga karena Aspergillus niger pada inkubasi 4
hari mulai mensintesa enzim pengurai, yaitu selulose yang akan merombak
selulosa dalam produk. Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh
cepat an menghasilkan beberapa enzim seperti amylase, pektinase,
amiloglukosidase dan selulase.
Penggunaan Lumpur
sawit fermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum broiler
Dari hasil
penelitian yang dilakukan, LSF dengan Aspergillur niger dapat
digunakan sebanyak 5% dalam ransum dan memberikan hasil terbaik untuk
pertambahann bobot ayam pedaging (Mirwandhono, 2004). Pemberian pada taraf 15 %
tidak berpengaruh buruk terhadap konsumsi pakan, karkas, lemak abdomen, dan
organ (hati dan rempela) pada ayam broiler(Sinurat. 2000). Menurut Sinurat
dkk., 2000 dalam Mairizal (2008), batas penggunaan lumpur sawit yang disarankan
untuk ayam broiler adalah 5%, sedangkan menurut Yeong dan Azizah 1987 dalam
Sinurat (2001) lumpur sawit dapat digunakan sebanyak 15 %. Selanjutnya
dijelaskan oleh Sinurat (2001) bahwa batas pemberian lumpur sawit dalam ransum
unggas sangat bervariasi tergantung dari proses dalam menghasilkannya dan jenis
ternak yang mengkonsumsi. Di bawah ini adalah data penampilan ayam pedaging
yang diberi produk fermentasi lumpur sawit.
Tabel 1. Penampilan ayam pedaging (1
hari-5minggu)
Parameter
|
Kontrol
|
LSF
|
||
5 %
|
10 %
|
15 %
|
||
Pertambahan
bobot badan (g/e)
|
981
|
1104
|
1039
|
1002
|
Konsumsi
ransum (g/e)
|
2035*
|
2126
|
2115
|
2060
|
Konversi
ransum
|
2,07*
|
1,95
|
2,04
|
2,06
|
Konsumsi
bahan kering (g/e)
|
1777
|
1883
|
1866
|
1817
|
Konversi
bahan kering
|
1,81
|
1,69
|
1,70
|
1,81
|
Keterangan: tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata antara
kontrol dengan rata-rata perlakuan lainnya (P<0 br="">
Tabel 4. bobot karkas, lemak
abdomen, hati, dan rempela ayam broiler yang diberi lumpur sawit fermentasi (%
bobot hidup) 0>
Parameter
|
Kontrol
|
LSF
|
||
5 %
|
10 %
|
15 %
|
||
Karkas
|
66,6
|
67,3
|
66,2
|
67,3
|
Lemak
abdomen
|
1,97
|
2,01
|
2,22
|
2,07
|
Hati
|
2,12
|
2,13
|
2,22
|
2,07
|
Rempela
|
2,05
|
1,92
|
1,99
|
2,07
|
Dari tabel di atas terlihat bahwa
penggunaan produk lumpur sawit fermentasi dalam ransum hingga 15% tidak
menyebabkan penurunan konsumsi ransum, gangguan pertumbuhan, perubahan
persentase karkas, dan lemak abdomen yang dihasilkan maupun kelainan pada organ
(hati dan rempela) ayam. Hal ini terlihat dari data konsumsi ransum, PBB, FCR,
persentase karkas, bobot lemak abdomen, bobot hati, dan berat rempela ayam
dibandingkan dengan kontrol. Untuk pertambahan bobot badan terlihat bahwa
penggunaan produk lumpur sawit fermentasi pada taraf 5 % adalah yang tertinggi,
hal ini mungkin merupakan petunjuk bahwa produk fermentasi mengandung suatu zat
pemacu pertumbuhan/growth promotant yang hanya efektif bila diberikan pada
dosis rendah, kemungkinan aktivitas zat tersebut cukup tinggi di alam produk
segar, sehingga efektifitasnya tidak terlihat lagi secara nyata sampai pada
penggunaan produk fermentasi taraf 10%.
Konversi
bahan kering ransum kontrol tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan rata-rata
konversi bahan kering ransum yang mengandung lumpur sawit fermentasi
peningkatan kadar lumpur sawit fermentasi dari 5% menjadi 15 % nyata
menyebabkan konversi bahan kering semakin jelek, tetapi konversi bahan kering
ransum dengan kadar 10% LSF tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan ransum 5 %
maupun 15 %.
Mortalitas
ayam pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinurat (2001) ini sangat rendah
(hanya 2 ekor dari 210 ekor atau 0,95%) dan tidak ada gejala yang mencurigakan
bahwa kematian ayam disebabkan oleh perlakuan. Penelitian terdahulu juga tidak
mengindikasikan adanya perbedaan mortalitas karena pemberian LSF pada ayam
broiler (Sinurat, et.al., 2000). Oleh karena itu, data mortalitas tidak
disajikan dalam tabel. Hasil ini menguatkan hasil penelitian sebelumnya bahwa
penggunaan produk LSF tidak membahayakan kesehatan ayam broiler dan tiadak
menyebabkab perubahan persentase karkas yang dihasilkan, hati, rempela, maupun
lemak abdomen
13.
Limbah Daun Ubi Kayu
Daun Ubi
kayu mengandung protein antara 20 sampai 27 % dari bahan kering, sehingga dapat
digunakan sebagai pakan suplemen sumber protein terhadap hijauan lain rumput
lapangan, daun tebu dan jerami padi yang berkadar protein rendah. Nilai tersebut hampir
setara dengan kandungan protein pada beberapa tanaman jenis leguminosa yang
umum digunakan sebagai pakan ternak kambing, misalnya lamtoro (24,2 %),
glirisidia (24,3 %), turi (27,1 %) dan kaliandra (30,5 %) (Marjuki, 1993). Kandungan protein yang tinggi tersebut maka daun ubikayu sangat potensial
sebagai pakan sumber protein untuk ternak dan sangat cocok bagi petani karena
ketersediaannya yang cukup banyak di sekitar area penanaman ubikayu, terutama
pada saat panen.
Silase
merupakan metode pengawetan hijauan pakan ternak dalam bentuk segar melalui
proses fermentasi dalam kondisi an aerob. Dengan metode tersebut maka daun
ubikayu yang tersedia melimpah pada saat panen dapat diawetkan dan dapat
dimanfaatkan sebagai pakan suplemen sumber protein dalam jumlah secukupnya dan
dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan daun ubikayu dalam bentuk silase
terbukti dapat mempertahankan kondisi, kualitas dan palatabilitasnya dalam
waktu yang cukup lama dan menurunkan kadar HCN sebesar 60 sampai 70 %, sehingga
lebih aman diberikan pada ternak. Fermentasi dapat menggunakan mikroorganisme
(EM4) maupun dengan dengan di campur dengan bahan pakan lainnya.
Namun,
daun ubi kayu mengandung serat kasar yang tinggi yang membatasi penggunaannya
sebagai bahan pakan unggas. Daun ubi kayu mengandung serat kasar sebesar 25,71%
(Sudaryanto, 1994). Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengurangi kadar
serat kasar dalam daun ubi kayu untuk memperbaiki nilai gizinya.
Di Indonesia
yang beriklim tropis mempengaruhi ketersediaan bahan pakan khususnya bahan
pakan hijauan yang merupakan bahan pakan utama ternak ruminansia. Iklim tropis
umumya dicirikan dengan melimpahnya bahan pakan hijauan terutama pada saat
musim penghujan sedangkan pada musim kemarau sulit untuk mendapatkan bahan
pakan hijauan. Dengan demikian maka kontinuitas dari bahan pakan menjadi
masalah yang cukup serius dalam melaksanakan suatu usaha peternakan.untuk itu
dapat di atasi dengan pembuatan silase maupun di fermentasi dengan mikroorganisme
pada daun ubi kayu Sementara itu daun ubikayu mudah sekali busuk jika ditumpuk
dalam kondisi basah (segar), dan jika dikeringkan daun menjadi remah dan mudah
hancur sehingga banyak biomasa daun yang hilang terutama pada saat penjemuran,
pengangkutan dan penyimpanan.
Namun
satu kendala penggunaan daun ubikayu sebagai pakan ternak adalah karena
kandungan HCNnya yang cukup tinggi hingga mencapai 289 mg per kg BK daun
ubikayu (Kavana et al., 2005). Konsumsi HCN yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan keracunan pada ternak. Gomez (1991) menyatakan bahwa batas maksimal
kandungan HCN yang aman bagi ternak adalah 100 mg per kg BK pakan.
Selain
kandungan tersebut di atas, daun ubi kayu juga mengandung HCN dan Xanthophyl.
HCN atau asam sianida merupakan zat anti nutrisi yang keberadaannya mampu
menghambat pemanfaatan protein, akan tetapi kandungan HCN pada daun ubi kayu
sangat rendah (lebih rendah dari pada HCN yang terkandung dalam umbi dan
batang) sehingga dapat hilang dengan pemanasan atau penjemuran. Xanthophyl
merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning
telur pada magnum (Sabrina et al., 1997).
Hal ini
dikarenakan kandungan Xanthophyl pada daun ubi kayu yang mampu member pewarnaan
pada kuning telur sehingga warna kuning telur menjadi lebih pekat, sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sabrina et al. (1997) bahwa Xanthophyl
merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning
telur pada magnum. Selain itu adanya HCN pada daun ubi kayu dapat hilang denagn
adanya pemanasan atau penjemuran daun yang mampu mengakibatkan zat anti nutrisi
tersebut ditekan keberadaannya.
Di samping itu
karena kandungan proteinnya yang tinggi, pemberian daun ubikayu pada ternak dalam jumlah banyak atau sebagai pakan utama
juga merupakan pemborosan protein yang nilainya sangat mahal. Di samping itu
karena kandungan proteinnya yang tinggi, pemberian daun ubikayu pada ternak dalam jumlah banyak atau sebagai pakan utama
juga merupakan pemborosan protein yang nilainya sangat mahal.
Untuk upaya
peningkatan ketersediaan pakan membuat limbah menjadi primadona baru sebagai
sumber pakan yang jarang digunakan peternak (bahan pakan inkonvensional),
limbah ini dapat berupa limbah pertanian, limbah industri maupun limbah peternakan.
Bahan-bahan inkonvensional,merupakan hasil akhir suatu produksi yang sudah
tidak dapat digunakan ataupun di daur-ulang merupakan bahan organik yang
berbentuk padat dan cairan nilai ekonominya rendah dibandingkan biaya
pengumpulan dan pemrosesan merupakan sumber fermentable carbohydrat pakan
inkonvensional berupa limbah buah-buahan merupakan sumber energy yang sangat
tinggi kualitasnya pakan inkonvensional berupa limbah tanaman pangan merupakan
bahan bulky dengan kandungan serat kasar tinggi dan nitrogen rendah beberapa
pakan inkonvensional mempunyai efek racun perlu teknologi untuk membentuk
menjadi bahan pakan yang siap digunakan perlu informasi komposisi nutrisi dan
faktor antinutrisi
Daun ubi kayu dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui fermentasi, karena
fermentasi dapat meningkatkan kecernaan protein, menurunkan kadar serat kasar,
memperbaiki rasa dan aroma bahan pakan, serta menurunkan kadar logam berat
(Kompiang et al., 1997; Laconi, 1992; Purwadaria et al., 1998;
Sinurat et al., 1995).Fermentasi dapat di lakukan dengan berbagai cara
nya seperti fermenasi dengan mikrooorganisme ( EM4) atau di campur dengan baha
pakan lainya seperti dedak. Ada banyak mikroorganisme yang dapat
digunakan untuk tujuan tersebut antara lain adalah EM4.
EM4
adalah campuran kultur yang mengandung Lactobacillus, jamur
fotosintetik, bakteria fotosintetik, Actinomycetes, dan ragi (Anonimus,
1998). EM4 mempunyai kemampuan untuk menurunkan kadar serta kasar dan
meningkatkan palatabilitas bahan pakan dan mampu menurunkan kadar serat
kasar pada kotoran ayam petelur dan meningkatkan kadar energinya. Oleh karena
daun ubi kayu rendah kadar energinya namun di tambahkan dengan dedak dalam
proses fermentasi kimia daun ubi kayu.
Jadi dengan
di ketahui kandungan dari zat gizi yang terkandung , maka daun ubi kayu dapat
di manfaatkan sebagai bahan pakan semua ternak baik unggas maupun
ruminansia, namun daun ubi kayu lebih efektif apa bila di gunakan sebagai pakan
ternak ruminansia yaitu kambing yang diproses dalam bentuk silase dengan
fermentasi,karena pada ruminanasia kecernaan bahan pakan lebih baik dari pada
unggas dan terbukti dapat meningkatkan pertambahan berat badan kambing
lepas sapih. Serta dengan Penyimpanan daun ubikayu dalam bentuk silase
terbukti dapat mempertahankan kondisi, kualitas dan palatabilitasnya dalam
waktu yang cukup lama dan menurunkan kadar HCN sebesar 60 sampai 70 %, sehingga
lebih aman diberikan pada ternak
Dapat di
lihat pada table berikut, daun ubi kayu yang di fermentasi dengan di campur dengan
beberapa bahan pakan lainnya
Tabel 1. Kandungan pH, Bahan kering (BK), Bahan
Organik (BO) dan Protein Kasar (PK) daun ubi kayu dengan berbagai bahan
additive sebelum difermentasikan.
Silase
(bahan additive)
|
pH
|
Kandungan
BK
|
Kandungan
BO
|
Kandungan
PK
|
P-0 (tanpa
additive)
|
6,5
|
24,34
|
90,43
|
25,65
|
P-1 (empok jagung)
|
5,8
|
26,69
|
91,4
|
23,97
|
P-2
(dedak)
|
5,5
|
25,69
|
88,83
|
20,23
|
P-3
(molasses)
|
5,3
|
26,72
|
88,68
|
20,48
|
P-4 (ubi
kayu segar)
|
5,5
|
24,86
|
90,92
|
23,04
|
P-5
(gamblong)
|
6,5
|
23,18
|
89,0
|
25,45
|
P-6
(tepung gaplek)
|
6,5
|
26,89
|
91,33
|
21,11
|
Tabel 2. Kandungan pH, Bahan kering (BK), Bahan
Organik (BO) dan Protein Kasar (PK) daun ubi kayu dengan berbagai bahan
additive setelah difermentasikan selama 21 hari.
Silase
(bahan additive)
|
pH
|
Kandungan
BK
|
Kandungan
BO
|
Kandungan
PK
|
P-0 (tanpa
additive)
|
4,9
|
22,4
|
90,59
|
26,92
|
P-1 (empok jagung)
|
4,6
|
26,5
|
91,81
|
23,44
|
P-2
(dedak)
|
4,8
|
28,58
|
89,45
|
22,61
|
P-3
(molasses)
|
4,9
|
24,67
|
88,97
|
23,43
|
P-4 (ubi
kayu segar)
|
4,6
|
24,05
|
91,41
|
23,32
|
P-5
(gamblong)
|
4,9
|
24,26
|
91,45
|
23,41
|
P-6
(tepung gaplek)
|
4,6
|
27,73
|
92,27
|
20,98
|
KOMPOSISI
DAUN UBI KAYU
Daun ubi
kayu mempunyai kulit serta lapisan kayu yang berbentuk bulat dan berongga;
terisi oleh lapisan gabus. Pada tanaman dewasa persentase bagian-bagian tops
adalah 81% daun/cabang, 7% daun dan 12% tangkai (MONTALDO, 1973). Daun ubi kayu
dapat tumbuh mencapai diameter ≤ 3,5 cm. Daun ini tidak begitu keras namun
tinggi kandungan seratnya. Selain untuk benih/stek daun ubi kayu dapat
dimanfaatkan sebagai partikel pembuat kertas karton, bahan bakar serta
bersama-sama dengan daun dan umbi dihancurkan sebagai pakan sapi maupun babi
(GRACE, 1977).
Kandungan
daun ubi kayu berdasarkan bahan kering apat dilihat pada table berikut :
Kandungan
bahan kering
BK 88,46%
PK 25,51%
SK 24,29%
BETN 34,7%
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, IPB (2008)
Selain kandungan tersebut di atas, daun ubi kayu juga mengandung HCN dan Xanthophyl. HCN atau asam sianida merupakan zat anti nutrisi yang keberadaannya mampu menghambat pemanfaatan protein, akan tetapi kandungan HCN pada daun ubi kayu sangat rendah (lebih rendah dari pada HCN yang terkandung dalam umbi dan batang) sehingga dapat hilang dengan pemanasan atau penjemuran. Xanthophyl merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning telur pada magnum (Sabrina et al., 1997).
BK 88,46%
PK 25,51%
SK 24,29%
BETN 34,7%
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, IPB (2008)
Selain kandungan tersebut di atas, daun ubi kayu juga mengandung HCN dan Xanthophyl. HCN atau asam sianida merupakan zat anti nutrisi yang keberadaannya mampu menghambat pemanfaatan protein, akan tetapi kandungan HCN pada daun ubi kayu sangat rendah (lebih rendah dari pada HCN yang terkandung dalam umbi dan batang) sehingga dapat hilang dengan pemanasan atau penjemuran. Xanthophyl merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning telur pada magnum (Sabrina et al., 1997).
14.
Limbah Ampas Teh
Penelitian dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan ampas teh fermentasi dengan Aspergillus niger
dalam ransom terhadap pertambahan bobot hidup, efisiensi penggunaan protein
serta persentase karkas pada ayam broiler. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan ternak percobaan sebanyak 100 ekor anak ayam umur
satu hari dan dibagi menjadi lima perlakuan ransom dan empat ulangan. Kelima
perlakuan ransom disusun berdasarkan tingkat penggunaan ampas teh produk
fermentasi, yaitu : RO (0.0%), R1 (2,5%), R2 (5,0%), R3 (7,5%) dan R4
(10,0%). Hasil penelitian menunjukka R1 (2,5% ampas teh fermentasi) merupakan
ransom yang memberikan pengaruh paling baik terhadap semua parameter yang
diukur. Penggunaan tepung ampas teh produk fermentasi sampai taraf 7,5% dapat
direspon secara positif oleh ayam broiler, sedangkan peggunaannya pada taraf
10,0% dapat menurunkan pertambhan bobot hidup (PBH), ttapi masih mempunyai
nilai efisien protein dan persentase karkas yang setara dengan R0 (ransom
control).
Pemenuhan
keperluan ransum unggas khususnya broiler, dewasa ini mengalami masa yang sulit
akibat mahalnya bahan bak, sehigga bedampak pada harga ransum. Berbagai usaha
terus dilakukan untuk mencari bahan pakan baru yang mempunyai gizi cukup
tinggi, mudah dicerna, tidak mengganggu kesehatan ternak, murah dan mudah
didapat serta tersedia secara kontinyu. Ampas teh merupakan salah satu bahan
yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternative untuk ternak unggas
khususnya broiler.
Dilihat dari
kandungan proten yang mencapai 27,42%, serta zat-zat makanan yang terdapat
didalamnya, ampas teh mampunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan
bahan baku ransom ayam broiler. Namun adanya zat anti nutrisi seperti tannin,
kafein, teobromina, teofilin dan saponin serta serat kasar yang cukup tinggi,
tentunya akan menjadi factor pembahas dalam penggunaannya, karena dapat
menghambat proses pencernaan bagi ternak yang bersangkutan. Menurut BELITZ dan
GROSCH (1986), kandungan kafein 2,5-5,5%, teobromina 0,97-0,17% dan teofilin
0,002-0,013%. Sementara itu, tannin menurut ISTIRAHAYU (1993) mencapai 1,35%
dan kandungan serat kasar menurut SOEJIWO (1982) mencapai 23,01% Analisa
terhadap zat anti nutrisi pada ampas teh setekah fermentasi hanya dilakukan
terhadap tenin saja. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memperbaiki dan
memanfaatkan kandungan gizi melalui proses fermentasi substrat padat meggunakan
Aspergillus niger. Teknik fermentasi ini dapat meningkatkan kandungan protein
singkong.
Kualitas
bahan pakan selain dapat dilihat dari kandungan protein juga terlihat dari
pertambahan bobot hidup ternak yang mengkonsumsnya. Kandungan protein akan erat
hubungannya dengan efisiensi protein, sedangkan manifestasi pertumbuhan yang
baik diperlihatkan melalui persentase kasrkas yang dihaslkan. Dengan demikian
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pemberian ampas the
yang difermentasi terhadap pertambahan bobot hidup dan efisiensi protein serta
persentase karkas pada ayam broiler.
Ransum yang
digunakan disusun berdasarkan NRC 1994 dengan kandungan protein 23% dan energi
metabolisme 3100 kkal/kg. Lima perlakuan ransom disusun berdasarkan tingkat
penggunaan ampas teh fermentasi. Ransum diberikn dua kali sehari pada pagi dan
sore hari dalam bentuk mash. Pemberin air minum selalu tersedia, sedangkan
pencvegahan penyakit meliputi kegiatan vaksinasi, serta sanitasi lingkungan.
Adapun peubah yang diamati meliputi pertambahan bobot hidup, konsumsi ransom,
konsumsi protein dan rasio efisiensi protein ransom serta persentase karkas.
Komposisi
nutrient ampas teh produk fermentasi Aspergillus niger
Ampas teh
mempunyai kandungan protei kasar yang cukup tinggi yaitu 27,42% (GINTING,
1993). Namun, kendalanya sebagai pakan broiler adalah kandungan zat anti
nutrisi yang cukuptinggi yaitu tannin 1,35% (ISTIRAHAYU, 1993) dan serat kasar
23,01% (SOEJIWO, 1982). Proses fermentasi biasanya menghasilkan produk makanan
yang mempunyai nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan bahan makanan asalnya.
Hal ini disebabkan mikroba bersifat memecah komponen kompleks menjadi zat-zat
yang lebih sederhana, sehingga mudah dicerna (WINARNO et al, 1980)
Hasil
analsis terhadap ampas teh terfermentasi Aspergllus niger menunjukkan kandungan
air 8,8%; abu 2,25%; protein kasar 29,36%; serat kasar 21,19%; lemak 1,11%;
kalsium 0,891%; fosfor 0,211%;tannin 0,19%; lisin 0,76%; metionin 1,00%; sistin
0,78%; dan energy metabolisme 223 kkal/kg. Secara umum, komposisi nutriennya
meningkat walupun tidak begitu tinggi dibandingkan dengan hasil analsis yang
dilaporkan ISTIRAHAYU (1993) dan SOEJIWA (1982). Peningkatan protein diduga
karena adanya penambahan protei yang disumbangkan oleh sel mikro akibat
pertumbuhanya yang menghasilkan produk Protein Sel Tunggal atau biomassa sel
yang mengandung sekitar 40-65% protein.
Adanya kandungan asam amino yang cukup tinggi, jga menunjukkan bahwa ampas teh terfermentasi ini mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada hasil analisa Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran (2002) terhadap tiga jens asam amino yang terkandung dalam ampas teh fermentasi dan dinilai penting untuk pakan broiler, yaitu lisin 0,76%; metionin 1,00% dan sistein 0,75%. Menurut DARANA (1995), kandungan asam amino tersebut cukup tinggi apabila terdapat pada bahan penyusun pakan unggas. Disamping adanya peningkata dari zat-zat makanan yang diperlukan, fermentasi diduga juga berpengaruh juga terhadap perbaikan zat anti nutrisi.
Adanya kandungan asam amino yang cukup tinggi, jga menunjukkan bahwa ampas teh terfermentasi ini mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada hasil analisa Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran (2002) terhadap tiga jens asam amino yang terkandung dalam ampas teh fermentasi dan dinilai penting untuk pakan broiler, yaitu lisin 0,76%; metionin 1,00% dan sistein 0,75%. Menurut DARANA (1995), kandungan asam amino tersebut cukup tinggi apabila terdapat pada bahan penyusun pakan unggas. Disamping adanya peningkata dari zat-zat makanan yang diperlukan, fermentasi diduga juga berpengaruh juga terhadap perbaikan zat anti nutrisi.
Pengaruh
ransum percobaan terhdap pertambahan bobot hidup dan efisiensi protein serta
persentase karkas
Selama enam
minggu percobaan tidak dijumpai kematian pada semua perlakuan. Perlakuan
berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot hidup maupun konsumsi ransom.
Ransum perlakun R4 menunjkan pertambahan bobot hidup dan konsumsi ransom yang
lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan
besar sebagai akibat adanya efek kumulatif dari zat anti nutrisi, seperti
saponin, tannin, kafein, teofilin, dan teobromina. Saponin merupakan komponen
bersifat pahit, yang menurut BIRK (1969) dapat menyebabkan gangguan fungsional
saluran pencernaan sebagai akibat terhambatnya aktivitas otot penggerak
peristaltik. Tanin pada ampas teh merupakan tannin yang terkondensasi pada
protein tubuh dan dapat menekan energi metabolisme ransum.
Disamping
pengaruh zat anti nutrisi, penurunan pertambahan bobot hidup dan konsumsi
ransom pada R4 jga tidak terlepas dari adanya kandungan serat kasar yang
cukup tinggi sebesar 21,19%. Kendatipun total serat kasar ransom masih dalam
batas toleransi, akan tetapi ditinjau dari besaran serat kasar yang berasal dari
ampas teh fermentasi pada penggunaan 10,00% ternyata mencapai 2,12% atau sama
dengan 42,48% dari total serat kasar ransom, sehingga terjadi ketidakseimbangan
sumbangan serat kasar pembentuk serat kasar total. Secara keseluruhan, serat
kasar dapat mempengaruhi pendayagunaan zat-zat pakan lan dalam proses
pencernaan serta dapat menurunkan daya absorpi zat paka terhadap ayam
pencernaan ayam broiler.
Perlakuan
juga berpenaruh nyata terhadap efisiensi protein. Hasil analss menunjkkan
perlakuan R4 hasilnya lebih rendah dan berbeda nyata dengan R1, tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakan R0, R2 dan R#. Hal tersebut sebagai bukti
bahwa pemanfaatan ampas the produk fermentasi sampai taraf 10.0% dari total
ransom masih setara dengan ransum control apabila dilihat dari rasio
efisiensi protein padahal telah dikemukakan lebih awal bahwa penggunaan amps
the produk fermentasi ampai taraf 10,0% menghasilka rataan pertambahan bobot
hidup berbeda nyata denan perlakuan lainya. Hasil analsis data persentase
karkas diperoleh nilai tidak berbeda nyata antar perlakuan. Rataan persentase karkas
yang diperoleh mamiliki besaran persentase karkas yang normal. Perolehan
persentase karkas broiler sejala dena pertambahan bobot hidup akhir yang
dihasilkan.
15.
Limbah Ampas Kelapa
Tanaman kelapa
(Cocos nucifera L) termasuk jenis tanaman yang memiliki multi
fungsi, hal ini karena hampir semua bagian dari tanaman tersebut dapat
dimanfaatkan, dan banyak dijumpai di Indonesia yang merupakan penghasil
kopra terbesar kedua di dunia, sesudah Phillipina. Usaha budidaya tanaman
kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak
kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan hasil samping
berupa ampas kelapa. Kelapa merupakan salah satu tanaman yang sangat luas
penggunaanya, selain untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, seperti
santan, gula dan air kelapa segar, kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan
baku industri. Salah satu contohnya adalah minyak kelapa yang digunakan sebagai
bahan industri sabun, obat-obatan, mentega dan lain sebagainya.
Hampir semua
bagian dari tanaman kelapa dapat dimanfaatkan. Efisiensi ransum adalah
kemampuan ransum yang dikonsumsi dalam satuan waktu tertentu untuk menghasilkan
bobot badan seekor ternak dalam waktu yang sama. Dalam menyusun ransum perlu
memperhatikan kualitas dari bahan pakan yang digunakan, murah harganya dan
terjamin kontinitas pengadaannya. Walaupun ransum harganya murah tetapi tidak
dibarengi dengan kualitas ransum yang memadai maka bobot badan yang di hasilkan
tidak dicapai.
Saat ini
banyak sekali industri-industri pengolahan minyak kelapa seperti VCO (Virgin
Coconut Oil) yang terbuat dari daging kelapa segar yang diolah pada suhu rendah
atau tanpa pemanasan. Kegiatan industri ini menghasilkan limbah padat, salah
satunya adalah ampas kelapa. Ampas kelapa (Cocos mucifera L) dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Selain dapat digunakan sebagai pakan ternak ampas kelapa
juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi galaktomannan.
Ampas kelapa
hasil samping pembuatan minyak kelapa murni masih memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan ampas kelapa berpotensi untuk
dimanfaatkan dan diolah menjadi pakan. Menurut Derrick (2005), protein kasar
yang terkandung pada ampas kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya yang
mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan sumber
energi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti
sebagai bahan pakan pedet (calf), terutama untuk menstimulasi rumen dan
pakan asal ampas kelapa juga terbukti ternak dapat menghasilkan susu yang lebih
kental dan rasa yang enak (Anonim, 2003).
Fermentasi
merupakan salah satu cara untuk mengolah ampas kelapa menjadi bahan pakan. Pada
proses fermentasi terjadi reaksi dimana senyawa komplek diubah menjadi senyawa
yang lebih sederhana dengan membebaskan molekul air. Fermentasi dengan
menggunakan kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen bahan yang sulit
dicerna menjadi lebih mudah dicerna, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
nutrisinya (Supriyati et al., 1999).
Komposisi Buah atau Ampas
Kelapa
Buah kelapa
yang sudah tua mengandung kalori yang tinggi, sebesar 359 kal per 100 gram;
daging kelapa setengah tua mengandung kalori 180 kal per 100 gram dan daging
kelapa muda mengandung kalori sebesar 68 kal per 100 gram. Sedang nilai kalori
rata-rata yang terdapat pada air kelapa berkisar 17 kalori per 100 gram. Air
kelapa hijau, dibandingkan dengan jenis kelapa lain banyak mengandung tanin
atau antidotum (anti racun) yang paling tinggi. Kandungan zat kimia lain yang
menonjol yaitu berupa enzim yang mampu mengurai sifat racun. Komposisi
kandungan zat kimia yang terdapat pada air kelapa antara lain asam askorbat
atau vitamin C, protein, lemak, hidrat arang, kalsium atau potassium. Mineral yang
terkandung pada air kelapa ialah zat besi, fosfor dan gula yang terdiri dari
glukosa, fruktosa dan sukrosa. Kadar air yang terdapat pada buah kelapa
sejumlah 95,5 gram dari setiap 100 gram.
Ampas kelapa
merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang sangat potensial untuk
digunakan sebagai bahan pakan ayam pedaging, karena ampas kelapa masih mudah
didapatkan dari sisa pembuatan minyak kelapa tradisional dan limbah pembuatan virgin
coconut oil (VCO). Menurut Purawisastra (2001) menyatakan bahwa ampas
kelapa mengandung serat galaktomanan sebesar 61 % yang dapat menurunkan kadar
kolesterol darah.
Galaktomanan
adalah polisakarida yang terdiri dari rantai mannose dan galaktosa, senyawa ini
bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung serat dan polisakarida, juga
berperan memicu pertumbuhan bakteri usus yang membantu pencernaan (Wiguna,
2007). Selanjutnya dinyatakan berdasarkan hasil kutipan Duodecim Medical
Publication, Finlandia, Galaktomanan efektif menangkap lemak dan
mengubahnya menjadi gumpalan gumpalan kemudian dibuang bersama feces.
Peningkatkan kualitas zat makanan dan daya cerna pada ampas kelapa maka
dilakukan proses fermentasi. Menurut Buckle dkk (1985) bahwa fermentasi
merupakan hasil proses metabolisme an aerobic dari beberapa jenis mikroorganisme
seperti jenis bakteri, kapang dan khamir Proses fermentasi akan terjadi
perubahan kualitas bahan makanan menjadi lebih baik dari bahan asalnya baik
dari aspek gizi, daya cerna serta meningkatnya daya simpan. Dalam melakukan
proses fermentasi aktifitas mikroorganisme dipengaruhi oleh pH, suhu, komposisi
zat makanan dan adanya zat inhibitor (Raudati dkk, 2001).
Pembuatan ampas kelapa menjadi
pakan.
Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili
Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes,
sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjono, 1989).
Aspergillus niger mempunyai kepala pembawa konidi yang besar, dipak secara
padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai
bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan
tumbuh memasang di atas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam
pertumbuhannya mememrlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger
termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 °C - 37 °c.
Derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2 - 8,8 tetapi
pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah.
Ampas kelapa
ditambah air, diaduk dan dikukus. Setelah didinginkan hingga mencapai suhu ±
70°C diaduk bersama campuran mineral, ditambahkan spora Aspergillus niger
dan diaduk kembali sampai merata. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam plastik
dan difermentasi secara aerob dan anaerob. Ampas hasil fermentasi kemudian dikeringkan
dan dikemas dalam wadah plastik.
Karakteristik
kimia ampas kelapa segar
Hasil
analisis proksimat ampas kelapa seperti disajikan pada Tabel 1. Dari hasil
analisis diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan minyak
kelapa murni memiliki kadar protein kasar masih relative tinggi yaitu sebesar
11,35% dengan kadar lemak kasar 23,36%. Protein merupakan salah satu komponen
yang terpenting pada pakan sehingga tingginya kadar protein pada ampas kelapa
merupakan suatu keuntungan untuk diolah menjadi pakan. Namun demikian, lemak
yang cukup tinggi merupakan kendala pada pengolahan ampas kelapa yang akan
diolah menjadi pakan karena akan mempengaruhi kualitas pakan yang dihasilkan
terutama dalam mempengaruhi umur simpan dan daya cerna pakan.
Tabel 1. Hasil
analisis proksimat terhadap ampas kelapa segar
Komposisi
Kadar (%)
Kadar
air
11,31
Protein kasar
11,35
Lemak
kasar
23,36
Serat
makanan
5,72
Serat
kasar
14,97
Kadar
abu
3,04
Kecernaan bahan kering in
vitro
78,99
Kecernaan bahan organik in
vitro
98
Karakteristik
fisik dan kimia ampas kelapa setelah difermentasi
Komposisi
kimia ampas kelapa setelah difermentasi seperti disajikan pada Tabel 2.
Fermentasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam mengolah ampas
kelapa menjadi pakan dengan menggunakan spora Aspergillus niger. Proses
fermentasi dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu fermentasi aerob dan
fermentasi an aerob (proses enzimatis), sebelumnya telah dilakukan pada
bungkil kelapa (Purwadaria et al., 1995; Helmi et al. 1999).
Pertumbuhan Aspergillus
niger pada proses fermentasi ditandai dengan adanya miselium. Secara visual
pertumbuhan miselium dapat dilihat dengan timbulnya serabut-serabut menyerupai
benang halus dan memadatnya ampas. Perlakuan fermentasi menghasilkan struktur,
warna, bau, dan juga komposisi kimia yang berbeda dari ampas kelapa yang belum difermentasi,
terutama dalam meningkatkan kadar protein dan menurunkan lemak. Fermentasi juga
menyebabkan kehilangan berat kering pada ampas, yaitu sebesar 16,67% pada ampas
yang telah difermentasi secara aerob dan 5% setelah proses enzimatis. Analisis
yang dilakukan terhadap kehilangan bahan kering menunjukkan terjadinya
kehilangan bobot air selama proses fermentasi. Hal tersebut disebabkan oleh
adanya perubahan senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana selama
proses fermentasi, dimana pada saat itu juga terjadi pelepasan molekul air.
Secara visual pelepasan molekul air dapat terlihat dengan adanya air pada
plastik yang digunakan sebagai wadah/tempat ampas difermentasi.
Tabel 2. Hasil
analisis kandungan kimia ampas kelapa hasil fermentasi
Komposisi
Kadar
Kadar air (%)
8,32
Protein (%)
26,09
Asam amino
(%)
asam aspartat
0,16
asam glutamat
1,268
serin
0,216
glisin
0,132
histidin
0,213
arginin
0,681
threonin
0,229
alanin
0,214
prolin
0,303
tirosin
0,277
valin
0,300
methionin
1,224
sistin
0,164
isoleusin
0,249
leusin
0,825
phenilalanin
0,324
lisin
0,315
Lemak (%)
20,70
Aflatoksin (ppb)
B1
< 4
B2
< 3
G1
< 4
G2
< 3
Kecernaan Bahan Kering in vitro (%)
95,1
Kecernaan bahan organic in vitro (%)
98,82
Fermentasi
ampas kelapa juga mampu meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik,
dimana komponen ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pakan tersebut
dapat dipergunakan dan dicerna oleh ternak. Hasil analisa menunjukkan bahwa
kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) secara in vitro ampas
kelapa sebelum dan setelah difermentasi cukup tinggi (Tabel 1 dan 2).
Peningkatan kecernaan bahan kering ampas setelah difermentasi menunjukkan
adanya proses pemecahan bahan yang tidak dapat dicerna. Penggunaan suhu ruang
pada proses enzimatis juga mendukung diperolehnya nilai kecernaan yang tinggi
(Supriyati et al., 1999). Purwadaria et al. (1995) menerangkan
bahwa pada proses enzimatis bungkil kelapa ternyata suhu kamar lebih efektif
dibandingkan dengan suhu 50°C.
Menurut
Sudarmadji et al. (1989) efektifitas proses enzimatis juga dipengaruhi
oleh suhu optimum berkembangnya Aspergillus niger yaitu 35 – 37°C.
Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh jenis kapang Aspergillus
terutama Aspergillus flavus dan memiliki daya racun yang cukup tinggi.
Kandungan aflatoksin pada pakan dapat dijadikan indikator aman tidaknya pakan
tersebut untuk diberikan kepada ternak. Hasil analisis terhadap aflatoksin
produk hasil fermentasi ampas kelapa yang dilakukan pada penelitian ini
mempunyai kandungan aflatoksin yang relative aman untuk ternak, dimana ambang
batas yang diijinkan untuk pakan ternak yaitu pakan dengan kandungan Aflatoksin
< 20 ppb.
Analisis pertambahan berat badan dan
penurunan kolesterol darah
Penggunaan
ampas kelapa Fermentasi sampai 12 % sangat nyata efisien dibanding dengan
menggunakan ampas kelapa, hal ini menunjukan dengan kemampuan ternak ayam
mengkonsumsi 1 kg ransum dapat membentuk rata-rata 0,59 kg bobot hidup sedang
menggunakan ampas kelapa hanya mampu membentuk bobot hidup rata-rata 0,45 kg.
Fermentasi ampas kelapa dapat meningkatkan kualitas bahan makanan dan mudah
dicerna oleh ayam pedaging.
Hal ini
memperkuat pendapat Winarno, dkk (1980) menyatakan bahwa fermentasi pada
dasarnya memperbanyak miroorganisme dan meningkatkan kualitas zat-zat makanan
serta menambah aroma. Selain itu melalui proses fermentasi bahan makanan akan
mengalami perubahan fisik dan kimia yang menguntungkan seperti Flavor, tekstur,
daya cerna dan daya tahan simpan (Rachman, 1989). Menurut Purawisastra (2001)
menyatakan bahwa ampas kelapa mengandung serat galaktomanan sebesar 61 % yang
dapat menurunkan kadar kolesterol darah.
Balasubramanian
(1976) melaporkan bahwa analisis ampas kelapa kering (bebas lemak) mengandung
93% karbohidrat yang terdiri atas: 61% galaktomanan, 26% manosa dan 13%
selulosa. Galaktomannan dapat memicu pertumbuhan bakteri usus yang membantu
pencernaan dan berperan sebagai serat makanan. Seperti dikutip Duodecim Medical
Publication, Finlandia, galaktomannan direkomendasikan sebagai salah satu obat
untuk mengatasi hiperlipidemia atau lebih dikenal dengan kadar lemak darah
tinggi. Galaktomannan efektif menangkap lemak dan mengubahnya menjadi
gumpalan-gumpalan dan keluar bersama feses. Galaktomannan mampu menurunkan
serum total kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol 10 – 15%.
Sedangkan kadar high density lipoprotein (HDL) dan trigliserida tidak berubah.
16.
Limbah Ampas Sagu
Ampas
sagu (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari pengolahan
sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. ampas clanelod. Ampas
yang dihasilkan dari proses extraksi ini sekitar 14% dari total berat basah
batang sagu (Flach, 1997). Hasil analisis komposisi zat makanan ampas sagu yang
dilakukan oleh Hangewa (1992) sebagai berikut : protein kasar 2,3%, serat kasar
18,86%, BETN 70,04% dan gross energi 4148 Kkal . Dari hasil analisis ini
tergambar bahwa ampas sagu masih cukup tersedia sebagai sumber energi bagi
ternak, akan tetapi yang menjadi faktor pembatas adalah kandungan protein kasar
rendah dan serat kasar tinggi. Sehingga perlu dilakukan fermentasi untuk
meningkatkan nilai gizi pada ampas sagu. Pemanfaatan kapang Aspergillus niger
sebagai starter dalam proses fermentasi ini dirasa paling cocok dan
sesuai dengan tujuan fermentasi, yaitu untuk menurunkan kadar serat dan
sekaligus dapat meningkatkan kadar protein kasarnya. Natamijaya
(1988) telah membuktikan bahwa penambahan ampas sagu non fermentasi dan
fermentasi sampai kadar 10% dan 25% dari total ransum, memberi respon yang
cukup baik terhadap pertumbuhan ayam buras periode grower.
Indonesia
memiliki areal tanaman sagu yang sangat luas, yang diperkirakan mencapai
850.000ha (Soekarto dan Wijandi, 1983). Salah satu kendala yang dihadapi oleh
usaha peternakan adalah belum tercukupinya kebutuhan nutrisi terutama protein
pakan, sehingga ternak belum dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pakan di
daerah tropis kebanyakan bermutu rendah dengan serat kasar yang tinggi. Keadaan
ini merupakan tantangan bagi sektor peternakan, karena perlu mencari pakan
alternatif untuk meningkatkan produksi ternak.
Pemanfaatan
sumber daya lokal secara optimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai
efisiensi usaha produksi ternak unggas di Indonesia. Hal ini akan semakin
nyata, apabila sumber daya tersebut bukan merupakan kebutuhan langsung bagi
kompetitor, seperti manusia atau jenis ternak lain. Oleh karena pakan sangat
erat kaitannya dengan produktivitas dan biaya produksi, maka pemanfaatan bahan
baku lokal secara efisien akan berpengaruh nyata terhadap perkembangan ternak.
Penetapan prioritas bahan baku lokal perlu didasarkan pada pertimbangan
efisiensi dan daya kompetisi secara ekonomi dan kualitas. Kriteria yang perlu
menjadi perhatian dalam kaitannya dengan efisiensi dan
kompetisi adalah jumlah dan ketersediaan bahan pakan. Agar efisien, bahan
tersebut harusnya tersedia dalam jumlah yang besar, ada sepanjang tahun dan
terkonsentrasi.
Bahan baku
yang mempunyai karakter tersebut umumnya terkait dengan industri, yang
menghasilkan berbagai produk baik yang bersifat sampingan maupun limbah. Bahan
baku lokal untuk tiap daerah berbeda tergantung pada kondisi daerah tersebut.
Maluku yang dikenal sebagai daerah produsen sagu mempunyai limbah dari industri
pengolahan tepung sagu yang berlimpah. Sagu merupakan salah satu sumber daya
nabati di Indonesia yang mulai akhir tahun tujuh puluhan makin meningkat
pemanfaatannya, sebagai akibat dari program pemantapan swasembada pangan
nasional dan permintaan akan bahan baku industri dan energi. Potensi sagu di
Maluku cukup besar, walaupun pada beberapa wilayah telah terjadi pengalihan
status pemanfaatan lahan sagu untuk pemanfaatan lain (Louhenapessy 1998).
Ampas sagu
merupakan limbah yang didapatkan pada proses pengolahan tepung sagu, dimana
dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas sagu dalam perbandingan 1 : 6
(Rumalatu 1981). Jumlah limbah yang banyak tersebut, sampai saat ini belum
dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dibiarkan menumpuk pada tempat - tempat
pengolahan tepung sagu sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Kalaupun ada
ternak yang memanfaatkannya, hanya ternak-ternak yang berada di sekitar lokasi
pengolahan tepung sagu, yang langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas
tanpa dikontrol. Pemanfaatan limbah atau ampas sagu sebagai pakan alternatif
merupakan suatu hal yang baik, walau disadari bahwa pemanfaatannya perlu
mendapat sentuhan teknologi, karena ampas sagu mempunyai keterbatasan untuk
digunakan sebagai pakan yaitu kandungan serat kasarnya tinggi dan proteinnya
rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pendahuluan sebelum
diberikan kepada ternak. Cara pengolahan limbah yang sudah dikenal antara lain
pengolahan fisik, kimia dan biologi.
Produksi dan
pengembangan usaha ternak unggas di pedesaan ditentukan sistem pemeliharaan,
Produktivitas ternak rendah membutuhkan perhatian khusus clan penanganan
pembibitan untuk penyediaan bibit yang baik (dalam jumlah clan kualitas) Kompiang
(1995) mengatakan bahwa salah satu penunjang perkembangan peternakan ayam buras
adalah tersedianya pakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Ampas
sagu (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari pengolahan
sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. Pemanfaatannya masih
terbatas dan biasanya dibuang begitu saja ketempat penampungan atau
kesungai yang ada disekitar daerah penghasil. Olehnya itu ampas sagu berpotensi
menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.
Pada pengolahan
sagu dijumpai limbah/hasil ikutan yang berupa kulit batang, ampas clanelod.
Ampas yang dihasilkan dari proses extraksi ini sekitar 14% dari total berat
basah batang sagu (Flach, 1997) . Di sentra-sentra produksi limbah ampas sagu
pada umumnya belum dimanfaatkan,
Komposisi Ampas Sagu
Dari batang
sagu ini melalui proses ekstraksi diperoleh tepung sagu. Limbah yang dihasilkan
pada proses pengolahan tersebut, yaitu terutama ampas dan limbah cair belum
banyak dimanfaatkan, sehingga sering menimbulkan masalah karena mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Pangsopan et al. (1984) menyatakan bahwa ampas sagu
dapat dipergunakan sebagai bahan pakan untuk sapi Peranakan Onggol sampai
tingkat 45% dalam ransum. Kendala utama dalam penggunaan ampas sagu untuk pakan
ternak, terutama untuk ternak monogastrik, karena nilai gizinya rendah dan
kandungan serat kasarnya tinggi . Haryati et al. (1995) mendapatkan bahwa
kandungan protein pada ampas sagu hanya 1,65%, akan tetapi kandungan patinya
masih cukup tinggi, yaitu 45,90%.
Di daerah
Maluku tersedia dan belum banyak dimanfaatkan oleh peternak akibat kurangnya
informasi penggunaannya . Hasil analisis komposisi zat makanan ampas sagu yang
dilakukan oleh Hangewa (1992) sebagai berikut : protein kasar 2,3%, serat kasar
18,86%, BETN 70,04% dan gross energi 4148 Kkal . Dari hasil analisis ini
tergambar bahwa ampas sagu masih cukup tersedia sebagai sumber energi bagi
ternak, akan tetapi yang menjadi faktor pembatas adalah kandungan protein kasar
rendah dan serat kasar tinggi. Tepung sagu dapat diolah menjadi bahan yang kaya
akan protein dan vitamin untuk makanan ternak, dengan teknologi fermentasi .
Ampas sagu yang telah difermentasi meningkat kadar proteinnya sampai 14%
(puslit13 Angnak, 1997).
kandungan Zat Nutrisi Ampas Sagu Sebelum
dan Sesudah fermentasi
|
||||||
Zat Nutrisi
|
Sebelum Fermentasi
|
Sesudah fermntasi
|
Peningkatan (%)
|
|||
protein (%)
|
3,84
|
23,08
|
601,04
|
|||
Lemak (%)
|
1,48
|
1.90
|
128,38
|
|||
Abu (%)
|
5.40
|
9.50
|
175,93
|
|||
Ca (%)
|
0,32
|
0,48
|
150
|
|||
P (%)
|
0,05
|
0,48
|
960.00
|
|||
Lemak Kasar (%)
|
14,51
|
28,89
|
199.10
|
|||
Energi (Kkal/kg)
|
1.352
|
1.543
|
144.13
|
Peningkatan Nilai Gizi Ampas Sagu
Potensi
penggunaan ampas sagu sebagai pakan memiliki faktor
pembatas adalah kandungan protein kasarnya rendah dan serat kasar tinggi.
Agar menjadi bahan pakan ternak yang kaya akan protein dan vitamin,
berdasar riset ini maka ampas sagu dapat diolah dengan teknologi fermentasi
. Dengan proses fermentasi, kadar protein
ampas sagu dapat meningkat sampai 14 %. Prosedur fermentasi ampas sagu sama
dengan prosedur fermentasi.
Tahapan Fermentasi ampas sahu
1.
Ampas sagu yang digunakan dijemur sampai kering selanjutaya diayak untuk
memisahkan tepung elasagu dari serat.
2.
Tepung ampas sagu kering dibasahi sampai agak lembab (basah), lalu dikukus
selama 30 menit atau sampai terasa lengket .
3.
Ampas sagu yang telah matang dibiarkan dingin betul, kemudian ditimbang dan
ditambahkan urea sebanyak 3% dari berat ela sagu basah diaduk sampai rata lalu
ditambahkan Aspergillus niger (dapat juga mengunakan ragi tape) sebanyak 3 – 5
gram/kg ela sagu, dicampur hingga homogen.
4.
Ampas sagu yang telah diberi ragi ditempatkan dalam wadah yang bersih,
bebas air dan minyak, ditutup rapat selama 48 - 72 jam baru dibuka.
5.
Ampas sagu yang telah mengalami fermentasi sempurna memiliki ciri-ciri
sebagai berikut : aroma khas/aroma buah atau beraroma seperti tape ketan, warna
agak kemerahan, teksturnya lembut dan rasanya agak manis. Hasil fermentasi dijemur
sampai kering dan siap digunakan dalam ransum
Proses
fermentasi mempunyai kelebihan antara lain: tidak mempunyai efek samping
yang negatif, mudah dilakukan, relatif tidak membutuhkan peralatan khusus dan
biaya relatif murah. Pemanfaatan kapang Aspergillus niger sebagai
starter dalam proses fermentasi ini dirasa paling cocok dan sesuai dengan
tujuan fermentasi, yaitu untuk menurunkan kadar serat dan sekaligus dapat
meningkatkan kadar protein kasarnya. Aspergillus niger merupakan kapang yang sangat
mudah tumbuh dalam suasana aerob, bersifat selulolitik dan sangat cepat
perkembangbiakannya. Banyak penelitian proses fermentasi yang telah
dilakukan menggunakan Aspergillus niger, utamanya dalam upaya penurunan
kadar serat bahan pakan dan peningkatan kadar proteinnya.
Penggunaan Ampas Sagu Dalam Ransum Unggas
Pemakaian
tepung sagu dalam ransum ayam buras umur 12 minggu juga menghasilkan
pertambahan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum
tanpa tepung sagu, hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Natamijaya (1988).
Secara umum, riset ini membuktikan bahwa penambahan ampas sagu non fermentasi
dan fermentasi sampai kadar 10% dan 25% dari total ransum, memberi respon yang
cukup baik terhadap pertumbuhan ayam buras periode grower.
Harry Tum
dan Batsebat Wiro (1999) telah memberikan ampas sagu terhadap ayam buras selama
8 (delapan) minggu di Desa Koya Barat, Kotamadya Jayapura. Pada pengkajian ini
pertambahan bobot badan ayam buras tertinggi sebesar 100 gr/minggu berada
dibawah rata-rata hasil pengkajian terdahulu (120 gr/minggu) dengan tambahan
20% sagu (Uhi et al ., 1997) .
Natamijaya
et al. (1988) melaporkan bahwa pemakaian tepung sagu dalam ransum ayam buras
umur 12 minggu menghasilkan pertambahan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan
dengan ransum tanpa tepung sagu, dengan angka konversi pakan sebasar 3,5.
Bamualim et al. (1991) melaporkan penggunaan tepung putak yaitu isi batang
gewang (Coriphagebanga) yang dikombinasi dengan jagung sampai dengan tingkat
80% pada ayam buras periode grower menghasilkan rata-rata pertambahan berat
badan sebesar 380-470 gram/ekor/bulan, dengan angka konversi sebesar 3,1- 4,09
.
Menurut
Muller (1977) tepung sagu kelas dua atau ampas sagu sebagai pengganti jagung
atau biji-bijian dalam ransum ayam dan babi pada semua periode umur yang perlu
diperhatikan adalah kandungan serat kasar . Bila kandungan serat kasar di atas
5% maka kandungan amilosanya cukup tinggi sebaiknya digunakan dalam ransum
pertumbuhan dan induk dan tidak cocok untuk anak ayam.
Faktor yang
mempengaruhi konsumsi ransum adalah tingkat energi, keseimbangan asam amino,
tingkat kehalusan ransum, keaktifan ternak, berat badan, kecepatan pertumbuhan
dan suhu lingkungan. Dari hasil pengujian ini disimpulkan bahwa
penambahan ampas sagu non fermentasi dan fermentasi sampai dengan kadar 10% dan
25% dari total ransum memberikan respon yang cukup baik terhadap pertumbuhan
ayam buras periode grower .
17.
Tepung Limbah Udang
Ketersediaan
pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan
keberhasilan budi daya ternak. Biaya yang dikeluarkan untuk bahan pakan
(ransum) pada peternakan unggas adalah biaya terbesar yaitu berkisar 60 – 70
persen dari seluruh biaya produksinya. Tepung ikan adalah bahan baku pakan yang
menyebabkan mahalnya harga ransum, karena tidak dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri, sehingga lebih dari setengah, yaitu 200 ribu
ton/tahun kebutuhan tepung ikan Indonesia disuplai dari impor. Oleh sebab
itu untuk memenuhi kebutuhan peternak skala kecil dan menengah perlu bahan
pakan alternatif sebagai pengganti tepung ikan ini. Salah satu bahan pakan
alternatif adalah limbah udang (shrimp head waste).
Industri
pengolahan udang beku Indonesia berkembang sangat pesat pada beberapa tahun
terakhir ini, sejalan dengan meningkatnya produksi udang. Indonesia termasuk
negara pengekspor udang terbesar di dunia. Data BPS tahun 2004 menunjukkan
produksi udang Indonesia sebesar 240.000 ton dan produksi ini meningkat sebesar
14 % per tahun. Tahun 2005 produksi udang mencapai angka 250.000 ton. Apabila
udang segar ini diolah menjadi udang beku, maka sebesar 35% – 70% dari bobot
utuh akan menjadi limbah udang, kualitasnya bervariasi tergantung jenis udang
dan proses pengolahannya.
Ekspor udang
umumnya berupa udang tidak beku, udang beku dan udang dalam kaleng.
Produk udang beku sebagian besar berupa produk tanpa kepala (headless) dan
produk udang kupasan (peeled). Dari bagian udang yang terbuang tersebut ada
bagian yang masih layak bagi konsumsi, misalnya bagian kepala dan dada udang
(cephalothorax). Namun karena nelayan belum memiliki teknologi
mempertahankan kesegaran udangnya, bagian tubuh udang tersebut tidak tertangani
dengan baik sehingga cepat rusak dan membusuk sehingga daripada menjadi
beban, limbah udang tersebut lebih baik dibuang.Oleh karena itu dirasa perlu
dilakukan pembahasan yang lebih mendalam mengenai kemungkinan penggunaan tepung
limbah udang ini untuk menggantikan tepung ikan dalam ransum broiler.
Deskripsi
Limbah Udang
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan yang merupakan sisa sampai tidak mungkin
untuk dimanfaatkan kembali. Salah satu usaha pengolahan limbah adalah
menjadikannya sebagai pakan ternak. Proses pengolahan limbah menjadi
pakan ternak dapat dilakukan secara kering (tanpa fermentasi) yaitu dengan
mengeringkannya, baik menggunakan alat pengering atau maupun dengan sinar matahari.
Kemudian dicincang, selanjutnya dijemur pada sinar matahari sampai kering yang
ditandai dengan cara mudah dipatahkan atau mudah hancur kalau diremas. Setelah
kering limbah ditumbuk menggunakan lesung atau alat penumbuk lainnya, kemudian
dilakukan pengayakan (Anonima, 2008).
Udang
sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi
atas tiga macam, yaitu (1) produk yang
terdiri dari bagian badan dan kepala
secara utuh , (2) badan tanpa kepala dan (3)
dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk
tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti
kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah
industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang (Mudjima,1986 dalam
Abun 2009).
Klasifikasi
udang secara ilmiah :
Kerajaan
:Animalia
Filum :Arthropoda
Upafilum :Crustacea
Kelas :Malacostraca
Ordo :Decapoda
Upaordo :Pleocyemata
Infraordo : Caridea
Filum :Arthropoda
Upafilum :Crustacea
Kelas :Malacostraca
Ordo :Decapoda
Upaordo :Pleocyemata
Infraordo : Caridea
Proses
Pembuatan Tepung Limbah Udang
Tepung
limbah udang (LU) terbuat dari limbah udang sisa hasil pengolahan udang setelah
diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah bagian kepala, cangkang
dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit. Kualitas dan kandungan nutrien LU
sangat tergantung pada proporsi bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi.
dkk, 2009).
Menurut
(Mirzah, dkk. 2007) proses pembuatan tepung udang terdiri dari beberapa tahapan
antara lain :
1. Mempersiapkan limbah udang yang dapat diperoleh dari
pasar tradisional, industri pengalengan atau pembekuan udang.
2. Sebelum diolah limbah udang ini dibersihkan dari
benda-benda asing yang melekat dan dicuci dengan air segar.
3. Perendaman dengan larutan filtrat air abu sekam (FAAS)
20 % selama 48 jam. Untuk memperoleh larutan abu sekam padi 20 %
dilakukan dengan melarutkan 200 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih.
Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya
dan siap digunakan.
4. Selanjutnya dipanaskan dengan autoclave selama
45 menit, dan langsung digiling menjadi bentuk pasta.
5. Dilanjutkan dengan proses fermentasi dengan EM-4
dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dengan lama fermentasi 11 hari.
6. Kemudian di keringkan dengan cahaya matahari lalu
digiling
Penggunaan
bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan menggunakan larutan filtrat air
abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan. Hasil penelitian Mirzah (2006),
menunjukkan bahwa perendaman limbah udang dalam larutan filtrat air abu sekam
(FAAS) 10% selama 48 jam dan dikukus selama 45 menit dapat menurunkan kitin
dari 15,2% menjadi 9,87% dan meningkatkan kecernaan protein kasar dari 50%
menjadi 70,50%, sedangkan kandungan zat-zat makanan lain tidak banyak berubah,
yaitu bahan keringnya 86,40%, protein kasar 38,98%, lemak 4,12%, kalsium
14,63%, fosfor 1,75%, dan asam amino kritis seperti metionin 0,86%, lisin
1,15%, triptopan 0,35%, serta retensi nitrogen 66,13% dan energy termetabolis
2204, 54 kkal/kg. TLU hasil olahan dengan FAAS 10% tersebut lebih baik
dibandingkan TLU tanpa diolah, yaitu dengan kandungan protein kasar 42, 6%,
lemak 5,43%, kitin 15,24%, retensi nitrogen 55,23%, energi
termetabolis
1984,87 kkal/kg, dan kecernaan protein 52,00%, namun kualitas TLU olahan itu
perlu dievaluasi secara biologis melalui pemberian ransum kepada ayam broiler.
Pengolahan
limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%. Filtrat air abu sekam
sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam padi yang telah
diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan abu sekam padi
10% diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih.
Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya
dan siap digunakan. Setelah direndam selanjutnya limbah udang dikukus selama 45
menit, dan dikeringkan dengan cahaya matahari dan akhirnya digiling. Kandungan
zat-zat makanan TLU tanpa olahan dan diolah dibandingkan dengan tepung ikan.
Untuk meningkatkan kualitas dan memaksimalkan
pemanfaatan limbah udang ini, maka sebelum diberikan pada ternak perlu
dilakukan pengolahan, yaitu yang dapat meningkatkan kecernaan
dan menurunkan kandungan khitinnya. Penggunaan teknologi pengolahan pakan
yang tepat guna, untuk tujuan meningkatkan kualitas nutrisi limbah udang sangat
diperlukan agar pemanfaatan proteinnya maksimal. Berbagai perlakuan pengolahan
dapat dilakukan antara lain perlakuan fisik, kimia dan biologis serta
kombinasinya.
Namun waktu fermentasi cukup lama, yaitu
sampai 14 hari. Waktu pengolahan yang sangat lama ini tidak efektif dan efisien
dalam penyediaan bahan baku pakan unggas. Selain Lactobacillus sp, juga
dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur
campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pruduksi
ternak, sebagian besar terdiri dari genus Lactobacillus sp, bakteri
fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai
selulosa dan ragi yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin pada limbah
udang (Kyusey Nature Farming Societies, 1995; Indriani, 2003).
Pengolahan
dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat meningkatkan kandungan nilai gizi
dan kualitas nutrisi TLU dibandingkan TLU hasil preparasi dengan FAAS
saja. Penggunaan inokulum dengan kultur campuran (EM-4) lebih baik
dibandingkan inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus sp).
Produk TLU olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan EM-4
dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari.
Kandungan
Nutrisi Tepung Limbah Udang
Tepung limbah udang mengandung semua asam amino essensial,
juga sebagai sumber asam amino aromatik seperti fenilalanin
dan tirosin yang kandungannya lebih tinggi daripada tepung
ikan, lisin cukup tinggi yaitu 4,58% serta sumber asam amino
bersulfur (S) dengan kandungan metionin sebesar 1,26 %
(Purwatiningsih,1990). Perbandingan kandungan nutrisi antara tepung limbah
udang dan tepung ikan terdapat pada tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Antara TLU dan Tepung Ikan.
Nutrien
|
TLU tanpa
diolah
|
TLU olahan
|
Tepung
Ikan
|
Air
(%)
|
8,96
|
14,60
|
8,21
|
Bahan
kering (%)
|
91,04
|
86,40
|
91,79
|
Protein
kasar (%)
|
39,62
|
39,48
|
49,81
|
Lemak
(%)
|
5,43
|
4,09
|
4,85
|
Serat
kasar (%)
|
21,29
|
18,71
|
1,78
|
Abu
(%)
|
30,82
|
30,94
|
16,29
|
Kalsium
(%)
|
15,88
|
14,63
|
3,17
|
Fosfor
(%)
|
1,90
|
1,75
|
0,37
|
Khitin
(%)
|
15,24
|
9,48
|
-
|
Metionina
(%)
|
1,16
|
0,86
|
1,58
|
Lisin
(%)
|
2,02
|
1,15
|
3,51
|
Triptopan
(%)
|
0,53
|
0,35
|
0,59
|
Retensi
nitrogen (%)
|
55,23
|
66,13
|
77,20
|
Energi
metabolis (kkal/kg)
|
1984,87
|
2204,54
|
3080,00
|
Kecernaan
protein (in vitro)
|
52,00
|
70,47
|
80,62
|
udang cukup
baik meskipun tidak sebaik yang dimiliki oleh tepung ikan. Hal ini memperlihatkan
bahwa potensi tepung limbah udang dapat di rekomendasikan kepada peternak
untuk menggantikan tepung ikan karena selain mudah untuk didapatkan, bahan ini
tentu saja lebih ekonomis dibandingkan bila menggunakan tepung ikan. Terdapat
perbedaan kandungan nutrisi antara tepung limbah udang tanpa diolah dan Tepung
limbah udang yang telah mengalami proses pengolahan.
Bila dihitung secara nominal berdasarkan kandungan protein kasar pada limbah
udang, maka pada tahun 2004 diperoleh limbah udang sebesar 66,3 ribu ton atau
setara 88,5 ton protein kasar. Jumlah tersebut merupakan potensi bahan baku
pakan sebagai sumber protein hewani yang sangat besar, namun dibalik beberapa
kelebihan yang dimiliki limbah udang ini memiliki beberapa kekurangan seperti
tingginya kandungan serat kasar dan terdapatnya kandungan zat antinutrisi
khitin yang menyebabkan kecernaan terhadap protein menjadi rendah.
Senyawa
Khitin
Kulit udang
yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat
dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan
secara optimal.
Dengan
adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan
hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin dan khitosan mempunyai
reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation
sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat
berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah ( Hirano,
1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben maka khitin dan
khitosan dari limbah udang berpotensi dalam memcahkan masalah pencemaran
lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah
didapatkan.
Tingginya
kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral terutama kalsium,
yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium karbonat
merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan protein yang
terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium karbonatnya
sampai 15-30% (Foster dan Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973). Adanya
ikatan khitinprotein- kalsium karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna
protein limbah udang ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding
dengan potensi nilai gizinya. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit,
kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan
golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit
udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%), dan khitin
(15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis
udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% - 23,90%),
kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% - 32,20%), hal ini juga
tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992)
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi
kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai
limbah. Khitin adalah polisakarida alamiah yang menyebabkan kerasnya kulit crustaceae
(udang) dan molusca (kerang) serta dinding sel fungi dan alga
tertentu.
Protein atau
nitrogen yang ada pada limbah udang ini berikatan erat dengan kitin dan kalsium
karbonat dalam bentuk komplek ikatan senyawa protein-kitin-kalsium karbonat,
sehingga “bioavailability” oleh ternak unggas sangat rendah, di samping itu,
ternak unggas tidak mempunyai enzim kitinase pada saluran pencernaannya.
(Mirzah, 2007)
Kandungan
khitin yang tinggi menyebabkan limbah udang mempunyai kecernaan yang rendah yaitu kadar
khitin 3 % dalam ransum ayam broiler yang akan menekan konsumsi ransum dan
pertumbuhan . Oleh sebab
itu sebelum digunakan sebagai bahan pakan dalam ransum broiler limbah udang itu
harus mendapat penanganan dan pengolahan yang baik untuk meningkatkan nilai
gizinya. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.
Penggunaan
Tepung Limbah Udang dalam Ransum Broiler
Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ayam merupakan hal yang mungkin dapat
dipakai, disamping menambah variasi dan persediaan bahan baku ransum yang tidak
bersaingan dengan manusia, mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat
menekan biaya ransum, dimana 60—70% dari komponen biaya produksi adalah biaya
ransum.
18.
Limbah Kulit Nanas
Pakan
merupakan komponen terbesar, yakni mencapai 60%, dari biaya produksi
peternakan. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh jenis bahan bakunya.
Untuk menekan biaya pakan, peternak atau perusahaan penggemukan mau tidak mau
harus mencari alternatif bahan baku yang dapat dijadikan pakan berkualitas baik
dan murah. Dalam ransum, kulit nanas diambil manfaatnya sebagai sumber serat
dan energi bagi ruminansia. Sementara kebutuhan akan proteinnya dipasok dari
campuran bungkil-bungkilan dan urea. Bahan baku pakan bersumber dari limbah
industri ini cukup tersedia sepanjang tahun. Nanas merupakan tanaman buah
berupa semak dengan daging buah berwarna kuning yang mempunyai kandungan air
yang dimiliki buah nanas adalah 90%. Nanas kaya akan Kalium, Kalsium, lodium,
Sulfur, Khlor, Asam, Biotin, Vitamin B12, Vitamin E serta Enzim Bromelin. Dalam
bahasa Inggris, nanas disebut pineapple yang berasal dari persamaan bentuk buah
pohon pinus yaitu pine-cone (biji atau buah cemara). Sebutan ini pertama kali
tercatat pada tahun 1398, yang asalnya dulu digunakan untuk menjelaskan organ
reproduksi dari pohon conifer. Ketika bangsa Eropa melakukan eksplorasi laut
(menjelajah dunia) maka ditemukanlah buah tropikal ini, bangsa Eropa
menyebutnya “pineapples”. Dalam bahasa ilmiah, nama dari nanas adalah Ananas
Comosus. Kata Ananas asalnya dari bahasa Tupi (Tupian Languages) sebuah suku
yang tinggal di daerah Rio de Janeiro, Brazil, kependekan dari pine ananas
(kata ini tercatat pada 1555 oleh Andre Thevenet). Sementara kata Comosus
berarti “berumbai” (tufted) yang didasarkan pada bentuk tangkai/batang buah
yang mempunyai daun berumbai-rumbai. Pada genus atau kerabat nanas lainnya
sering juga disebut pine saja. (AAK, 1998).
Sebenarnya
nanas (Ananas Comocus) bukanlah
tanaman asli Indonesia, tetapi pendatang dari Brazilia,Argentina, dan Paraguay.
Pada saat ini nanas telah tersebar luas keseluruh dunia. Negaraproduksi nanas
yang terkenal ialah Hawaii, Taiwan, dan kuba. Di Indonesia tanaman nanas banyak
terdapat di Bogor, Purwakarta, Palembang, Riau, Jambi, dan sebagainya yang
luasnya mencapai lebih dari 28.000 hektar dengan produksi mencapai 1999.400 ton
per tahun. Hal itu disebabkan tanaman mudah tumbuh dan tidak banyak memerlukan
perawatan. Sedangkan resikokegagalan dalam bertanam nanas jarang terjadi.
Pemasaran hasilnya mudah asalkan manis dan tidak gatal. Oleh karena itu,
kualitas buah sangat menentukan pemasarannya. (Natawidjaja.1993)
Produksi buah nanas secara nasional
mencapai sekitar 702 ribu ton per tahun dan sebagian besar disumbang oleh lima
wilayah utama penghasil nanas. Potensi tanaman nanas sebagai sumber pakan
ternak dimungkinkan, apabila terdapat industri yang akan mengolahan buah nanas
menjadi produk hasil olahan seperti sari nanas. Tingkat rendemen sekitar 15%,
atau dihasilkan produk limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging
buah sebesar 85%. Walaupun tidak seluruh produksi tanaman nanas digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pabrik pengolah yang ada, secara potensi terdapat sekitar 596
ribu ton per tahun limbah segar nanas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pakan ternak. Bila dikonversikan kedalam bahan kering dengan kadar air
24%, maka terdapat potensi sebesar 143 ribu ton per tahun limbah nanas kering..
Kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi memungkinkan bahan tersebut digunakan
untuk menggantikan rumput sebagai pakan dasar untuk ternak ruminansia.
Pengolahan limbah nanas untuk
menghasilkan bahan pakan ternak pada dasarnya limbah nanas mengandung air dalam
jumlah besar, sehingga membutuhkan pengeringan secara intensif dan cepat untuk
menghindari kerusakan bahan. Namun, limbah nanas dapat pula diproses
menggunakan teknologi fermentasi untuk menghasilkan produk silase limbah nanas.
Hal ini dimungkinkan karena kandungan air sebesar 75% sesuai bagi proses
pembuatan silase (McDonald, 1981).
Teknologi ini dapat mengatasi
masalah cepatnya limbah mengalami kerusakan apabila tidak segera dikeringkan.
Dengan demikian pengolahan limbah menjadi silase dapat menghindari proses
penggilingan maupun pengeringan, karena silase limbah dapat langsung digunakan
sebagai pakan ternak ruminansia dasar. Hal ini dengan sendirinya berpotensi
untuk mengurangi biaya pengolahan secara signifikan, walaupun untuk mengolah
limbah kedalam bentuk silase juga membutuhkan biaya, antara lain untuk
pembuatan silo dan bahan aditif. Diperlukan analisis efisiensi ekonomis untuk
mengetahui proses pengolahan yang paling optimal dalam memanfaatakan limbah
nanas tersebut yang hasilnya akan ditentukan oleh skala produksi.
Limbah nanas mengandung serat (NDF)
yang relatif tinggi (57,3%), sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu
hanya 3,5%. Oleh karena itu, potensi penggunaannya bukan sebagai komponen
penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan dasar penyusun ransum. Limbah
nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung sebagai pakan dasar,
sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit limbah harus
digiling terlebih dahulu. Sebagai pakan dasar, limbah nanas diharapakan dapat
meminimalisir ketergantungan akan pengadaan hijauan pakan bagi kebutuhan
ternak. (Winarno.1993).
Kandungan
Nutrisi
Nutrisi Komposisi Bahan Kering
54,2%. Bahan organik 91,9%. Abu 8,1%. Protein Kasar 3,6%. NDF 57,3%. ADF 31,1%.
Energi Kasar 4481 Kkal/kgBK. Energi Cerna 2120 Kkal/kg BK Kulit buah dan serat
perasan daging buah nanas merupakan sumber energi yang potensial untuk ternak
ruminansia. Kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi memungkinkan bahan
tersebut digunakan untuk menggantikan rumput sebagai pakan dasar. Limbah nanas
berupa campuran serat perasan daging buah dan kulit buah sebagai produk sisa
pengolahan buah segar menjadi jus nanas.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Zat Makanan Limbah Nanas
(%) Bahan Kering
Komposisi
|
PK
|
SK
|
Abu
|
LK
|
BETN
|
Daun, segar
|
9.1
|
23.6
|
4.9
|
1.6
|
60.8
|
Daun, silase
|
6
|
22.8
|
10
|
2.9
|
58.3
|
Dedak nanas, kering
|
3.5
|
16.2
|
5.2
|
0.5
|
74.6
|
Kulit
|
6.4
|
16.7
|
4.1
|
0.9
|
71.9
|
Mahkota
|
7.2
|
25.4
|
3.7
|
0.8
|
62.9
|
Pucuk
|
7
|
22.3
|
4.1
|
0.8
|
65.7
|
Inti
|
7.1
|
19.7
|
2.3
|
1
|
69.9
|
Hiasan
|
6.8
|
16.2
|
2.6
|
0.9
|
73.5
|
Ampas
|
7.8
|
21.9
|
4.4
|
1.2
|
64.7
|
Sumber :
Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan, R.Murni, Suparjo, Akmal,
BL.Ginting. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
2008
Hasil intensifikasi tanaman pangan
tidak hanya mengahsilkan bahan pangan, tetapi juga menghasilkan limbah berserat
yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan
suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak.
Menurut Devendra (1987), manyebutkan
bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan
pakan nonkonvensional sangat penting dillakukan karena dapat digunakan sebagai
substitusi kekurangan hijauan maupun sebagai pengganti hijauan, salah satu
limbah pertanian yang memiliki potensi besar yaitu limbah nanas.( Hutagulang et
al, 1978).
Adapun dalam pengamatan nilai
kecernaan terhadap Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) menunjukkan hasil yang
cukup baik dimana teradi peningkatan daya cerna sampai 40%. Pemberian ransum
dengan serat kasar yang rendah secara kontinyu dapat mengadaptasikan ternak
ruminansia terhadap karbohidrat yang mudah dicerna selain itu bakteri yang
merombaknya juga meningkat. (Arora, 1989).
Berikut
adalah tabel analisis proksimat kulit nanas dan beberapa kandungan kimia yang
terkandung didalam buah nanas yang berdasarkan berat basah.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Limbah Kulit Nanas
Berdasarkan Berat Basah
Komposisi
|
Rata-rata Berat Basah (%)
|
Air
|
86,70
|
Protein
|
0,69
|
Lemak
|
0,02
|
Abu
|
0,48
|
Serat basah
|
1,66
|
Karbohidrat
|
10,54
|
Sumber:
Sidharta (1989)
Dari data
tersebut menunjukkan bahwa kandungan air pada nanas lebih tinggi dibandingkan
dengan kandungan protein, lemak, abu, serat basah dan karbohidratnya.
Berikut ini
adalah hasil analisis proksimat bahan pakan yang berasal dari limbah industri.
Tabel 3. Analisis proksimat limbah nanas
Bahan
|
BK
|
Abu
|
PK
|
Lemak
|
SK
|
Beta-N
|
Ca
|
P
|
Ampas nanas
|
89,6
|
4,5
|
4,5
|
15,8
|
1,60
|
63,9
|
-
|
-
|
Sumber :
http://intannursiam.wordpress.com/2010/08/25/bahan-makanan-ternak-limbah-industry-perkebunan/
Dari tabel diatas
industri pengalengan nanas menghasilkan limbah berupa kulit, mahkota daun dan
hati buah nanas sebanyak 30-40%. Bila buah nanas tersebut diproses menjadi
juice atau sirup akan diperoleh limbah lagi yaitu ampas nanas. Ampas nanas
masih mengandung kadar gula tinggi dan serat kasarnya juga cukup tinggi tetapi
proteinnya rendah.
Tabel. 4 Komposisi Nanas (%)
Buah
|
Sihid
|
Protein
|
Asam Citrat
|
Gula Reduksi
|
Surkosa
|
Fibre
|
Abu
|
Nanas segar
|
12,5-16,1
|
0,42-0,50
|
0,8-1,5
|
1,2-9,7
|
1,7-10,32
|
0,17-0,3
|
1,4-0,7
|
Nanas kalengan
|
17
|
0,43
|
0,35
|
9,72
|
5,12
|
-
|
0,4
|
Menurut Kayser, Nanas segar
mengandung zat padat 16,72%, asam citrat 0,63%, gula invert 4% dan sakrosa
sekitar 8,6 gram/100cc. Buah mengandung manitol +1% asam terdiri dari sitrat
dan malat (13% dari keseluruhan sitrat) zat warna karotine (1,5-2,5 mg/kg) abu
terdiri dari KO 0,24,CaO 0,04, MgO 0,02.
Selain
buahnya, bagian tanaman nenas yaang lain dapat pula dimanfaatkan seperti kulit
buah. Kulit buah nenas dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak yang
disebut silase. Silase adalah produk fermentasi an-aerobik bakteri asam laktat
yang berasal dari hijauan dengan kadar air tinggi. Silase merupakan bahan pakan
yang basah dan lembut, sehingga disukai ternak dan tidak mengganggu kelancaran
sistem pencernaan.
Limbah
nanas, baik hasil pengalengan maupun limbah tanaman dapat dimanfaatkan untuk
bahan makanan ternak ruminansia. Nilai gizi limbah nanas lebih tinggi
dibandingkan dengan limbah tanaman lainnyas. Penyusun utama limbah nanas adalah
karbohidrat mudah larut terutama gula. Limbah nanas mengandung provitamin A
sekitar 80.000 I.U berdasarkan bahan kering (BK). Pemanfaatan limbah nanas
dalam bentuk kering atau dalam bentuk dedak lebih menguntungkan daripada bentuk
segar atau basah. (Montgomery dkk,1993).
Berdasarkan kandungan nutriennya,
ternyata kulit buah nanas mengandung karbohidrat dan gula yang cukup tinggi
yang baik dikonsumsi oleh ternak ruminansia. Menurut Wijana, dkk (1991) kulit
nanas mengandung 81,72 % air; 20,87 % serat kasar; 17,53 % karbohidrat; 4,41 %
protein dan 13,65 % gula reduksi. Mengingat kandungan karbohidrat dan gula yang
cukup tinggi tersebut maka kulit nanas juga memungkinkan untuk dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan bahan kimia, salah satunya etanol melalui proses
fermentasi.
19.
Akar Alang-Alang
Kebutuhan
akan penggunaan tanaman obat sebagai suplemen (feed supplement) sudah
sangat umum digunakan pada ransum ternak. Kandungan zat gizi yang diperlukan
semakin tinggi menyebabkan kebutuhan bahan pakan semakin meningkat. Feed
supplement yang digunakan haruslah aman bagi ternak dan juga diperlukkan
untuk dapat meningkatkan kualitas karkas dan performans pada ayam broiler.
Suplementasi pada pakan dapat diberikan dalam bentuk ekstrak ataupun
dalam bentuk tepung, seperti yang digunakan pada penelitian ini yaitu akar
alang-alang (Imperata cylindrica).
Akar
alang-alang (Imperata cylindrica) dapat dimanfaatkan untuk pakan
ternak, memiliki kandungan seperti asam asetat, asam oksalat, asam malat,
dan asam sitrat yang berperan dalam peningkatan efesiensi metabolisme
energi dalam tubuh. Penggunaan suplementasi ekstraks akar alang-alang (Imperata
cylindrica) sampai level 4 g/kg pakan dapat meningkatkan kualitas karkas
pada ayam broiler, sedangkan pada penggunaan suplementasi tepung akar
alang-alang (Imperata cylindrica) yang diberikan pada level 1 % dapat
memperbaiki nilai konsumsi ransum dan menekan kelainan pada kaki ayam broiler.
Dalam bahan
pakan atau ransum diperlukannya feed supplement agar dapat meningkatkan
penyerapan berbagai macam zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh ternak dan
menghambat perkembangan mikrobia. Zat anti mikrobia yang ada dalam
tanaman obat seperti akar alang-alang (Imperata cylindrica) dapat
meningkatkan berat badan dan efisieni penggunaan pakan, dimana zat ini membantu
dalam membasmi mikroba patogen didalam saluran pencernaan sehingga zat makanan
dapat dimanfaatkan secara efisien.
Kriteria kualitas karkas dan performans ayam
Ayam broiler
adalah galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis
dengan cirri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek
dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging baik, dada lebih besar
dan kulit licin (North and Bell, 1990). Menurut Rasyaf (1999) ayam broiler
merupaakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur 1–5 minggu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa ayam broiler yang berumur 6 minggu sudah sama
besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan
ayam broiler tersebut didukung oleh sifat genetic dan keadaan lingkungan yang
meliputi makanan, temperature lingkungan dan pemeliharaan. Pada umumnya di
Indonasia ayam broiler sudah dipasarkan pada umur 5- 6 minggu dengan berat 1,3
– 1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena ayam broiler yang
sudah berat sulit dijual (Rasyaf, 1999).
Karkas ayam
Karkas ayam
brioler adalah bagian dari ayam broiler hidup, setelah dipotong, dibului,
dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta
kedua kakinya (ceker). Klasifikasi berdasarkan cara penanganannya, dibedakan
menjadi : Karkas segar ialah karkas segar yang baru selesai diproses selama
tidak lebih dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut. Karkas
dingin segar ialah karkas segar yang segera didinginkan setelah diproses
sehingga suhu di dalam daging mencapai antara 4-5°C. Karkas beku ialah karkas
yang telah mengalami proses pembekuan cepat atau lambat dengan suhu penyimpanan
antara 12-18°C.
Ayam broiler
merupakan ternak unggas yang potensial karena mampu menyediakan daging dalam
jumlah yang banyak dan cepat sebagai sumber protein. Komposisi pakan yang baik
dapat meningkatkan performans dan kualitas karkas pada ayam broiler. Performans
ayam broiler juga dapat ditingkatkan dengan pemberian feed supplement berupa
suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica). Untuk
memperoleh ayam broiler dengan karkas dengan kualitas baik, dibutuhkan zat
nutrisi yang lengkap dan seimbang dalam ransumnya. Kriteria karkas yang
baik dapat dilihat dari bentuk tulang dada yang normal, melengkung, panjang,
ramping seperti perahu, punggung rata, pertumbuhan daging paha, sayap, dan dada
baik dan berisi, warna kuning dan cerah, daging lunak dan lentur, tekstur kulit
halus, bau tidak amis, dan dagingnya banyak.
Akar alang-alang
(Imperata cylindrica) merupakan tanaman obat-obatan yang kaya akan
senyawa metabolis dan memiliki beberapa khasiat antara lain sebagai pakan
ternak, obat-obatan seperti : pelembut kulit, peluruh air seni, pembersih
darah, penambah nafsu makan, dan sebagai penghenti pendarahan. Alang-alang
dapat berbiak dengan cepat, dengan benih-benihnya yang tersebar cepat bersama
angin, atau melalui rimpangnya yang lekas menembus tanah yang gembur. Rumput
ini senang dengan tanah-tanah yang cukup subur, banyak disinari matahari sampai
agak teduh, dengan kondisi lembab atau kering.
Di kalangan
masyarakat umum, alang–alang
(Imperata cylindrica) merupakan
sejenis tanaman liar
pengganggu yang merusak keadaan
tanah dan sebagi sumber utama timbulnya bahaya kebakaran pada tanaman budidaya dan hutan (Dove dan Mortopo 1987). Selain itu alang–alang (Imperata
cylindrica) juga dianggap
sebagi saingan tanaman budidaya
kerana alang–alang berkembang biak
dengan stolon yaitu
batang–batang menjalar dibawah tanah yang mempunyai mata tunas ada setiap buku batangnya
dan tumbuh menjadi tanaman baru lebih
cepat dari tanaman budidaya
( Sukman dan Yakup
1995 ). Akar alang-alang (Imperata
cylindrica) memiliki kandungan seperti asam asetat, asam oksalat,
asam malat, dan asam sitrat yang berperan dalam peningkatan efesiensi
metabolisme energi dalam tubuh dan dapat meningkatkan pertambahan berat badan
(PBB) serta efisiensi pakan.
Kandungan nutrisi
Akar
alang-alang (Imperata cylindrica) memiliki kandungan nutrisi seperti
protein 1,54 %, energi 3728 Kkal/kg, SK 0,24 %, lemak 0,29 %, Ca 0,16 % dan P
0,28%. Metabolit yang telah ditemukan pada akar alang-alang terdiri dari
arundin, ferfenol, flavonoid, kampesterol, stigmasterol, ß-sitosterol, katekol,
asam oksalat, asam sitrat, potassium (0,75% dari BK), sejumlah besar kalsium
sejumlah besar kalsium dan 5-hidroksitriptamin. Dari hasil penelitian lain
terhadap akar dan daun ditemukan 5 macam turunan flavonoid yaitu turunan
3′,4′,7-trihidroksi flavon, 2′,3′-dihidroksi kalkon dan 6-hidroksi flavanol.
Suatu turunan flavonoid yang kemungkinan termasuk golongan flavon, flavonol
tersubstitusi pada 3-0H, flavanon atau isoflavon terdapat pada fraksi ekstrak
yang larut dalam etilasetat akar alang-alang (Imperata cylindrica). Pada
fraksi ekstrak yang larut dalam air akar alang-alang (Imperata cylindrica)
ditemukan golongan senyawa flavon tanpa gugus OH bebas, flavon, flavonol
tersubstitusi pada 3-0H, flavanon, atau isoflavon (Anonim,2003). Akar alang-alang (Imperata cylindrica)
juga mengandung Air (81,00714%), Karbohidrat (6,3072%), Serat (5,8580%), Abu (1,1301%), monitol, senyawa K, sakarosa, glukosa,
malic acid, citric acid, arundoin,
cyllindrin, fernenol, simiarenol, dan
anemonin (Mursito 2000).
Tabel 1. Komposisi gizi akar alang-alang (Imperata
cylindrica)
Gizi
|
Ekstrak
(% BK)
|
Tepung
(% BK)
|
Protein
kasar
|
1,54
|
2,61
|
Lemak
|
0,29
|
0,37
|
Abu
|
3,98
|
3,91
|
Serat
Kasar
|
0,24
|
0,52
|
Dari data
tersebut, kandungan gizi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica)
lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan gizi ekstrak akar alang-alang (Imperata
cylindrica). Namun kadar abu ekstrak akar alang-alang yang terkandung lebih
tinggi sedikit dari kadar abu tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica).
Setelah
melakukan pengamatan terhadap ekstrak akar alang-alang pada kualitas karkas
ayam broiler dan tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica)
pada performans ayam broiler, menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi
ekstrak akar alang-alang (Imperata cylindrica) sampai pada level 4 g/kg
pakan dapat meningkatkan kualitas karkas pada ayam broiler, sedangkan
penggunaan suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica)
pada level 1 % berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan berat badan,
memperbaiki nilai konversi ransum dan dapat menekan kelainan pada kaki ayam
broiler. Semakin meningkatnya level suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata
cylindrica) maka semakin tidak efisiennya penggunaan ransum.
Penggunaan
akar alang-alang (Imperata cylindrica) dalam pakan atau ransum
unggas dapat mengurangi gulma tanaman para petani, karena yang kita tahu bahwa
alang-alang (Imperata cylindrica) hanyalah rumput atau tanaman
pengganggu, baik yang tumbuh di tepian sawah, jalan, lapangan maupun dihalaman
rumah. Sehingga penggunaan akar alang-alang (Imperata cylindrica)
untuk pakan ternak dapat mengurangi keresahan para petani atau masyarakat
disekitaran tumbuhnya alang-alang ini.
Daun
alang-alang yang masih muda dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia,
sebagai tambahan pakan hijauan, walaupun pemberiannya tidak banyak namun
pemanfaatannya cukup baik dan bisa diterima oleh masyarakat. Selain itu,
tanaman alang-alang dapat digunakan sebagai obat tradisional ataupun herbal,
dan juga dapat juga dikonsumsi oleh manusia, tentunya dengan produk alang-alang
(Imperata cylindrica) yang telah diolah baik olahan rumah maupun
industri.
20.
Semak Bunga Putih
Pemanfaatan Semak Bunga Putih (Chromolaena
odorata) dalam Ransum sebagai pakan ternak mempunyai potensi yang tinggi untuk
meningkatkan pertambahan bobot badan pada ternak dan memberikan keuntungan
secara ekonomis serta juga bermanfaat dalam konsentrat pakan ternak sebagai
konsumsi dan prtambahan bobot badan serta menghasilkan konversi pakan.
Semak bunga
putih merupakan gulma bagi pertanian karena pertumbuhannya yang cepat, sehingga
menggu produksi tanaman pertanian dan dapat menutupi lahan pertanian.
Klasifikasi
ilmiah dari semak bunga putih (Chromolaena odorata)
Kingdom
: plantae
Diviso
: Magnoliohyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub-kelas
: Asterales
Familia
: Asteraceae
Genus
: Chromolaena
Spesies
: Chromolaena odorata (Wikipedia,
2011)
Chrolaena
dikenal pula dengan nama tekelan maupun kirinyuh. Semak bunga putih merupakan
tumbuhan perdu berkayu tahunan. Gulma ini mempunyai cirri khas: daun berbentuk
segita, mempunyai tiga tulan daun yang nyata terlihat dan bila diremas akan
terasa bau yang khas, percabangan berhadapan, perbungaan majemuk yang dari jauh
terlihat berwarna putih. Penyebaran meliputi 50 – 1000 m diatas permukaan laut
(Nasution, 1986).
Marthen
(2007) memaparkan berbagai hal yang menuntungkan dengan memanfaatkan tanaman
semak bunga putih sebagai pakan ternak yaitu :
1. Kandungan protein tinggi (21 – 36%) setara dengan
lamtoro, turi dan gamal
2. Produksi Protein kasar 15 ton/ha/tahun
3. Memiliki keseimbangan asam amino yang baik untuk
ternak monogastrik
4. Degradabilitas efektif dalam rumen > 80%
5. Palatabilitas lebih baik dari gamal
6. Suplementasi sampai 30 % dalam ransum meningkatkan
konsumsi dan pertumbuhan ternak kambing.
Kandungan
asam amino semak bunga putih yaitu alanine (4,03%), arginine (4,96%), glysine
(4,61%), lysine (2,01%), methionine (1,58%), cystine (1,30%), leucine (7,01%),
valine (6,20), dan asam glutamic (9,38%) (Marthen, 2007). Hasil analisa
proksimat tepung semak bunga putih menunjukkan bahwa protein kasar (25,51%),
bahan kering (89,94%), lemak kasar (1,88%), serat kasar (11,17%), dan abu
(15,92%) (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak USU, 2008), sedangkan
kandungan energinya sebesar 3.583,5 kkal/kg (Loka Penelitian Kambing Sei
Putih), Ca (0,14%), dan P (0,42%) ( Lab. Sentral FP USU).
Chromolaena
odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida
alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid,
tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam
daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Pemanfaatan semak bunga putih (chromolaena odorita)
ini diberikan kepada unggas dalam entuk teung setelah semak bunga putih
dikeringkan dan digiling sehingga bentuknya menjadi tepung. Pemberian tepung
semak bunga putih dicampur dengan bahan pakan yang lain dengan persentase yang
berbeda dalm ransum sehingga dapat dilihat bagaimana palatibiltas konsumsi
pertambahan bobot badan maupun konversi ransumnya terhadap ayam pedaging.
Kirinyu
(Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai
larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid,
tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam
daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Hasil penelitian
Sagala (2009) menyatakan bahwa, tepung daun semak bunga putih dapat digunakan
sebagai bahan pakan burung puyuh sampai pada level 10% dalam ransum. Dan dari
hasil penelitian Ginting (2009) menyatakan bahwa pengaruh semak bunga putih
(chromolaena odorata) dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh tidak
nyata terhadap konsumsi ransum dan konversi ransum hingga level 10%.
Menurut
Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan
antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72
mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50 %
Disamping itu
sesuai pernyataan Marthen, (2007), Chromolaena odorata mengandung protein yang
tinggi (21-36%) setara dengan turi, lamtoro dan gamal; produksi protein kasar
sebesar 15 ton/thn, memiliki keseimbangan asam amino yang baik.
Kandungan
nilai nutrisi semak bunga putih (Chromolaena odorata):
Nutrisi
|
%
|
Bahan
kering
Protein
kasar
Ekstrak
eter
Serat
kasar
Abu
Nitrogen
Free Ekstrak
|
87-40
18-36
1.01
11.67
3.63
65.03
|
Menurut
Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan
antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72
mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50 %
Penelitian
di Pakistan oleh Bamikole dan Osemwenkhoe (2004) menunjukkan bahwa tepung daun
semak bunga putih dapat ditambahkan dalam pakan kelinci sampai level 35%.
Tepung semak
bunga putih dapat digunakan sebagai konsentrat sampai level 35 % dalam ransum
kelinci jantan umur 8-18 minggu.
Kandungan
tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Semak bunga
putih berpotensi pakan ternak, karena memiliki kandunga protein yang cukup
tinggi, setara dengan lamtoro serta memiliki keseimbangan asam amino yang baik
untuk ternak monogastrik (Mulik, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar