: http://i1122.photobucket.com/albums/l524/riyosuke/tail2.gif

Kamis, 04 April 2013


1.  Limbah Jerami Padi
Padi merupakan produk pertanian utama untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduk Indonesia. Luas lahan yang tersedia cukup besar yaitu 11,5 juta hektar dengan hasi produksi mencapai 52.078,8 ribu ton pada tahun 2003. Sehingga jerami padi merupaka limbah hasil pertanian yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Namun demikian, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak belum optimal Karen rendahnya kandungan protein kasar (3 – 4%) dan tingginya kandungan serat kasar (32 – 40%) sehingga memiliki tingkat kecernaan yang rendah yaitu berkisar antara 35 – 37 (HARYANTO dan WINUGROHO, 2000; RANGKUTI dan DJAJANEGARA, 1983). Komposisi kimiawi jerami padi sebagai pakan ternak terlihat pada Tabel 2. Sehubungan dengan rendahnya nilai gizi dan daya cerna bahan kering jerami padi maka inovasi teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas jerami padi sebagai pakan ternak. Berbagai pendekatan telah dilakukan untuk meningkatkan nutrisi jerami padi baik secara kimiawi, fisik dan biologis. Namun kombinasi dari ketiga proses tersebut lebih sering diterapkan untuk meningkatkan kualitas dan kecernaan pakan jerami padi.
Tabel 2. Komposisi nutrisi jerami padi sebagai pakan ternak
 

Parameter                                                                                                         Nilai (%)
Bahan kering (DM)                                                                                           66
Total kecernaan(TDN)                                                                                    38,1
Kadar air                                                                                                           60,0
Protein kasar                                                                                                     3,93
Serat kasar                                                                                                        33,00
Lemak                                                                                                                         0,91
Kadar abu                                                                                                         22,44
Kalsium                                                                                                            0,42
Pospor                                                                                                              0,40


Sumber:
RANGKUTI dan DJAJANEGARA (1983);
HARYANTO (2003); MAHENDRI et al.,(2005)
Proses fermentasi jerami padi merupakan salah satu pendekatan secara biologis untuk meningkatan kualitas pakan jerami padi. Proses ini menggunakan biostarter untuk mempercepat peningkatan kualitas pakan dan untuk penyimpanan jangka panjang. Bahan biostarter yang umum digunakan adalah mikroorganisme (bakteri asam laktat) dan jamur (Aspergillus niger) (MATHIUS, 2000; HARYANTO, 2003). Proses fermentasi dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pengeringan dan penyimpanan. Proses fermentasi dapat dipercepat dengan penambahan urea untuk disimpan (dibiarkan) selama 21 hari sebelum digunakan sebagai pakan ternak. HARYANTO (2003) melaporkan bahwa jerami padi yang telah difermentasi memiliki penampilan bewarna coklat dengan tekstur yang lebih lunak. Kandungan nutrisi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa fermentasi (Tabel 3) serta memiliki nilai gizi yang sebanding dengan rumput gajah. Sementara itu, MAHENDRI et al (2005) menambahkan bahwa kandungan protein kasar pada jerami padi fermentasi meningkat dari 5,36% menjadi 6,78% yang sekaligus menurunkan kadar ADF dan NDF masing-masingnya mencapai 63,91% dan 66,03%. Kandungan protein tersebut ternyata cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi potong. Untuk memperbaiki daya cerna pakan, energy metabolik dan daya cerna, maka pakan jerami padi fermentasi dapat ditambahkan beberapa bahan kimia seperti urea (CHEMJONG, 1991; HARYANTO, 2003) atau 4% NaOH. Selain itu proses fermentasi dapat menurunkan kandungan residu pestisida golongan organokhlorin (OC) maupun organofosfat (OP), yang mana keberadaan residu pestisida dalam pakan dapat membahayakan kesehatan ternak dan produk ternak yang dihasilkan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh INDRANINGSIH dan SANI (2005) terhadap proses fermentasi pada pakan jerami padi di Sukamandi dan Solo menunjukkan bahwa proses fermentasi terhadap jerami padi asal Sukamandi dapat menurunkan kandungan total residu pestisida golongan OC dari 11,7 menjadi 2,8 ppb dan golongan OP menurun dari 2,8 menjadi 0,3 ppb. Penurunan residu pestisida dalam pakan jerami terlihat secara nyata pada total kandungan residu kedua golongan pestisida tersebut dari 14,5 menjadi 3,1 ppb. Selain itu proses fermentasi dapat mempengaruhi degradasi residu pestisida
Tabel 3. Perbandingan nilai gizi jerami padi yang difermentasi dan tanpa fermentasi
   Parameter                                              Jerami padi                                         Konsentrat (%)
                                          Non-fermentasi (%)      Fermentasi (%)
Bahan kering (BK)                   91,9                            91,32                                       92,68
Protein kasar                            5,36                               6,78                                       12,76
Lemak kasar                            0,91                              0,66                                          5,92
Abu                                         21,51                           24,68                                        8,20
ADF                                         68,5                             63,91                                       38,89
NDF                                        78,86                            66,03                                       42,68
Daya cerna NDF                    28 – 30                         50 – 55                                                       -
Ca                                            0,26                             0,25                                         0,56
P                                              0,02                             0,01                                         0,31
Sumber: MAHENDRI (Laporan intern Puslitbang Peternakan, 2005); HARYANTO (2003)
seperti yang diperlihatkan oleh jerami padi asal Solo dengan fluktuasi jumlah total residu OC dari 74,8 ppb (selama 2 minggu penyimpanan), 76,5 ppb (selama proses pengeringan) dan 11,7 ppb (pada saat jerami siap untuk diberikan kepada ternak). Total kandungan residu kedua golongan pestisida menurun secara bertahap sesuai dengan waktu yaitu dari 172,7; 76,5; dan 11,7 ppb. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fermentasi jerami padi dapat mengurangi residu pestisida di dalam pakan limbah padi. Selanjutnya, MAHENDRI et al (2005) melaporkan bahwa fermentasi jerami padi dengan menggunakan probion dapat menurunkan kadar residu pestisida, yang mana jerami fermentasi yang diberikan mempunyai total residu pestisida lebih rendah daripada jerami tanpa fermentasi. Kadar residu pestisida menurun hingga 42% untuk golongan OC dan 44% untuk golongan OP.
Daya Cerna Jerami
Jika dibandingkan dengan rumput maka daya cerna jerami padi lebih lambat.  Yang dimaksud daya cerna adalah lamanya makanan berada dalam saluran pencernaan sejak mulai masuk dari mulut sampai keluar melalui anus.  Untuk jerami padi waktu cerna dapat mencapai 5-12 hari, sedangkan rumput hanya 2-3 hari saja.  Semakin cepat waktu cernanya maka ternak makin mudah lapar lagi dan akan mengkonsumsi makanan lebih banyak.  Sebaliknya makin lambat proses pencernaan maka hewan juga akan membutuhkan waktu yang lama untuk lapar kembali sehingga menyebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi lebih sedikit.  Ditambah lagi nilai nutrisi jerami yang relatif rendah menyebabkan nutrisi yang masuk ke tubuh ternak jga sedikit dan ternak menjadi kekurangan nutrisi.
Penghambat daya cerna pada jerami adalah kandungan lignin, silika dan kutin yang relatif tinggi karena jerami adalah tanaman yang sudah tua dan telah melewati fase generatif (sudah berbuah).  Namun potensi jerami sebagai sumber energi cukup baik.  Pengolahan dan Pengawetan jerami merupakan upaya untuk dapat meningkatkan daya cerna dan mempertahanakan kualitas selama mungkin selama penyimpanan.  Jerami bisa disimpan dan diawetkan dengan cara pengeringan (haylage) dan silage.
Pengolahan Jerami
Pengolahan yang dimaksud di sini adalah daya upaya untuk meningkatkan daya cerna jerami sesuai dengan kualitas rielnya.  Efektifitas cerna mikroorganisme ditingkatkan agar dapat menghancurkan lignin, silika dan kutin, di samping itu masih dapat meningkatkan kandungan protein.
Kandungan zat-zat makanan pada jerami padi
        Uraian
Kandungan (%)
Bahan kering (BK)
Protein kasar (% BK)
Serat kasar    (% BK)
Lemak           (% BK)
47,95
4,04
31,62
0,53
Pengawetan Jerami
Jerami bisa disimpan dalam keadaan segar dan kering.  Pada prinsipnya dalam upaya menyimpan jerami agar tidak mengalami kerusakan selama penyimpanan, perlu diusahakan agar tidak terjadi perkembangan jamur dan bakteri yaitu dengan menambahkan urea.
Bahan-dan alat :
  • Jerami segar seberat 500 kg
  • Urea 7,5 kg
  • Terpal  2 buah
  • Sabit/Parang
  • Tali plastik
Cara mengawetkan :
  • Jerami padi segar setelah dipanen, dikumpulkan kemudian dikat padat atau dipres
  • Bagian ujung jerami yang tidak rata dipotong dan dirapikan pada saat jerami dipres (ditekan atau dipadatkan).
  • Terpal plastik dibentangkan di atas tanah karena nantinya jerami akan dibungkus dengan terpal tersebut.  Kemudian jerami diletakan secara berlapis-lapis, setiap lapisan ditaburi urea secara merata.
  • Jika telah cukup, maka terpal plastik digunakan sebagai pembungkusnya dan diupayakan agar padat dan rapat agar udara tidak masuk.
  • Terpal diikat kencang agar udara tidak masuk kedalam bungkusan jerami.
  • Jerami dapat disimpan selama 30-90 hari.  Sebelum diberikan pada ternak, pembungkus jerami (terpalnya) dibuka dulu dan biarkan jerami diangin-anginkan.  Setelah itu siap diberikan pada ternak.
Amoniasi Jerami
Amoniasi jerami padi merupakan pengolahan jerami dengan menggunakan urea untuk meningkatkan manfaat jerami.  Cara ini merupakan teknik mengolah jerami dengan biaya murah, mudah dilakukan, aman bagi peternak maupun bagi ternak dan memberikan keuntungan meningkatkan kadar N (nitrogen).  Dengan mencampurkan urea dan air pada jerami padi maka akan terjadi proses hidrolisa, selanjutnya dengan enzim urease, urea akan terurai menjadi ammonia dan CO2.
Bahan yang diperlukan.
  • Jerami padi (basah atau kering),
  • Urea
  • Air
Alat-alat :
  • Lembaran plastik
  • Timbangan
  • Ember plastik
  • Sabit/parang
  • Tempat menimbun jerami
Cara membuat
  • Timbang jerami sesuai yang dibutuhkan, kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-10 cm
  • Selanjutnya urea ditimbang sebanyak 6% dari bobot jerami yang digunakan.  Jika jerami yang diolah sebanyak 50 kg maka urea yang dibutuhkan adalah 6% x 50 kg = 3 kg.
  • Sediakan air bersih sebanding dengan jumlah jerami padi yang digunakan, maka air yang dibutuhkan adalah 50 liter. Dari jumlah tersebut 30% digunakan untuk melarutkan urea.
  • Jerami dapat ditempatkan dalam lubang di tanah atau dengan drum ukuran :  dalamnya 1 m; lebar 75 cm atau disesuaikan dengan jumlah jerami yang akan diolah.
  • Jerami dimasukkan ke dalam lubang atau drum secara berlapis-lapis setebal 10-20 cm. Setiap lapisan disemprotkan dengan larutan urea + air secara merata.
  • Susunan jerami makin ke atas makin kecil (berbentuk kerucut).  Jika pembuatan jerami dalam lubang sebaiknya setiap lapisan dipadatkan dengan diinjak-injak.
  • Untuk dapat mempercepat proses pemecahan lignin (lapisan sel pada jerami)  maka gunakan daun Gamal (Glirisidia maculata) untuk meningkatkan kadar protein serta mempercepat proses amoniasi.
  • Setelah itu jerami ditutup dengan plastik secara rapat. Setelah 1 bulan jerami dapat diberikan pada ternak.
Jerami Fermentasi
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas jerami padi, baik dengan cara fisik, kimia maupun biologis. Tetapi cara-cara tersebut biasanya disamping mahal, juga hasilnya kurang memuaskan. Dengan cara fisik misalnya, memerlukan investasi yang mahal; secara kimiawi meninggalkan residu yang mempunyai efek buruk sedangkan dengan cara biologis memerlukan peralatan yang mahal dan hasilnya kurang disukai ternak (bau amonia yang menyengat). Cara yang relatif murah, praktis dan hasilnya sangat disukai ternak adalah fermentasi dengan menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya : starbio, starbioplus, EM-4 dan lain-lain).
Bahan.
  • Jerami                                      : 1 ton
  • Urea                                         : 6 kg
  • Starbio atau bahan sejenis        : 6 kg
  • Air                                           secukupnya
Tempat pembuatannya harus ada naungan/atap terhindar dari hujan dan sinar matahari langsung.
Cara Pembuatan :
  • Jerami kering panen dilayukan selama ± 1 hari  untuk mendapatkan kadar air mendekati 60%, dengan tanda-tanda jerami kita remas, air tidak menetes tetapi tangan kita basah.
  • Jerami yang sudah dilayukan tersebut dipindahkan ke tempat pembuatan dengan cara ditumpuk setebal 20-30 cm (boleh diinjak-injak)
  • Kemudian ditaburkan urea, bahan pemacu mikroorganisme (starbio atau bahan sejenis) dan air secukupnya kemudian ditumpuk lagi jerami.
  • Seperti  cara di atas sehingga mencapai ketinggian + 1,5 m.
  • Tumpukan jerami dibiarkan selama 27 hari (tidak perlu dibolak-balik).
  • Setelah 21 hari tumpukan jerami dibongkar lalu diangin-anginkan atau dikeringkan.
  • Jerami siap diberikan pada ternak atau kita stok dengan digulung, dibuka dan disimpan dalam gudang.
  • Tahan disimpan selama ± 1 tahun.
Catatan :
Dalam membuat jerarni fermentasi tidak perlu ditutup. Apabila membuat jerami fermentasi dalam jumlah sedikit tumpukan jerami bisa ditutup dengan sehelai karung goni. Selain jerami, bahan lain yang bisa difermentasi untuk makanan ternak antara lain : alang-alang, pucuk tebu dll. Alang-alang dibuat fermentasi dengan dilayukan terlebih dahulu dan harus dipotong-potong antara 5-10 cm (bahan sama yaitu starbio dan urea). Fungsi urea pada proses pembuatan fermentasi adalah sebagai pensuplai NH4 ini digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia dalam proses fermentasi. Jadi disini urea tidak sebagai penambah nutrisi pakan. Bisa juga dikatakan sebagai katalisator dalam proses fermentasi.
2.  Limbah Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan yang memiliki potensi sangat tinggi dibandingkan dengan limbah hasil pertanian dan perkebunan lainnya, mengingat total limbah yang dihasilkan terhadap luas lahan yang tersedia cukup tinggi yaitu mencapai 55.915.860 ton/tahun (Tabel 1). Dari 56 juta ton/tahun limbah sawit yang dihasilkan, sebanyak 11.936.000 ton dapat digunakan sebagai pakan ternak yang lebih tinggi dari jerami padi yaitu sebanyak 3.124.730 ton. Umumnya bagian-bagian tanaman dari kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak terdiri dari daun, pelepah, lumpur, bungkil, dan bungkil inti sawit. Akan tetapi, potensi limbah kelapa sawit yang tinggi, ternyata belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Pada umumnya produk samping yang diperoleh dari industri kelapa sawit dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: (1) berasal dari kebun kelapa sawit (diantaranya pelepah dan daun) dan (2) dari pabrik pengolahan buah kelapa sawit (seperti bungkil dan lumpur). Nilai nutrisi limbah tanaman dan pengolahan kelapa sawit telah banyak dilaporkan (ARITONANG, 1984: MATHIUS et al., 2004; PASARIBU et al., 1998). Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi limbah tanaman kelapa sawit ternyata cukup rendah karena tingginya kandungan serat kasar tetapi mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut yang cukup tinggi yaitu 22% (ISHIDA dan HASSAN, 1997). Nilai nutrisi limbah tanaman kelapa sawit umumnya setara dengan limbah tanaman pangan maupun pakan hijauan di daerah tropis (WAN ZAHARI et al., 2003). Sementara itu, limbah hasil pengolahan kelapa sawit juga mengandung serat kasar yang tinggi, namun kandungan protein kasar lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit secara berurutan yaitu 14,58 %BK dan 16,33 % BK,yang potensial untuk digunakan sebagai bahan bakan ternak ruminansia.
A.   Daun dan pelepah kelapa sawit
Daun dan pelepah kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak yang memiliki potensi yang cukup tinggi, akan tetapi kedua bahan pakan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternakan sapi. Produksi daun/pelepah dapat mencapai 10,5 ton pelepah kering/ha/tahun. Kandungan protein kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masingnya mencapai 15% BK (daun) dan 2 – 4% BK (pelepah) (MATHIUS, 2003). Sementara itu, campuran kedua bahan pakan tersebut dapat meningkatkan kandungan protein menjadi 4,8%. ISHIDA dan HASAN (1997) melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit mengandung protein kasar 1,9% BK; lemak 0,5% BK; dan lignin 17,4% BK, sedangkan daun mengandung protein kasar 14,8% BK; lemak 3,2% BK; dan lignin 27,6% BK. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kedua bahan pakan tersebut mengandung lignin yang sangat tinggi dibandingkan dengan jerami padi yang hanya mengandung 13% BK. Tingginya kadar lignin di dalam pakan akan mengakibatkan rendahnya palatibilitas, nilai gizi dan daya cerna terhadap pakan (WINUGROHO dan MARIATI, 1999). Perlakuan pelepah/daun kelapa sawit dengan penambahan 8% NaOH dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58% (MATHIUS, 2003). Sementaraitu, nilai nutrisi pelepah sawit dapat ditingkatkan melalui amoniasi,penambahan molases, perlakuan alkali, pembuatan silase/pelet, perlakuan dengan tekanan uap yang tinggi dan secara enzimatis (WAN ZAHARI et al., 2003). Pemberian pakan daun kelapa sawit kepada sapi jantan dapat meningkatkan bobot badan sebesar 930 g/ekor/hari (MATHIUS, 2003).

B.   Lumpur sawit dan bungkil inti sawit
Lumpur sawit dan bungkil inti sawit adalah hasil ikutan dari pengolahan minyak kelapa sawit. Dalam proses pengolahan minyak kelapa sawit dapat diperoleh rendemen sebesar 4 – 6% lumpur sawit dan 45% bungkil inti sawit dari tandan buah segar. Setiap hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 840 – 1246 kg lumpur sawit dan 567 kg bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit telah lama dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk ruminansia dan babi yang sedang dalam masa pertumbuhan (ARITONANG, 1984). Sebaliknya lumpur sawit belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beberapa perkebunan kelapa sawit masih cenderung menebarkan lumpur sawit ke areal perkebunan yang digunakan sebagai pupuk. ARITONANG (1984) melaporkan bahwa nilai nutrisi lumpur sawit bervariasi terutama pada kandungan abu, serat kasar dan lemak (Tabel 5). Pemanfaatan limbah pengolahan hasil kelapa sawit sebagai ransum komplit komplit (100%) ataupun sebagai pakan penguat lainnya telah banyak dilakukan untuk ternak ruminansia. WONG dan ZAHARI (1992).
Tabel 5. Komposisi nutrisi limbah tanaman dan pengolahan kelapa sawit (%)
Parameter                                            Limbah tanaman kelapa sawit dan olahannya
                                            Daun                    Pelepah                    Lumpur              Bungkil
Kadar air (% BK)                 8,98                        16,59                        6,84                    7,22
Bahan kering (%)                46,18                       26,07                        24,08                  91,83
Abu (% BK)                       13,40                        5,10             14,40                  4,14
Protein kasar (% BK)           14,12                       3,07                         14,58                  16,33
Serat kasar (% BK)              21,52                      50,94             35,88                  36,68
Lemak (% BK)                                 4,37                        1,07                         14,78                    6,49
BETN (% BK)                                  46,59                      46,59           16,36                   28,19
Energi bruto/GE (kal/g)         4.461                      4.841           4.082                  5,18
Kalsium (% BK)                  0,84                         0,96                         1,08                     0,56
Pospor (% BK)                                  0,17                       0,08                         0,25                     0,84
Sumber: MATHIUS, 2003
menyampaikan bahwa bungkit inti sawit dapat diberikan 50% untuk sapi dan 30% untuk domba. Sementara itu, JELAN et al. (1991) menyampaikan bahwa pemberian bungkil inti sawit hingga 85% dalam ransum sapi tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat badan harian. Selanjutnya BATUBARA et al (2005) menambahkan bahwa penggunaan lumpur sawit sampai 30% dalam campuran dengan bungkil inti sawit (70%) sebagai pakan suplemen dapat memberikan pertambahan berat badan kambing jantan sekitar 54 – 62 g/ekor/hari dengan konversi pakan sebesar 8,1 – 9,4. Tabel 5 menunjukkan bahwa lumpur sawit mengandung protein kasar antara 12–14% dengan kadar air yang rendah (6,8%) sehingga kurang disukai ternak. Kandungan energi yang rendah dan kadar abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat digunakan secara tunggal tetapi harus dicampur dengan pakan lain. Untuk mengoptimalkan penggunan limbah pengolahan kelapa sawit yang berupa lumpur sawit dan bungkil inti sawit perlu memanfaatkan teknologi fermentasi dengan penambahan biostarter seperti Aspergillus niger.
3.  Limbah Jerami Jagung
Limbah agroindustri banyak tersedia dan beragam dalam jenis di daerah tropis yang menjadi sumber utama untuk meningkatkan produktivitas ternak. Limbah jagung adalah salah satu contoh bahan baku pakan ternak yang tersedia di dalam  negeri. Total limbah jagung yang dihasilkan dari luas lahan 3,3 juta ha mencapai 11 juta ton per tahun. Namun limbah jagung yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan atau pakan ternak hanya mencapai 5,2 juta ton atau sebanyak 50% dari total limbah yang dihasilkan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa limbah tanaman jagung belum dimanfaatkan secara optimal untuk pakan ternak, karena kualitas yang rendah dan mengandung serat kasar yang tinggi (27,8%).
Tabel 6. Komposisi nutrisi jerami jagung.
Parameter                                                                                                         Nilai (%)
Bahan kering (DM)                                                                                          21,0
Total kecernaan (TDN)                                                                                                16,3
Kadar air                                                                                                             -
Protein kasar                                                                                                    3,3
Serat kasar                                                                                                       20,2
Lemak                                                                                                                             -
Kadar abu                                                                                                        4,4
Kalsium                                                                                                           0,18
Pospor                                                                                                                         0,36
Energi                                                                                                                -
Sumber: MATONDANG dan FADWIWATI, 2005
Komposisi nutrisi dari jerami jagung sebagai bahan baku pakan ternak telah banyak dilaporkan (RANGKUTI dan DJAJANEGARA, 1983; SAONO dan SASTRAPADJA, 1999) sebagaimana terlihat pada Tabel 6. Untuk meningkatkan kualitas bahan pakan jerami jagung, maka diperlukan sentuhan teknologi fermentasi dengan menambahkan probiotik yang mengandung mikroba untuk memecah serat kasar, agar dapat dicerna dengan baik oleh ternak. MATONDANG dan FADWIWATI (2005) melaporkan bahwa pemberian pakan jerami jagung yang difermentasi dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan pertambahan berat badan sapi Bali.

4.  Limbah Tebu
Bagi negara tropis, tanaman tebu merupakan tanaman yang bersifat multiguna baik sebagai pangan manusia, pakan ternak dan bahan bakar untuk memasak (PRESTON and MURGUEITIO, 1992). Limbah utama dari tanaman tebu yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah pucuk tebu/daun, molases, ampas tebu dan empulur (pith). Limbah tanaman cukup banyak tersedia di Indonesia dimana total luas lahan yang tersedia saat ini seluas 398.600 hektar dengan kapasitas produksi mencapai 1,9 juta ton tebu. Dari total produksi tebu dapat dihasil limbah tanaman tebu sebanyak 1,8 juta ton/tahun. Namun limbah tanaman tebu belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak sebagaimana terlihat pada Tabel 1 bahwa hanya 262.724 ton limbah yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pucuk tebu merupakan limbah tanaman yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak. Pucuk tebu memiliki daya cerna (60–62%) lebih baik daripada jerami padi sebanyak 29-42% (SHARIF, 1984) yang dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah pada penggemukan sapi (MUSOFIE et al., 1981) karena kandungan gula terlarut dan mineral cukup tinggi (Tabel 7). O’DONOVAN (1970) melaporkan bahwa pemberian pucuk tebu pada sapi perah dan sapi potong dapat meningkatkan pertambahan produksi susu sebesar 2 kg susu per hari pada sapi perah dan berat badan sebesar 0,25 kg/hari pada sapi potong. Sementara itu, pemberian pakan campuran pucuk tebu dan empulur (pith) meningkatkan pertambahan berat badan yang nyata dibandingkan dengan bila diberikan secara tunggal (DONEFER et al., 1975). Bagas adalah limbah hasil penggilingan tebu atau hasil ekstraksi sirup tebu. Limbah ini umumnya digunakan sebagai bahan bakar dalam industri gula. Namun, bagas merupakan pakan limbah yang berkualitas rendah karena mengandung kadar ligno-selulosa yang tinggi. Intake bagas dapat ditingkatkan bila dicampur dengan 55% molases dalam ransumnya. Karena bagas merupakan bahan pembawa yang baik untuk molases, maka ransum ini akan sangat bermanfaat bila diberikan kepada ternak pada level optimum sekitar 20–30% konsentrasi ransum. Nilai nutrisi bagas dapat ditingkatkan dengan perlakuan alkali atau pemanasan, sehingga karbohidrat mudah dicerna oleh ternak (ILCA, 1979). Molases adalah tetes tebu yang umumnya digunakan sebagai sumber energi dan untuk meningkatkan palatibilitas pakan basal, meningkatkan kandungan mineral Ca, P dan S, atau sebagai perekat dalam pembuatan pelet. Molases dapat memberikan hingga 80% energy metabolisibel untuk sapi potong dan pertambahan berat badan harian antara 0,7– 0,9/kg/hari pada saat persediaan rumput terbatas (PRESTON et al., 1987; ELIAS et al., 1968). Komposisi kandungan nutrisi limbah tanaman tebu tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi nutrisi limbah tebu sebagai pakan ternak
Parameter                                                  Jenis limbah tebu
                                     Pucuk/daun       Bagas        Empulur         Molases
Bahan kering (%)                                39               50              25              73 – 80
Total kecernaan (%)                      43 – 62            33               71                 80
Kadar air (%BK)                                 -                      -                   -                     -
Protein kasar (%BK)                         5,5               2,7              1,5                4,5
Serat kasar (%BK)                            35                 43              24                   0
Lemak (%BK)                                             1,4                  -                 -                    -
Kadar abu (%BK)                            5,3               2,2               3,1               7,3
Kalsium (%BK)                                            -                     -                  -                    -
Pospor (%BK)                                              -                     -                  -                    -
Energi (%BK)                                  -                     -                   -                   -
Sumber: FOULKES (1986); MUSOFIE (1987).
5.  Limbah tanaman kakao
Indonesia memiliki areal perkebunan yang sangat luas. Luas areal perkebunan di Indonesia mencapai 16 juta hektar. Salah satunya adalah perkebunan kakao yang mencapai 1.167.000 ha (Guntoro, 2006). Selama lima tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat sebesar 7,14% per tahun atau 49.200 ton pada tahun 2004 (Baharuddin, 2007). Jika proporsi limbah mencapai 74 % dari produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 36.408 ton per tahun. Hal ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
Selain itu adanya harga bahan pakan konsentrat yang mahal menjadikan limbah kulit kakao berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dikarenakan tingginya persentase produksi kulit kakao dengan harga yang relatif terjangkau. Bahkan di daerah-daerah penghasil buah kakao, kulit buah kakao belum dimanfaatkan, hanya menumpuk sebagai limbah.
Kulit buah kakao merupakan limbah agroindustri yang berasal dari tanaman kakao yang umumnya dikenal dengan tanaman coklat. Komposisi buah kakao terdiri dari 74% kulit, 24% biji kakao dan 2% plasenta. Berdasarkan komposisi tersebut, kulit buah kakao merupakan komposisi terbesar dari produksi buah kakao. Setelah dilakukan analisis proksimat, kakao mengandung 22% protein dan 3 – 9% lemak (Nasrullah dan Ela, 1993) sehingga memungkinkan dijadikan sebagai pakan alternatif bagi ternak. Limbah kakao bisa menghasilkan bahan konsentrat yang harganya relatif terjangkau. Pemanfaatan limbah dapat meningkatkan produktivitas (pertumbuhan, produksi susu, telur dan lain-lain) (Guntoro, 2006).
Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai substitusi suplemen 5 – 15% dari ransum pada ternak domba dan pada ternak sapi dapat meningkatkan Pertambahan Berat Badan Harian (PBBH) 0,9 kg/hari dengan diolah terlebih dahulu. Kulit buah kakao perlu difermentasi terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin. Kulit kakao dapat diolah dengan cara dilakukan fermentasi terlebuh dahulu maupun tanpa perlakukan fermentasi. Fermentor yang dapat digunakan untuk proses fermentasi dapat menggunakan Aspergillus Niger dan hasil fermentasi dapat dimanfaatkan untuk ternak ruminansia seperti ayam dan babi (Anonim, 2001).
Berdasarkan penerapan di atas, diketahui bahwa penggunaan kulit buah kakao belum banyak diaplikasikan sebagai bahan pakan alternatif bagi ternak. Dengan pertimbangan tersebut maka perlu dilakukan kajian tentang pemanfaatan kulit buah kakao sebagai bahan pakan bagi ternak.
Potensi Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan Ternak
Produk sampingan atau limbah dari buah kakao hampir sebagain besar berupa kulit buah kakao yang mencapai 74 % dari produk utama buah kakao. Tingginya persentase kulit buah kakao ini belum maksimal dimanfaatkan. Salah satu alternatif dalam pemanfaatan kulit buah kakao adalah dengan menjadikannya sebagai bahan pakan ternak baik ternak ruminansia maupun ternak unggas. Selain kuantitas yang banyak yang mencapai 36.000 ton/tahun, harganya relatif murah dan mudah didapat serta kandungan protein kasarnya cukup tinggi yang mencapai 10 %  (Roesmanto, 1991). Jika difermentasi dengan Aspergillus niger kadar proteinnya mencapai 16,60 % (Guntoro, 2006). Berdasarkan hasil analisa proksimat (Nasrullah dan Ela, 1993) kandungan protein kakao mencapai 22%. Berdasarkan analisa kimia, limbah kakao mengandung zat-zat makanan yang dapat dimanfaatkan untuk pakan. Menurut Zainuddin et al. (1995) kulit buah kakao mengandung 16,5% protein, 16,5 MJ/kg dan 9,8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi kandungan protein meningkat menjadi 21,9%.

Nutrisi kulit buah kakao non fermentasi jika dibandingkan dengan kulit buah kakao fermentasi mengalami perbedaan kandungan nutrisi terutama protein kasar dan serat kasar. Kandungan protein kasar kulit buah kakao fermentasi mengalami peningkatan dan serat kasarnya menurun. Proses fermentasi ini mampu meningkatkan kualitas nutrisi kulit buah kakao. Proses fermentasi dengan Aspergillus niger mampu meningkatkan protein kasar dari 8,11 % menjadi 16,61 % dan mampu menurunkan serat kasar dari 16,42 % menjadi 10,15 %. Penggunaan Aspergillus niger sebagai fermentor bahan pakan ternak sering dilakukan karena adanya sifat dari kapang yang mampu menghasilkan enzim-enzim yang berguna untuk menurunkan serat kasar dan meningkatkan protein kasar bahan pakan. Namun penggunaan kulit buah kakao dalam bentuk segar terbatas dikarenakan adanya zat antinutrisi berupa theobromin sebesar 0,17 – 0,20 %.
Tabel 2. Kandungan Theobromin (zat anti nutrisi) pada Bagian-Bagian Buah Kakao
Bagian Buah Kakao
Kandungan theobromin (%)
- Kulit buah
- Kulit biji
- Biji
0,17 – 0,20
1,80 – 2,10
1,90 – 2,0
Sumber : Wong, et al (1986)
Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Sebagai Pakan Ternak
Pemberian Kulit Buah Kakao Pada Ternak Kambing
Berikut ini adalah hasil penelitian pemberian cangkang buah kakao pada ternak kambing:
No
Uraian
Rata- rata ( kg/hr/ek )
Polmas
Majene
1
Berat badan ternak kambing percobaan
• Berat badan awal
12,875 kg
16,00 kg
• Berat badan akhir
20,067 kg 
21,53 kg
• Pertambahan berat badan
0,23
0,184
2
Berat badan ternak kambing kontrol
• Berat badan awal
12,325 kg
15,11 kg
• Berat badan akhir
15,797 kg
18,117 kg
• Pertambahan berat badan
0,112
0,097
Sumber : BPTP Sulawesi Selatan 2001

Berdasarkan tabel diatas, ternak kambing yang diberi pakan kulit buah kakao menunjukkan adanya pertambahan berat badan dengan rata- rata 0,239 kg/hr/ek. Selain menunjukkan pertambahan berat badan, ternak kambing yang  mengkonsumsi kulit buah kakao memberikan tampilan performans bulu yang mengkilat dan mata berbinar, ternak terlihat lebih sehat serta aktif.
Berdasarkan hasil penelitian di desa Ongko dan Baruga Sulawesi Selatan, pemberian kulit buah kakao kepada ternak dapat berupa kulit kakao segar dan dalam bentuk tepung. Dari hasil penelitian  menunjukkan bahwa pemberian kulit buah kakao terhadap ternak kambing lebih dominan dalam bentuk segar. Hal ini disebabkan karena pemberian pakan berupa kulit buah kakao dalam bentuk segar lebih mudah didapatkan dibandingkan dalam bentuk lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan kulit buah kakao segar yang dikeringkan dengan sinar matahari kemudian dicincang dapat langsung digunakan sebagai pakan ternak (Baharuddin, 2007). Namun, pemberian limbah kulit buah kakao secara langsung pada ternak justru akan menurunkan berat badan ternak. Hal ini dikarenakan tingginya kadar lignin dan selulosa yang terdapat pada kulit buah kakao. Oleh karena itu sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh ternak dan untuk meningkatkan nilai protein kasarnya.
Pemberian Kulit Buah Kakao pada Ternak Sapi
Pemberian limbah kakao olahan untuk pakan sapi yang digemukkan (fattening) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan sapi. Bila pemberian limbah kakao tersebut dikombinasikan dengan pemberian ”Bio-Cas” akan menghasilkan PBB yang lebih tinggi lagi. Penggunaan limbah kakao olahan sebagai pakan penguat dapat meningkatkan keuntungan usaha dan keuntungan tersebut akan lebih tinggi bila penggunaan limbah kakao dikombinasikan dengan pemberian Bio-Cas (Guntoro, 2006). Berikut tabel pertambahan bobot badan sapi bali yang diberi pakan limbah kulit kakao :           
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat terjadi kenaikan berat badan awal sapi dari 261 kg mencapai 315,11 kg dengan PBB (Pertambahan Berat Badan) 636 g/ekor/hari selama mengkonsumsi kulit buah kakao olahan (fermentasi). Peningkatan bobot badan ini dikarenakan adanya kandungan gizi yang tinggi di dalam kulit buah kakao fermentasi dibandingkan hijauan sehingga pemberiannya dalam ransum sapi mampu meningkatkan jumlah zat-zat makanan yang terserap oleh tubuh ternak  (James dan David, 1998).
Pemberian Kulit Buah Kakao Pada Itik
             Hasil penelitian Warmadewi (2008) menunjukkan bahwa penggunaan 10 % pod kakao dalam ransum ternyata tidak berpengaruh terhadap jumlah ransum yang dikonsumsi oleh itik. Akan tetapi, pada level 20 % dan 30 %, penggunaan pod kakao dalam ransum secara nyata meningkatkan konsumsi ransum. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kandungan serat kasar ransum sebagai akibat penggunaan pod kakao yang mengandung serat kasar tinggi.
Peningkatan kandungan serat kasar dalam ransum menyebabkan laju aliran ransum dalam saluran pencernaan menjadi cepat (Bidura et al., 1996) sehingga konsumsi ransum itik akan meningkat. Di samping itu, peningkatan serat kasar dalam ransum akan mengurangi efisiensi penggunaan energi metabolis (ME) yang disebabkan oleh terjadinya pengalihan sebagian fraksi energi netto untuk aktivitas energi muskuler yang dibutuhkan untuk aktivitas tambahan gizard dan untuk mendorong sisa makanan sepanjang saluran pencernaan itik (Lloyd et al., 1978).
Penggunaan pod kakao pada tingkat 20 % dan 30 % menyebabkan penurunan berat badan akhir itik. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi serat kasar sebagai akibat dari penggunaan pod kakao. Serat kasar tidak dapat dicerna oleh ternak unggas sehingga secepatnya dikeluarkan dari saluran pencernaan yang menyebabkan peluang penyerapan zat makanan menjadi berkurang (Bidura, 2007). Serat kasar yang tinggi menyebabkan penurunan kecernaan energi (Siri et al., 1992) dan penyerapan lemak (Sutardi 1997) sehingga pertambahan berat badan itik menurun. Berdasarkan penelitian Wenk dan Hadorn (l994), peningkatan kandungan serat kasar ransum dari 3,2 % menjadi 9,1 % dan 11,2 % secara nyata menurunkan berat badan dan karkas ayam. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Puspani (2005) yang mendapatkan bahwa peningkatan serat kasar ransum menyebabkan terjadinya penurunan koefisien cerna bahan kering dan koefisien cerna bahan organik ransum sehingga penyerapan nutrien ransum menjadi rendah.
Penggunaan 10 % pod kakao dalam ransum tidak berpengaruh secara nyata terhadap penampilan itik Bali jantan umur 2 – 8 minggu. Akan tetapi, tingkat penggunaan 20 % dan 30 % pod kakao dalam ransum nyata menurunkan penampilan itik Bali jantan umur 2 – 8 minggu.
Pemberian Kulit Buah Kakao Pada Ayam
Berdasarkan penelitian Guntoro dan Rai Yasa (2005), penggunaan limbah kakao hasil fermentasi pada ayam Buras petelur pada taraf 22% tidak menyebabkan penurunan produktivitas telur tetapi memberikan peningkatan produktivitas. Penggunaan pada ayam pedaging hingga 5% tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan, namun penggunaan di atas level tersebut akan menyebabkan turunnya laju pertumbuhan ayam (Zainuddin et al., 1995). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya theobromin yakni zat antinutrisi pada kulit buah kakao yang dapat menghambat pencernaan (Zainuddin et al., 1995).    
Penggunaan pod-kakao yang disuplementasi probiotik dan enzim dalam ransum mampu menurunkan kadar kolesterol broiler. Menurut Siri et al.(1992), kecernaan energi menurun dengan semakin meningkatnya kandungan serat kasar ransum. Kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol dan perlemakan dalam tubuh ternak ayam (Bidura et al.,1996).  Penurunan kadar kolesterol tersebut disebabkan karena fraksi serat kasar yaitu lignin mampu mengikat kolesterol ransum sebesar 29,2% (Linder, 1985). Serat kasar mampu menurunkan kolesterol dengan jalan mengisi ventrikulus dan menurunkan lemak sebesar 25g/100g daging ayam (USDA, 1997). Sejalan dengan Suwidjayana dan Bidura (1999) bahwa suplementasi ragi tape dalam ransum dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida daging dada itik. Syamsuhaidi (1997) melaporkan, bahwa semakin tinggi pemberian duckweed (20-40%) sebagai sumber serat pada broiler umur 3-8 minggu cenderung menghasilkan kolesterol daging yang semakin rendah. Terjadinya penurunan kolesterol, dikarenakan adanya kemampuan serat kasar untuk memperbaiki ekosistem mikroflora saluran pencernaan. Penambahan 0,20% enzim optizyme atau ragi dalam ransum yang mengandung pod kakao dapat menurunkan akumulasi lemak tubuh dan kadar kolesterol daging broiler umur enam minggu.

6.  Limbah Bawang Putih
Bawang putih adalah salah satu jenis tanaman herbal yang selain digunakan sebagai bumbu dalam masakan juga bisa digunakan sebagai obat. Kandungan senyawa aktif yang terdiri atas allisin dan ajoene serta senyawa flavonoid dalam bawang putih menjadikannya dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan di dalam tubuh (Santosa et al., 1991; Kim et al., 2000). Maryam et al (2003) melaporkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih sebesar 4% pada ransum yang mengandung Aflatoksin rendah (0,4 mg AFB/kg) menunjukan adanya peningkatan produktivitas ayam dan produksi telur ayam.
Senyawa – senyawa aktif yang terkandung di dalam bawang putih diduga dapat menggantikan fungsi dari antibiotik sintetik yang biasa diberikan kepada ayam. Sehingga efek buruk dari penggunaan antibiotik sintetik ini bisa kita hindari, kesehatan ternak terjaga dan produk yang dihasilkan oleh ternak juga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Potensi bawang putih sebagai feed additive
Bawang putih mempunyai kandungan yaitu saponin dan flavonoid, disamping minyak atsiri yan sama-sama berfungsi sebagai antibakteri. Saponin  adalah senyawa aktif yang kuat dan menimbulkan busa jika digosok dalam air sehingga bersifat seperti sabun (Robinson, 1995) dan mempunyai kemampuan antibakterial (Ilmi, 1995).
Saponin dapat meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis (Siswandono dan Soekarjo, 1995).Menurut Dwidjoseputro (1994) menyatakan bahwa saponin memiliki molekul yang dapat menarik air atau hidrofilik dan molekul yang dapat melarutkan lemak atau lipofilik sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel yang akhirnya menyebabkan kehancuran kuman.
Flavonoid merupakan senyawa fenol yang bersifat desinfektan yang bekerja dengan cara mendenaturasi protein yang dapat menyebabkan aktifitas metabolisme sel bakteri berhenti karena semua aktifitas metabolisme sel bakteri dikatalisis oleh suatu enzim yang merupakan protein. Berhentinya aktifitas metabolisme ini akan mengakibatkan kematian sel bakteri (Trease dan Evans, 1978). Flavonoid juga bersifat bakteriostatik yang bekerja melelui penghambatan sintesis dinding sel bakteri (Masya, 1985; Soedibyo, 1998).
Bawang putih mengandung minyak atsiri dengan unsur utama  alliin. Alliin secara enzimatis akan dipecah oleh enzim allinase menjadi senyawa berbau khas yaitu allicin. Senyawa  allicin dikenal mempunyai daya antibakterial yang kuat. Efek antibakteri allicin bekerja dengan cara menghancurkan kelompok –SH, yaitu kelompok Sulfhidril dan disulfida yang terikat pada protein dan merupakan enzim penting untuk metabolisme sel bakteri serta merupakan gugus yang penting untuk proliferasi bakteri atau sebagai stimulator spesifik untuk multiplikasi sel bakteri. Dengan adanya  allicin inilah maka pertumbuhan kuman dapat dihambat dan proses selanjutnya mengakibatkan terjadinya kematian kuman (Mursito, 2003). Kandungan kimia bawang putih per 100 gram bahan.
Bawang putih sebagai feed additive untuk ayam broiler
Pemberian bawang putih untuk ayam broiler dapat memberikan banyak keuntungan. Kandungan – kandungan senyawa aktif didalam umbi bawang putih mampu menggantikan fungsi dari antibiotik sintetik didalam tubuh ayam broiler dengan jauh lebih baik. Kandungan senyawa-senyawa aktif ini mampu memperbaiki konversi ransum, meningkatkan kesehatan dan produktivitas ayam broiler serta mampu mengurangi kadar lemak yang terkandung didalam daging ayam broiler. Menurut Zulbardi dan Bintang ( 2007) pemberian tepung bawang putih sebanyak 0,02% mampu merangsang pertambahan bobot badan ayam broiler lebih cepat, dengan pencapaian konversi pakan sebesar 1,81 dan diikuti dengan penurunan jumlah konsumsi pakan oleh ayam broiler. Selain itu menurut Wiryawan et al (2005) pemberian tepung bawang putih sebanyak 2,5% didalam ransum mampu meningkatkan efisiensi pakan  ayam broiler yang teinfeksi S. Typhimurium. Hal ini diduga dipengaruhi oleh senyawa- senyawa aktif seperti allisin, selenium dan metilatil trisulfida yang terkandung didalam umbi bawang putih. Allisin memiliki sifat anti bakteri yang mampu membunuh bakteri – bakteri patogen. Sedangkan selenium mampu bekerja sebagai anti oksidan dan metilatil trisulfisa berperan dalam mencegah pengentalan darah. Sifat - sifat dari ketiga senyawa aktif ini dapat mempengaruhi terjadinya proses metabolisme yang lebih baik, sehingga proses penyerapan zat makanan dapat beralangsung lebih optimal, konsumsi ransum lebih sedikit, yang menyebabkan angka konversi ransum lebih rendah dan pencapaian bobot badan lebih cepat.
Hasil penelitian Hidajati (2005) memperlihatkan bahwa pemberian bawang putih dengan dosis 2 - 3mg/ekor /hari mampu menurunkan kadar kolestrol yang terkandung didalam daging serta meningkatkan persentase karkas ayam broiler lebih baik jika dibandingkan dengan ayam broiler tanpa pemberian bawang putih. Menurut Sunarto dan Pikir (1995) penurunan kadar kolestrol pada daging ayam broiler ini disebabkan karena adanya efek hipokolesterolemik dari senyawa aktif bawang putih yaitu allicin (disulphide- oxide tidak jenuh). Allicin mampu mengikat gugus –SH group dari Ko-A, menyebabkan NADH dan NADPH yang dibutuhkan dalam proses pembentukan kolestrol dihati menurun. Penurunan ini menyebabkan kolestrol yang terkandung didalam hati ayam akan berkurang sehingga kolestrol yang ditransfer oleh darah ke daging melalui pembuluh darah juga berkurang.
Bawang putih sebagai feed additive untuk ayam petelur
Pada ayam petelur, pemberian ekstrak bawang putih dalam ransumnya mampu memberikan efek yang cukup baik juga tidak jauh berbeda dengan ayam broiler. Senyawa – senyawa aktif yang terkandung didalam umbi bawang putih mampu menggantikan fungsi antibiotik sintetik di dalam tubuh ayam petelur. Jika pada ayam broiler lebih terfokus pada kualitas daging yang dihasilkan dan tingkat konsumsi ransum, maka pada ayam petelur lebih terfokus pada kualitas dan tingkat produksi telur yang dihasilkan. Sutama dan Lindawati (2005) melaporkan, ayam petelur yang diberi suplementasi bawang putih sebesar 4% dalam ransumnya secara nyata mampu menurunkan kolesterol telur yang dihasilkan. Sedangkan untuk pemberian suplementasi bawang putih sebesar 2-6% dalam ransumnya tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi ransum dan produksi telur yang dihasilkan. Faktor yang memyebabkan  penurunan kadar kolestrol telur ini sama dengan faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar kolestrol pada daging ayam broiler.
Sedangkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryam et al (2003), pemberian ektrak bawang putih sebanyak 4% pada ransum ayam petelur yang diinfeksi aflaktosin 0,4 mg AFB1/kg BH dapat meningkatkan bobot badan dan produksi telur serta dapat mengurangi kadar residu aflaktosin pada telur yang dihasilkan. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis ayam yang digunkan dalam penelitian ini. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Sutama dan Lindawati menggunakan ayam petelur yang sehata tanpa infeksi aflaktosin sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Maryam et al menggunakan ayam petelur yang diinfeksi dengan aflaktosin  sehingga menyebabkan respon yang berbeda.
7.  Limbah Bulu Ayam

Salah satu produk samping yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku pakan adalah bulu ayam/ unggas. Bulu ayam berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein pakan alternatif pengganti sumber protein konvensional seperti bungkil kedelai dan tepung ikan. Bulu-bulu itu dapat pula dimanfaatkan untuk makanan ternak (ruminansia, non ruminansia dan unggas).
Bulu ayam merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Murtidjo (1995), protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis 3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut Rasyaf (1993), bulu ayam mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi dibanding tepung ikan.
Bila dlihat dari segi ketersediaannya, tepung bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum unggas. Ini didukung oleh jumlah pemotongan ayam yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan ketersediaan limbah bulu ayam terus meningkat. Demikian juga, bila ditinjau dari kandungan proteinnya maka bulu ayam cukup potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif sumber protein hewani penganti tepung ikan karena mengandung protein cukup tinggi dan kaya akan asam amino esensial. Namun sebagai bahan pakan alternatif, tepung bulu ayam tidak hanya dilihat dari segi ketersediaannya saja tetapi kandungan nutrisinya apakah mendukung untuk digunakan dalam formulasi ransum unggas secara luas.
Sebagai bahan baku pakan ternak, bulu unggas jarang digunakan oleh pabrik pakan ternak unggas. Walaupun mengandung protein cukup tinggi dan kaya asam amino esensial, namun permasalahan sekarang tepung bulu ayam mempuyai faktor penghambat seperti kandungan keratin yang digolongkan kepada protein serat. Kandungan protein kasar yang tinggi dalam tepung bulu ayam tersebut tidak diikuti oleh nilai biologis yang tinggi. Hal ini menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada tepung bulu ayam rendah. Nilai kecernaan yang rendah pada tepung bulu ayam disebabkan oleh kandungan keratin. Keratin merupakan protein yang kaya akan asam amino bersulfur, sistin. Keratin sulit dicerna karena ikatan disulfida yang dibentuk diantara asam amino sistin menyebabkan protein ini sulit dicerna oleh ternak unggas, baik oleh mikroorganisme rumen maupun enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen pada ternak ruminansia.
Keratin dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim, sehingga pada akhirnya dapat dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Sehingga bila tepung bulu ayam digunakan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Nilai biologis tepung bulu ayam dapat ditingkatkan dengan berbagai pengolahan dan pemberian perlakuan yang benar. 
Berdasarkan hasil studi di dalam dan di luar negeri, nilai biologis bulu ayam  dapat ditingkatkan dengan pengolahan dan pemberian perlakuanyang benar. Sebagai contoh, bulu ayam yang diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi tepung bulu terolah tertera pada
Tabel 1(Rasyaf, 1990) di bawah ini.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Bulu Terolah/ Terhidrolisa
Nutrisi
Kandungan
Protein Kasar
Serat Kasar
Abu
calium
Phospor
Garam
85%
0,3 – 1,5%
3,0 – 3,5%
0,20 – 0,40%
0,20 – 0,65%
0,20%









METODE PENGOLAHAN TEPUNG BULU AYAM
Untuk meningkatkan nilai nutrisi bulu ayam ada beberapa metode pengolahan, yaitu
1.      Penggolahan Melalui Perlakuan Fisik dengan Pengaturan Temperatur dan Tekanan Tepung bulu direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan 3,2 atmosfer selama 45 menit dan dikembalikan pada tekanan normal selama periode tersebut. Setelah itu dikeringkan pada temperatur 600C dan digiling hingga halus.
2.      Pengolahan Secara Kimiawi / Hidrolisis Pengolahan secara kimiawi diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction).
3.      Teknik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan kimia merupakan teknik pengolahan yang saat ini bayak dipakai oleh industri TBA. Sejauh ini penggunaan tepung bulu tidak lebih dari 4 % dari total formulasi ransum unggas tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Namun penggunaan dengan level yang lebih tinggi sangat diharapkan agar diperoleh ransum yang lebih ekonomis. Semakin baik pengolahannya, maka akan semakin baik pula hasilnya. Untuk itu penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diharapkan seperti penggolahan secara enzimatis melalui fermentasi tepung bulu ayam menggunakan berbagai sumber enzim proteolitik.
PENGGUNAAN TEPUNG BULU AYAM PADA TERNAK UNGGAS
Di Indonesia, tepung bulu untuk bahan makanan unggas ini tersedia dalam bentuk produk pabrik yang terjamin dan merupakan tepung bulu siap pakai atau tepung bulu yang sudah diolah. Berbagai hasil penelitian di berbagai belahan dunia ini menunjukkan bahwa tepung bulu dapat digunakan pada level tidak lebih dari 4 % dari total formula ransum tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Semakin baik pengolahannya, akan semakin baik pula hasilnya. Semakin banyak digunakan tepung ini justru akan menekan prestasi unggas, produksi telur berkurang dan pertambahan berat badan juga merosot (Rasyaf, 1992). Sebagai bahan makanan unggas dan juga babi, tepung bulu ini memang tidak terlalu menggairahkan. Sejauh mana penggunaannya memang tergantung pada kemampuan mengolah tepung bulu itu.
Hasil Penelitian Erpomen et al. (2005) Ransum perlakuan dengan susunan sebagai berikut : A = Ransum tanpa TBA (kontrol), B = Penggantian 25 % protein tepung ikan dengan TBA, C = Penggantian 50 % protein tepung ikan dengan TBA, D = Penggantian 75 % priotein tepung ikan dengan TBA, E = Penggantian 100 % protein tepung ikan dengan TBA. Peubah yang diamati selama penelitian : konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konvensi ransum. Dari hasil penelitian tahap I terlihat bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara dosis NaOH dengan lama pengukusan terhadap BK, PK, LK dan pengukusan fermentasi TBA memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0 0="" 13="" 15="" 2="" 45="" 53="" 90="" :="" adalah="" analisis="" ayam.="" ayam.jadi="" ayam="" bahwa="" berbeda="" bk="" broiler.="" bulu="" cerna="" dalam="" dan="" dapat="" dari="" daya="" dengan="" dilihat="" diolah="" dipakai="" disimpulkan="" hal="" hasil="" i="" ikan="" ini="" kandungan="" kasar="" konsentrasi="" konsumsi="" konversi="" lama="" lemak="" level="" lk="" memberikan="" memeberikan="" menit="" menunjukkan="" naoh="" nyata="" o:p="" pada="" pbb="" pemanasan="" penelitian="" pengaruh="" pengganti="" pk="" protein="" ransum.="" ransum="" sama="" sampai="" serta="" tahap="" tanpa="" telah="" tepung="" terbaik="" terendah="" terhadap="" tertinggi="" yang="">
8.  Limbah Onggok Atau Kulit Ari Biji Kedelai
Di Indonesia bahan pakan bebek dari limbah agroindustri cukup melimpah namun masih jarang digunakan untuk pakan bebek. Limbah yang cukup besar potensinya sebagai bahan pakan diantaranya adalah onggok dan kulit ari biji kedelai (Kleci). Onggok adalah sisa pemerasan umbi ubi kayu untuk mendapatkan pati. Satu ton ubi kayu dapat menghasilkan 114 kg onggok. Kulit ari biji kedelai adalah limbah dari pengupasan biji kedelai. Potensi kulit ari kedelai atau kleci sangat besar karena pada proses pembuatan tempe selalu dihasilkan limbah kulit ari biji kedelai. Sedangkan tempe dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Beberapa kendala dalam pemanfaatan limbah agroindustri sebagai ransum unggas adalah tingginya kandungan serat kasar serta adanya protein yang sulit dicerna. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan bebek dari limbah agroindustri adalah dengan melakukan fermentasi. Fermentasi ini bisa dilakukan secara sederhana dan mudah diadopsi oleh peternak. Pemanfaatan bahan pakan bebek dari limbah agroindustri dapat mengurangi biaya pakan. Untuk membuat pakan ternak tersebut, teman – teman dapat mencoba teknologi berikut ini. Sebagai contoh adalah pembuatan ransum sebanyak 10 kg bahan. Jika ingin membuat lebih banyak tinggal mengalikan sesuai kelipatan yang diinginkan. Bahan yang diperlukan adalah 1,5kg Kleci, 1,5 kg Onggok, 4kg Jagung dan 3 kg Menir Kedelai. Jadi perbandingannya 15% Kleci, 15% onggok, 40% jagung dan 30% menir kedelai. Aduklah bahan tersebut sampai merata kemudian lakukan proses fermentasi.
Ada dua cara fermentasi yaitu dengan Aspergillus niger atau dengan multi mikroba Untuk fermentasi dengan Aspergillus niger tempatkan 10 kg bahan ransum dalam ember besar dan tambahkan 8 liter air hangat. Aduk sampai rata dan biarkan beberapa menit. Setelah agak dingin tambahkan 100 gram ragi tempe (Aspergillus niger) dan 100 gram urea, aduk kembali hingga merata. Kemudian tutup ember dan biarkan selama 3 hari. Selanjutnya pakan bebek dari limbah agroindustri sudah siap untuk diberikan pada bebek.
Untuk fermentasi dengan Multi mikroba siapkan 8 liter air dalam ember, tambahkan 10 ml multi mikroba dan aduk merata. Tambahkan 10 kg bahan ransum sambil diaduk. Kemudian masukkan dalam karung dan tutup rapat lalu dibiarkan selama 3 hari. Bahan yang telah difermentasi dalam jumlah banyak dapat disimpan sebagai pakan. Sebelum disimpan agar dijemur terlebih dahulu sampai kering supaya tidak bau ataupun ditumbuhi jamur.
Penggunaan pakan bebek dari bahan limbah ini menunjukkan adanya kenaikan bobot yang lebih tinggi pada bebek yang dipelihara. Sedangkan banyaknya pakan yang diperlukan menjadi berkurang. Berarti biaya pakan juga menjadi lebih murah. Kalau mau lebih murah, disarankan pembuatan pakannya dengan cara fermentasi multi mikroba.
9.  Limbah Biji Karet
Salah satu persyaratan suatu bahan dapat digunakan sebagai bahan baku pakan adalah ketersediaannya yang melimpah, harganya relatif murah, mudah dicerna oleh ternak, mempunyai kandungan nutrisi yang baik (protein) dan tidak berkompetisi dengan manusia. Biji karet dapat digunakan sebagai salah satu kandidat bahan baku pakan ternak.
Biji karet atau para (Hevea brasilliensis) di Indonesia saat ini masih merupakan produk
sampingan yang dapat dikategorikan belum bermanfaat karena baru sebagian kecil yang digunakan sebagai bibit. Setiap pohon diperkirakan dapat menghasilkan 5.000 butir biji per tahun atau satu hektar lahan dapat menghasilkan 2.253 sampai 3 juta biji /tahun (ARTCONANG, 1986). Komposisi kimia daging biji karet adalah bahan kering 92,22%; protein kasar 19,20%; lemak kasar 47,20%; serat kasar 6,00%; abu 3,49%; BETN 24,11%; dan HCN 573,72 ppm.
Penggunaannya dalam ransum unggas terbatas (5%) karena kandungan HCN yang tinggi dan rasa yang pahit (BESTARI, 1984). Pengolahan dengan memanfaatkan teknologi fermentasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki nilai gizi dan menurunkan kandungan HCN sehingga menjadikan biji karet tersebut lebih berkualitas.
Menurut Oyewusi et al. (2007), biji karet mengandung 10 – 22% protein dan asam amino esensial. Biji karet telah diteliti di Indonesia untuk pakan ternak hewan darat, namun belum diteliti untuk pakan ikan. Tepung biji karet yang ditambahkan dengan metionin dalam ransum babi tidak memberikan konsumsi pakan dan pertumbuhan yang optimal (Siagian et al., 1992). Menurut Arossi et al. (1985) dalam Prawirodigdo (2007), penambahan tepng biji karet sampai 19% dalam pakan masih layak untuk pertumbuhan ayam pedaging strain CP 707.
Sumber Protein Nabati
            Bahan baku pakan merupakan faktor utama yang harus tersedia dalam pembuatan pakan. Bahan baku pakan pada umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu bahan baku yang berasal dari tumbuhan (nabati) dan hewan (hewani).
            Seiring dengan peningkatan harga bahan baku dari hewan (tepung ikan) maka bahan baku nabati sering digunakan sebagai bahan alternatif. Hal ini tidaklah selalu berhasil karena mengakibatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang rendah karena menurunnya pallatabilitas pakan (Burel et al., 1998 dalam Jobling et al., 2002). Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh keseimbangan asam amino esensial, ketersediaan fosfor yang rendah dan dampak metabolisme dari faktor antinutrisi (Antinutritional Factors / ANFs) yang tidak diabaikan (Medale et al., 1998; Alarcon, 1999 dalam Jobling et al., 2002). Beberapa protein nabati kekurangan satu atau lebih asam amino esensial, sehingga penggunaan protein nabati sebagai bahan baku utama pada pakan harus menyediakan suplemen asam amino.
Penghilangan racun                                                                                              
Tepung biji karet dapat digunakan sebagai subsitusi protein pakan komersial dilihat dari sisi kandungan protein, ketersediaan dan harganya. Namun, biji karet tersebut mengandung asam sianida yang dapat menghambat pertumbuhan . Asam sianida dalam biji karet dapat dihilangkan atau dikurangi kandungannya melalui beberapa cara, yaitu perendaman (dipping) selama 24 jam, pengukusan (steaming) pada suhu 100oC selama 6 jam, penjemuran (drying) selama 12 jam di bawah sinar matahari atau kombinasi antara pengukusan dengan penjemuran selama 12 jam.
Penggunaaan protein pakan optimal ini dipengaruhi oleh kesimbangan protein dan energi yang tepat dan penambahan unsur-unsur vitamin dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan, proses pembuatan pakan dan penyimpannya serta pemberian pakan yang tepat dan penyediaan kondisi lingkungan (air) yang baik. Tepung biji karet yang telah dihilangkan atau dikurangi kandungan asam sianidanya dapat menggantikan sebagian atau seluruhnya peranan protein pakan komersial. Indikatornya adalah kelangsungan hidup, kecernaan pakan, pertumbuhan (protein, lemak dan energi), efisiensi pakan, dan indeks hipatosomatik.
Tepung Biji Karet
            Tepung biji karet merupakan salah satu bahan baku alternatif dari pakan ikan. Keunggulan tepung biji karet adalah tepung biji karet dihasilkan dari biji tanaman karet yang merupakan tanaman perkebunan yang paling banyak ditanam di Indonesia, sehingga ketersediaannya dalam jumlah besar relatif terjamin. Selain itu biji karet selama ini merupakan biji yang disia-siakan atau belum dimanfaatkan dan tidak dapat dimakan langsung. Biji karet terdiri atas kulit luar yang keras dan intinya banyak mengandung minyak (Murni et al., 2008).
Dilihat dari komposisi kimianya, kandungan protein tepung biji karet sangatlah tinggi (Tabel 1 dan 2). Selain kandungan protein yang cukup tinggi, pola asam amino biji karet juga sangat baik. Asam amino yang paling banyak terkandung dalam tepung biji karet adalah asam glutamik, asam aspartik dan leucine sedangkan methionine dan cystine merupakan kandungan asam amino yang terendah (Tabel 3).
Tabel 1. Analisis proksimat tepung biji karet dan beberapa kandungan kimia (100 g berat kering)
Komposisi proksimat
Kandungan (%)
Air (%)
3,6
Abu (%)
3,4
Protein (%)
27,0
Lemak (%)
32,3
BETN (%)
33.7
Tiamin (µg)
450,0
Asam nikotinat (µg)
2,5
Akroten dan Tokoferol (µg)
250,0
Sianida (mg)
330,0
Sumber: Murni et al. (2008)
Tabel 2. Analisis proksimat tepung biji karet dari alam dan budidaya (berat kering)
Komposisi (%)
Biji karet alam
Biji karet budidaya
Kadar Air
14,1 ± 7,0
2,6 ± 0,4
Kadar abu kasar
9,7 ± 2,5
2,3 ± 0,2
Kadar protein kasar
10,3 ± 1,7
21,9 ± 1,2
Kadar lemak kasar
6,4 ± 1,1
15,8 ± 1,9
BETN
73,7,4 ± 5,1
65,1 ± 5,2
Sumber: Oyewusi et al. (2007).
Tabel 3. Susunan asam amino tepung biji karet dari alam dan budidaya (g/kg protein)
Asam Amino
Biji karet alam
Biji karet budidaya
Glutamic acid (Glu)
                   93.10
                 112.50
Aspartic acid (Asp)
                   76.00
                   80.40
Leucine  (Leu)
                   51.60
                   71.90
Arginine (Arg)
                   46.00
                   51.10
Lysine (Lys)
                   39.50
                   49.90
Phenylalanine (Phe)
                   38.90
                   49.00
Glycine (Gly)
                   32.60
                   40.10
Valine (Val)
                   31.70
                   38.30
Isoleucine (Iso)
                   30.10
                   35.10
Tyrosine (Try)
                   29.00
                   33.80
Serine (Ser)
                   21.00
                   30.20
Alanine (Ala)
                   17.80
                   23.90
Histidine (His)
                   20.10
                   23.50
Threonine (Thr)
                   20.50
                   23.30
Proline (Pro)
                   20.20
                   18.10
Methionine (Met)
                   10.70
                   14.90
Cystine (Cys)
                    9.90
                   14.60
Sumber: Oyewusi et al. (2007).

Agar biji karet dapat dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat (Zuhra, 2006). Menurut George (1985), konsentrat adalah hasil pemekatan fraksi protein biji karet yang kadar proteinnya sudah tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Dalam pembuatannya, fraksi protein akan lebih tinggi kadarnya dengan cara mengurangi atau menghilangkan lemak atau komponen-komponen non protein lain yang larut. Walaupun mempunyai kandungan nutrien relatif baik, biji karet  memiliki zat anti nutrien yaitu asam sianida (HCN) atau prussic acid.
10.       Limbah Ampas Tahu
Tahu adalah makanan yang banyak mengandung banyak protein nabati yang banyak diminati konsumen. Efek lain dari peningkatan produksi tahu adalah surplus ampas tahu atau sisa dari pembuatan tahu yang belum banyak dimanfaatkan dan dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis.
Jika kita mengkaji lebih lanjut dalam ampas sisa tadi masih bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang banyak kandungan proteinya. Saat ini belum banyak peternak yang memanfaatkan ampas tahu tadi sebagai pakan tambahan bagi ternaknya selain konsentrat. Pertumbuhan ternak yang di bebri pakan ampas tahu lebih cepat dari pada yang tidak diberi (Titis, 2009).
Ampas tahu adalah salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun ransum. Sampai saat ini ampas tahu cukup mudah didapat dengan harga murah, bahkan bisa didapat dengan cara cuma-cuma. Ditinjau  dari  komposisi  kimianya  ampas  tahu  dapat  digunakan sebagai sumber protein. Mengingat kandungan protein dan lemak pada ampas tahu yang cukup tinggi. Tetapi kandungan tersebut berbeda tiap tempat dan cara pemprosesannya.  Terdapat laporan bahwa kandungan ampas tahu yaitu protein 8,66%; lemak 3,79%; air 51,63% dan abu 1,21%, maka sangat memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan makanan ternak (Dinas Peternakan Provinsi jawa Timur, 2011).
Limbah adalah seluruh bahan yang terbuang dari proses produksi barang-barang kimia, pertambangan, penyulingan, pertanian dan bahan-bahan pembuatan makanan yang tampak perubahannya pada permukaan air. Karakteristis ampas tahu adalah partikel atau padatan berwarna keruh keputih-putihan dan bau khas kedelai. Karakteristik kimia ampas tahu adalah kandungan organik yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Limbah padat pembuatan tahu di dalam air merupakan padatan tersuspensi dan terendap.
Ampas tahu yang merupakan limbah industri tahu memiliki kelebihan, yaitu kandungan protein yang cukup tinggi (Masturi et al. 1992). Namun ampas tahu memiliki kelemahan sebagai bahan pakan yaitu kandungan serat kasar dan air yang tinggi. Kandungan serat kasar yang tinggi menyulitkan bahan pakan tersebut untuk dicerna itik dan kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan daya simpannya menjadi lebih pendek ((Masturi et al., 1992 dan Mahfudz et al., 2000). Salah satu cara untuk mengurangi kandungan serat kasar tersebut adalah diproses dengan fermentasi.
Nilai Gizi Ampas Tahu
Ditinjau dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Ampas tahu lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan kacang kedelai. Prabowo dkk., (1983) menyatakan bahwa protein ampas tahu mempunyai nilai biologis lebih tinggi daripada protein biji kedelai dalam keadaan mentah, karena bahan ini berasal dari kedelai yang telah dimasak.
Ampas tahu juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun makro yaitu untuk mikro; Fe 200-500 ppm, Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co kurang dari 1 ppm, Zn lebih dari 50 ppm.
Ampas tahu dalam keadaan segar berkadar air sekitar 84,5 % dari bobotnya. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan umur simpannya pendek. Ampas tahu basah tidak tahan disimpan dan akan cepat menjadi asam dan busuk selama 2-3 hari, sehingga ternak tidak menyukai lagi. Ampas tahu kering mengandung air sekitar 10,0 - 15,5 % sehingga umur simpannya lebih lama dibandingkan dengan ampas tahu segar (Widjatmoko, 1996)
Tabel 1. Komposisi Nutrisi/Kimia :
Nutrisi
Ampas tahu
Basah (%)
Kering (%)
Bahan. Kering
14,69
88,35
Protein Kasar
2,91
23,39
Serat.  Kasar
3,76
19,44
Lemak kasar
1,39
9,96
Abu
0,58
4,58
BETN
6,05
30,48

Tahu diproduksi dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal bila bereaksi dengan asam. Penggumpalan protein oleh asam cuka akan berlangsung secara cepat dan bersamaan diseluruh bagian cairan sari kedelai, sehingga sebagian besar air yang semula tercampur dalam sari kedelai akan terkumpul di dalamnya. Pengeluaran air yang terkumpul tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, semakin banyak air dapat dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein itulah yang disebut dengan tahu (Suprapti, 2005).
Sebagai akibat proses pembuatan tahu, sebagian protein terbawa atau menjadi produk tahu, sisanya terbagi menjadi dua, yaitu terbawa dalam limbah padat (ampas tahu) dan limbah cair. Kandungan gizi dalam kedelai, tahu dan ampas tahu masing-masing dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Unsur Gizi dan Kalori dalam Kedelai, Tahu dan Ampas Tahu

No
Unsur Gizi
Kadar/100 g Bahan
Kedelai
Tahu
Ampas Tahu
1
Energi (kal)
382
79
393
2
Air (g)
20
84,4
4,9
3
Protein (g)
30,2
7,8
17,4
4
Lemak (g)
15,6
4,6
5,9
5
Karbohidrat (g)
30,1
1,6
67,5
6
Mineral (g)
4,1
1,2
4,3
7
Kalsium (g)
196
124
19
8
Fosfor (g)
506
63
29
9
Zat besi (mg)
6,9
0,8
4
10
Vitamin A (mg)
29
0
0
11
Vitamin B (mg)
0,93
0,06
0,2

Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan Fak. Kedokteran UI (Suprapti, 2005)

Pengolahan dan Pengawetan Ampas Tahu
Ampas tahu memiliki kadar air dan protein yang cukup tinggi sehingga bila disimpan akan menyebabkan mudah membusuk dan berjamur. Pengolahan ampas tahu sebagai tepung dapat dilakukan dengan cara penjemuran atau dengan pengeringan dengan sinar matahari atau dengan oven pada suhu 45-50°C, kemudian digiling sampai menjadi tepung (Sudigdo, 1983).
Bila mengawetkan ampas tahu secara basah dapat dilakukan dengan pembuatan silase tanpa menggunakan stater. Terlebih dahulu ampas tahu dikurangi kadar airnya dengan cara dipres sampai kadar air mencapai kira-kira 75%. Lalu disimpan dalam ruang kedap udara atau plastik tertutup rapat supaya udara tidak dapat masuk. Setelah tertutup disimpan minimal 21 hari dan digunakan sesuai dengan kebutuhan. Penyimpanan dengan cara pembuatan silase dapat mengawetkan ampas tahu sampai 5-6 bulan (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 1999). Pembuatan silase ampas tahu dapat dicampur dengan bahan pakan lain.
Proses fermentasi akan menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan meningkatkan nilai gizinya. Bahan pakan yang telah mengalami fermentasi akan lebih baik kualitasnya dari bahan bakunya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan menurunkan kadar serat kasar ampas tahu (Poultryindonesia, 2010).
Fermentasi dapat memecah selulosa, hemiselulosa, dan polimernya menjadi gula sederhana atau turunannya serta mampu meningkatkan nutrisi bahan asal, karena mikroba bersifat katabolik selain juga dapat mensintesis vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan pro vitamin A (Mahfudz et al., 1997). Salah satu bahan untuk fermentasi adalah ragi oncom yang mengandung kapang Neurospora sitophila, kapang ini memiliki aktivitas lipolitik yang tinggi, yaitu memproduksi lipase yang menghidrolisa trigliserida menjadi asam-asam lemak bebas.
Penggunaan Ampas Tahu pada Unggas
Menurut Yusrizal (2002), pemberian ampas tahu dalam ransum yang digunakan sebagai pakan itik mojosari fase stater tidak menimbulkan dampak negatif terhadap performansnya. Ampas tahu yang digunakan dalam ransum itik Mojosari sampai level 15 %. Hal ini berarti ampas tahu bisa diberikan sebagai bahan pakan untuk itik Mojosari dalam fase stater dan finisher karena ampas tahu tidak mempengaruhi performans dari itik Mojosari itu sendiri.
Pemberian ampas tahu untuk mengetahui kualitas karkas broiler dilakukan oleh Yuni Sofrianti (2001) diperoleh hasil bahwa pemberian ampas tahu kedalam ransum broiler sampai level 36 % tidak menurunkan kualitas karkas broiler.
Menurut Dessita (2003) pemberian ampas tahu sampai level 20% yang diberikan pada puyuh (Cortunix-cortunix japonica) umur 1-6 minggu tidak memberikan efek negatif terhadap performans puyuh umur 1-6 minggu dibandingkan ransum normal. Sedangkan pemberian ampas tahu sampai level 10% yang diberikan pada puyuh (Cortunix-cortunix japonica) setelah 6 bulan produksi secara kumulatif tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum (Ferdinan sembiring, 2002).
Terhadap produksi telur puyuh, pemberian tepung ampas tahu dalam ransum taraf 10% pada puyuh umur 20-32 minggu secara kumulatif tidak berdampak negatif terhadap konsumsi ransum, prouksi telur, berat telur dan konversi ransum (Suparyanto, 2003).

11.       Limbah Kulit Pisang
Kulit pisang merupakan limbah dari industri pengolahan pisang. Pengolahan pisang akan menghasilkan limbah kulit pisang yang cukup banyak jumlahnya yaitu kira-kira sepertiga dari buah pisang yang belum dikupas (Munadjim, 1983 disitasi oleh Siti Qotimah). Selain menjadi limbah industri pengolahan pisang, kulit pisang juga merupakan limbah rumah tangga yang jika dibuang sembarangan akan mengakibatkan orang lain terpeleset dan mengotori lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya pengolahan kulit pisang menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Limbah kulit pisang ini dapat dimanfaatkan untuk cuka kulit pisang, nata de banana, wine (anggur), dan pakan ternak. Dilihat dari komposisinya, kulit pisang memiliki kandungan vitamin A sangat tinggi, terutama provitamin A, yaitu beta-karoten, sebesar 45 mg per 100 gram berat kering. Beta-karoten berperan sebagai antioksidan (Elvien, 2010 disitasi oleh Siti Qotimah). Selain itu, kulit pisang juga mengandung karbohidrat terutama bahan ekstrak tanpa nitrogen sebesar 66,20 % (Heruwatno, 1993 disitasi oleh Siti Qotimah), sehingga dapat digunakan untuk mengganti sebagian jagung atau dedak dalam ransum.
Kandungan nutrisi kulit pisang sangat berpotensi sekali sebagai sumber karbohidrat yang baik untuk semua fase kehidupan ternak. Kandungan karbohidrat terutama bahan ekstrak tanpa nitrogen sebesar 66,20 % (Heruwatno, dkk. 1993) dan masih mengandung selulosa dan hemiselulosa sebesar 40 % dari total serat kasar yang dikandungnya (Parakkasi, 1990) dengan kandungan serat kasar kulit pisang sebesar 13 % (Gohl, 1981). Van Soest (1994) bahwa selulosa dan hemiselulosa merupakan komponen dinding sel tanaman yang masih dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia. Hasil analisis kulit pisang yang dilakukan di Laboratorium nutrisi dan makanan Ternak Universitas Brawijaya (Susilowati, 1997) diperoleh komposisi nutrient sebagai berikut : BK = 12,6 %; BO = 80,36%; PK = 8,36 %; gula reduksi = 42,34 % dan gula terlarut = 5,41 %. Kandungan karbohidrat yang besar terutama gula reduksi pada kulit pisang ambon termasuk dalam Readily Available Carbohidrates (RAC) dengan energy bruto sebesar 3724,32 Kcal/kg.
Adanya ancaman kenaikan harga bahan baku pakan, seperti jagung, maka dibutuhkan bahan yang dapat disubtitusi untuk menurunkan biaya pakan. Adanya substitusi sebagian jagung dengan limbah kulit pisang akan dapat mengurangi biaya pakan dan juga berpengaruh dengan biaya produksi yang dikeluarkan peternak.
Pada beberapa penelitian menunjukkan pemberian pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dapat meningkatkan produksi ayam kampung dilihat dari pertambahan berat badan, konsumsi pakan, konversi pakan, kadar kolesterol dalam serum darah, daging, hati, feses, dan berat organ pencernaan.
Pemberian pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang juga dapat menghasilkan daging ayam broiler dengan kadar kolesterol rendah. Hal ini menunjukkan kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas yang dapat menghasilkan produk yang rendah kolesterol. Kandungan kolesterol yang tinggi akan menyebabkan banyak orang yang menghindari untuk mengkonsumsi produk tersebut demi kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan produk ternak unggas yang sehat dan rendah kolesterol. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan kulit pisang sebagai pakan unggas.
Analisis Proksimat Kulit Pisang
Hasil analisis proksimat untuk pengukuran kadar: protein, lemak, BETN, serat kasar, abu, kalsium dan phosphor, ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) antara pengeringan oven dan jemur, kecuali untuk kadar air dan energi. Hasil analisis kulit pisang di Indonesia menunjukkan bahwa kulit pisang memiliki kandungan – kandungan makanan yang cukup tinggi.
Dari hasil analisis proksimat diperoleh komposisi nutrient kulit pisang sebagai berikut : BK = 12,6 %; BO = 80,36%; PK = 8,36 %; gula reduksi = 42,34 % dan gula terlarut = 5,41 %. Kandungan karbohidrat yang besar terutama gula reduksi pada kulit pisang ambon termasuk dalam Readily Available Carbohidrates (RAC) dengan energy bruto sebesar 3724,32 Kcal/kg.
Sifat Fisik Dan Kimia Kulit Pisang
Pengolahan kulit pisang menjadi produk tepung adalah salah satu upaya menanggulangi limbah kulit pisang, sehingga mempunyai manfaat dan bernilai ekonomi. Menurut penelitian beberapa ahli, kulit pisang dijadikan tepung dengan cara diblender menghasilkan sifat seperti dibawah ini :
• Sifat Fisika
- Tekstur tepungnya halus
- Panjang : 12 – 18 cm
- Warna : Coklat Tua
• Sifat Kimia
- Mudah teroksidasi, dengan ditandai oleh perubahan warna pada kulit pisang.
- Memiliki nilai gizi yang cukup tinggi
Analisis Kecernaan Kulit Pisang
Tingkat kecernaan, konsumsi dan efisiensi penggunaan nutrisi bahan pakan asal limbah atau hasil sisa tanaman dipengaruhi oleh tingkat kandungan berbagai senyawa kimiawi yang bersifat penghambat (inhibitor). Pada bahan pakan asal tanaman pangan faktor penghambat didominasi oleh kelompok senyawa fenolik polimer seprti lignin yang terdapat di dalam dinding sel. Pada batang dan daun pisang kandungan lignin mencapai 12% (ROXAS et al., 1996; QUIROS et al., 1996 disitasi oleh Siti Qotimah). Rendahnya kecernaan bahan kering tanaman pisang (42%) kemungkinan terkait dengan kadar lignin dan tannin.
Fakta Manfaat Kulit Pisang Untuk Pakan Unggas
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi tepung kulit pisang sebagai pakan ayam broiler untuk menghasilkan daging yang mengandung kolesterol rendah oleh Hernawati dkk. Sebanyak 20 ekor ayam broiler digunakan dalam desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL). Ayam broiler diberikan pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dengan kadar yaitu 30%, 50% dan 70% dalam 100 gram pakan, sedangkan kontrol diberikan pakan buatan tanpa tepung kulit pisang. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Pakan buatan diberikan setiap pagi dan sore sebanyak 100 g/ekor, serta air minum diberikan secara ad libitum. Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dengan kadar 30%, 50%, dan 70% menurunkan konsumsi ransum, bobot badan, berat karkas, namun meningkatkan konversi ransum. Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dengan kadar 30%, 50%, dan 70% tidak mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah, menurunkan kadar kolesterol daging, meningkatkan kadar kolesterol hati dan feses. Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dengan kadar serat 30%, 50% dan 70% dapat diterima sebagai alternatif pakan ayam broiler untuk menghasilkan daging dengan kadar kolesterol rendah. Penggunaan tepung kulit pisang sebagai bahan pakan ayam broiler sebaiknya pada kadar 30% atau 50%. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, berat karkas, kolesterol daging menghasilkan nilai yang cukup baik. Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa pemberian pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang dapat menghasilkan daging ayam broiler dengan kadar kolesterol rendah.
Penelitian penggunaan kulit pisang sudah dilakukan di Indonesia. Kulit pisang sebagai pakan basal ternak punya kendala kandungan serat kasar rendah sehingga pemberiannya harus ditambahkan hijauan berserat kasar tinggi. Tetapi karena kulit pisang kaya energy sehingga pemberiaanya bisa dicampurkan dengan nitrogen bukan protein (NPN) seperti urea sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba (single cell protein). Penggunaan urea dalam pakan sumber protein dianjurkan maksimum sebanyak 1 % dari total bahan kering konsentrat atau sebanyak 5 % dari protein konsentrat. Mengingat urea merupakan bahan kimia menjadi tidak tepat mempunyai banyak kelemahan yaitu terjadinya polusi tanah dan lingkungan serta residu yang berbahaya dalam saluran pencernaan ternak, sehingga penggunaan bahan kimia ini tidak begitu dianjurkan.
Cara dan Dampak Pemberian Kulit Pisang bagi Ternak
Dari berbagai macam penelitian yang telah dilakukan dijelaskan bahwa tepung kulit pisang tidak hanya dijadikan sebagai bahan pakan pengganti untuk ternak, tetapi sebagai bahan pakan pelengkap yang dapat melengkapi nutrisi yang belum ada pada pakan utama. Pemberian kulit pisang dapat dicampur dengan pakan utama, tetapi batas pemberiannya hanya 30%-50% dari total ransum yang diberikan.
Dijelaskan pula dampak dari pemberian ransum dengan bahan campuran tepung kulit pisang pada ternak unggas, khususnya ayam broiler, dapat menurunkan konsumsi ransum, bobot badan, berat karkas, namun meningkatkan konversi ransum. Pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang tidak mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah, dapat menurunkan kadar kolesterol daging, meningkatkan kadar kolesterol hati dan feses.
12.       Limbah Lumpur Sawit
Penyediaan ransum yang murah, tersedia dan baik kualitasnya serta tidak bersifat racun perlu dilakukan untuk menekan biaya produksi, dimana 60%-70% dari komponen biaya produksi adalah biaya ransum.Salah satu upaya yang dilakukan untuk menekan biaya ransum adalah dengan memanfaatkan sumber bahan pakan non kovensial yang  mempunyai nilai ekonomis rendah, tidak bersaing dengan manusia, serta tersedia secara terus menerus. Sumber bahan pakan yang dimaksud dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan limbah pertanian, salah satunya adalah limbah pabrik kelapa sawit.
Limbah kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternate ternak unggas dan punya potensi yang besar adalah  bungkil inti sawit dan Lumpur sawit, yang sampai saat ini limbah tersebut belum digunakan secara maksimal sebagai bahan pakan dalam ransum ternak.
Lumpur sawit (palm sludge) merupakan limbah pengolahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), yang memungkinkan untuk dioptimalkan pemanfaatannya sebagai bahan pakan penyusun ransum unggas
Penggunaan Lumpur sawit sebagai bahan pakan ayam pedaging akan memberikan keuntungan ganda yaitu  menambah variasi dann persediaan bahan baku ransum serta mengurangi pencemaran lingkungan, disamping dapat memberikan keuntungan lain dalam hal penekanan biaya ransum.
Penggunaan limbah di atas sebagai ransum ternak harus melalui penanganan dan pengolahan lebih lanjut atau perlu sentuhan tehnologi untuk meningkatkan nilai gizi nya, dikarenakan bahan limbah ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, kandungan protein dan kecernaan rendah (Zamora et al. 1989). Menurut Sinurat 1998 dalam Mirwandhono (2004), teknologi untuk meningkatkan mutu bahan pakan adalah dengan fermentasi.
Tehnik ini sudah dilaporkan dapat meningkatkan nilai gizi Lumpur sawit (Sinurat et al., 1998. Pasaribu et al, 1998). Secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan asalnya sehingga dapat meningkatkan nilai gizinya (Purwadaria et al., 1995; Sinurat dkk., 1996; Supriyati dkk., 1998). Fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang dikandung suatu bahan. Berbagai jenis mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk mengkonversikan pati menjadi protein dengan  penambahan nitrogen anorganik melalui fermentasi. Kapang yang sering digunakan dalam teknologi fermentasi antara lain Aspergillus niger.A. niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan. Produk fermentasi ini  mempunyai kandungan protein kasar dan protein sejati yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Lumpur sawit memiliki komposisi   nutrisi yang setara dengan dedak padi.
Lumpur sawit mengandung protein kasar 13,3 %, lemak kasar 18,9%, serat kasar 16,3%, abu 12%, dan BETN 39,6% (Widyawati, 1991 dalam Mairizal dkk, 2008). Berdasarkan hasil penelitian  yang dilakukan di Balitnak Ciawi diketahui bahwa proses fermentasi Lumpur sawit dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai gizinya namun produk hasil fermentasi tersebut dalam aplikasinya hanya efektif digunakan sampai taraf 10% dalam ransum ( Sinurat dkk. 2001)
Berdasarkan pemikiran di atas, maka cukup beralasan untuk mengadakan kajian mengenai pemanfaatan Lumpur sawit  terfermentasi dalam ransum untuk menunjang kinerja pertumbuhan ayam pedaging serta mendukung pengembangan perunggasan di Indonesia.
Potensi Limbah Sawit Sebagai Ransum Ternak
Tanaman kelapa sawit meghasilkan 4 jenis limbah utama yang digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu daun sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit dan serabut sawit. Limbah ini cukup melimpah sepanjang tahun, namun penggunaannya sebagai bahan pakan belum digunakan secara maksimal sampai sekarang.  Dari 693.015,64 ha kebun kelapa sawit dihasilkan tandan buah segar sebesar 10,40 juta ton per tahun dan akan dihasilkan limbah pabrik pengolahan sawit berupa lumpur sawit 0,52 juta ton dan bungkil inti sawit sebesar ,24 juta ton, dan serat buah 1,25 juta ton pertahun. Lumpur sawit adalah larutan buangan yang dihasilkan selama proses pemanasan minyak mentah sawit. Bahan ini merupakan emulsi mengandung sekitar 20% padatan, 0,5-1% sisa minyak dan sekitar 78-79% air (Devendra, 1997 dalam Mirwandhono 2004).
Aspergillus Sebagai Inokulum Fermentasi
Penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleat rendah ( Mirwandhono, 2004). Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mulanya berwarna putih , tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapangnya.
            Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al., 1989). Aspergillus niger mempunyai konidi yang besar, dipak secara padat, bulat, dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat  aseksual dan tumbuh memasang di stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger  termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 ºC-37 ºC.
Perubahan Kandungan nutrisi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger
Setelah lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, kandungan PK nya naik menjadi 35,43 % dari 13,25% dan serat kasarnya menjadi 13,8% dari 16,3%. Kenaikan PK LSF ini dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering yang tinggi (28,77%), kapang  ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk mencegah urea menjadi asam amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari. Asam amonnia dapat digunakan oleh kapang untuk pebentukan asam amino. Sedangkan perubahan kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang , kemampuan memecah SK untuk memenuhi  kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama fermentasi. Penurunan SK diduga karena Aspergillus niger pada inkubasi 4 hari mulai mensintesa enzim pengurai, yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat an menghasilkan beberapa enzim  seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase.
Penggunaan Lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum  broiler
Dari hasil penelitian yang dilakukan,  LSF dengan Aspergillur niger dapat digunakan sebanyak 5%  dalam ransum dan memberikan hasil terbaik untuk pertambahann bobot ayam pedaging (Mirwandhono, 2004). Pemberian pada taraf 15 % tidak berpengaruh buruk terhadap konsumsi pakan, karkas, lemak abdomen, dan organ (hati dan rempela) pada ayam broiler(Sinurat. 2000). Menurut Sinurat dkk., 2000 dalam Mairizal (2008), batas penggunaan lumpur sawit yang disarankan untuk ayam broiler adalah 5%, sedangkan menurut Yeong dan Azizah 1987 dalam Sinurat (2001) lumpur sawit dapat digunakan sebanyak 15 %. Selanjutnya dijelaskan oleh Sinurat (2001) bahwa batas pemberian lumpur sawit dalam ransum unggas sangat bervariasi tergantung dari proses dalam menghasilkannya dan jenis ternak yang mengkonsumsi. Di bawah ini adalah data penampilan ayam pedaging yang diberi produk fermentasi lumpur sawit.
Tabel 1. Penampilan ayam pedaging (1 hari-5minggu)
Parameter
Kontrol
LSF
5 %
10 %
15 %
Pertambahan bobot badan (g/e)
981
1104
1039
1002
Konsumsi ransum (g/e)
2035*
2126
2115
2060
Konversi ransum
2,07*
1,95
2,04
2,06
Konsumsi bahan kering (g/e)
1777
1883
1866
1817
Konversi bahan kering
1,81
1,69
1,70
1,81
Keterangan: tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dengan rata-rata perlakuan lainnya (P<0 br="">  Tabel 4. bobot karkas, lemak abdomen, hati, dan rempela ayam broiler yang diberi lumpur sawit fermentasi (% bobot hidup)
Parameter
Kontrol
LSF
5 %
10 %
15 %
Karkas
66,6
67,3
66,2
67,3
Lemak abdomen
1,97
2,01
2,22
2,07
Hati
2,12
2,13
2,22
2,07
Rempela
2,05
1,92
1,99
2,07
            Dari tabel di atas terlihat bahwa penggunaan produk lumpur sawit fermentasi dalam ransum hingga 15% tidak menyebabkan penurunan konsumsi ransum, gangguan pertumbuhan, perubahan persentase karkas, dan lemak abdomen yang dihasilkan maupun kelainan pada organ (hati dan rempela) ayam. Hal ini terlihat dari data konsumsi ransum, PBB, FCR, persentase karkas, bobot lemak abdomen, bobot hati, dan berat rempela ayam dibandingkan dengan kontrol. Untuk pertambahan bobot badan terlihat bahwa penggunaan produk lumpur sawit fermentasi pada taraf 5 % adalah yang tertinggi, hal ini mungkin merupakan petunjuk bahwa produk fermentasi mengandung suatu zat pemacu pertumbuhan/growth promotant yang hanya efektif bila diberikan pada dosis rendah, kemungkinan aktivitas zat tersebut cukup tinggi di alam produk segar, sehingga efektifitasnya tidak terlihat lagi secara nyata sampai pada penggunaan produk fermentasi taraf 10%.
Konversi bahan kering ransum kontrol tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan rata-rata konversi bahan kering ransum yang mengandung lumpur sawit fermentasi peningkatan kadar lumpur sawit fermentasi dari 5% menjadi 15 % nyata menyebabkan konversi bahan kering semakin jelek, tetapi konversi bahan kering ransum dengan kadar 10% LSF tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan ransum 5 % maupun 15 %.
Mortalitas ayam pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinurat (2001) ini sangat rendah (hanya 2 ekor dari 210 ekor atau 0,95%) dan tidak ada gejala yang mencurigakan bahwa kematian ayam disebabkan oleh perlakuan. Penelitian terdahulu juga tidak mengindikasikan adanya perbedaan mortalitas karena pemberian LSF pada ayam broiler (Sinurat, et.al., 2000). Oleh karena itu, data mortalitas tidak disajikan dalam tabel. Hasil ini menguatkan hasil penelitian sebelumnya bahwa penggunaan produk LSF tidak membahayakan kesehatan ayam broiler dan tiadak menyebabkab perubahan persentase karkas yang dihasilkan, hati, rempela, maupun lemak abdomen
13.       Limbah Daun Ubi Kayu
Daun Ubi kayu mengandung protein antara 20 sampai 27 % dari bahan kering, sehingga dapat digunakan sebagai pakan suplemen sumber protein terhadap hijauan lain rumput lapangan, daun tebu dan jerami padi yang berkadar protein rendah. Nilai tersebut hampir setara dengan kandungan protein pada beberapa tanaman jenis leguminosa yang umum digunakan sebagai pakan ternak kambing, misalnya lamtoro (24,2 %), glirisidia (24,3 %), turi (27,1 %) dan kaliandra (30,5 %) (Marjuki, 1993). Kandungan protein yang tinggi tersebut maka daun ubikayu sangat potensial sebagai pakan sumber protein untuk ternak dan sangat cocok bagi petani karena ketersediaannya yang cukup banyak di sekitar area penanaman ubikayu, terutama pada saat panen.
Silase merupakan metode pengawetan hijauan pakan ternak dalam bentuk segar melalui proses fermentasi dalam kondisi an aerob. Dengan metode tersebut maka daun ubikayu yang tersedia melimpah pada saat panen dapat diawetkan dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan suplemen sumber protein dalam jumlah secukupnya dan dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan daun ubikayu dalam bentuk silase terbukti dapat mempertahankan kondisi, kualitas dan palatabilitasnya dalam waktu yang cukup lama dan menurunkan kadar HCN sebesar 60 sampai 70 %, sehingga lebih aman diberikan pada ternak. Fermentasi dapat menggunakan mikroorganisme (EM4) maupun dengan dengan di campur dengan bahan pakan lainnya.
 Namun, daun ubi kayu mengandung serat kasar yang tinggi yang membatasi penggunaannya sebagai bahan pakan unggas. Daun ubi kayu mengandung serat kasar sebesar 25,71% (Sudaryanto, 1994). Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengurangi  kadar serat kasar dalam daun ubi kayu untuk memperbaiki nilai gizinya.
Di Indonesia yang beriklim tropis mempengaruhi ketersediaan bahan pakan khususnya bahan pakan hijauan yang merupakan bahan pakan utama ternak ruminansia. Iklim tropis umumya dicirikan dengan melimpahnya bahan pakan hijauan terutama pada saat musim penghujan sedangkan pada musim kemarau sulit untuk mendapatkan bahan pakan hijauan. Dengan demikian maka kontinuitas dari bahan pakan menjadi masalah yang cukup serius dalam melaksanakan suatu usaha peternakan.untuk itu dapat di atasi dengan pembuatan silase maupun di fermentasi dengan mikroorganisme pada daun ubi kayu Sementara itu daun ubikayu mudah sekali busuk jika ditumpuk dalam kondisi basah (segar), dan jika dikeringkan daun menjadi remah dan mudah hancur sehingga banyak biomasa daun yang hilang terutama pada saat penjemuran, pengangkutan dan penyimpanan.
 Namun satu kendala penggunaan daun ubikayu sebagai pakan ternak adalah karena kandungan HCNnya yang cukup tinggi hingga mencapai 289 mg per kg BK daun ubikayu (Kavana et al., 2005). Konsumsi HCN yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Gomez (1991) menyatakan bahwa batas maksimal kandungan HCN yang aman bagi ternak adalah 100 mg per kg BK pakan.
Selain kandungan tersebut di atas, daun ubi kayu juga mengandung HCN dan Xanthophyl. HCN atau asam sianida merupakan zat anti nutrisi yang keberadaannya mampu menghambat pemanfaatan protein, akan tetapi kandungan HCN pada daun ubi kayu sangat rendah (lebih rendah dari pada HCN yang terkandung dalam umbi dan batang) sehingga dapat hilang dengan pemanasan atau penjemuran. Xanthophyl merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning telur pada magnum (Sabrina et al., 1997).
Hal ini dikarenakan kandungan Xanthophyl pada daun ubi kayu yang mampu member pewarnaan pada kuning telur sehingga warna kuning telur menjadi lebih pekat, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sabrina et al. (1997) bahwa Xanthophyl merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning telur pada magnum. Selain itu adanya HCN pada daun ubi kayu dapat hilang denagn adanya pemanasan atau penjemuran daun yang mampu mengakibatkan zat anti nutrisi tersebut ditekan keberadaannya.
            Di samping itu karena kandungan proteinnya yang tinggi, pemberian daun ubikayu pada ternak dalam jumlah banyak atau sebagai pakan utama juga merupakan pemborosan protein yang nilainya sangat mahal. Di samping itu karena kandungan proteinnya yang tinggi, pemberian daun ubikayu pada ternak dalam jumlah banyak atau sebagai pakan utama juga merupakan pemborosan protein yang nilainya sangat mahal.  
Untuk upaya peningkatan ketersediaan pakan membuat limbah menjadi primadona baru sebagai sumber pakan yang jarang digunakan peternak (bahan pakan inkonvensional), limbah ini dapat berupa limbah pertanian, limbah industri maupun limbah peternakan. Bahan-bahan inkonvensional,merupakan hasil akhir suatu produksi yang sudah tidak dapat digunakan ataupun di daur-ulang merupakan bahan organik yang berbentuk padat dan cairan  nilai ekonominya rendah dibandingkan biaya pengumpulan dan pemrosesan merupakan sumber fermentable carbohydrat pakan inkonvensional berupa limbah buah-buahan merupakan sumber energy yang sangat tinggi kualitasnya pakan inkonvensional berupa limbah tanaman pangan merupakan bahan bulky dengan kandungan serat kasar tinggi dan nitrogen rendah beberapa pakan inkonvensional mempunyai efek racun perlu teknologi untuk membentuk menjadi bahan pakan yang siap digunakan perlu informasi komposisi nutrisi dan faktor antinutrisi
            Daun ubi kayu dapat ditingkatkan nilai gizinya  melalui fermentasi, karena fermentasi dapat meningkatkan kecernaan protein, menurunkan kadar serat kasar, memperbaiki rasa dan aroma bahan pakan, serta menurunkan kadar logam berat (Kompiang et al., 1997; Laconi, 1992; Purwadaria et al., 1998; Sinurat et al., 1995).Fermentasi dapat di lakukan dengan berbagai cara nya seperti fermenasi dengan mikrooorganisme ( EM4) atau di campur dengan baha pakan lainya seperti dedak.  Ada banyak mikroorganisme yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut antara lain adalah EM4.
 EM4 adalah campuran kultur yang mengandung Lactobacillus, jamur fotosintetik, bakteria fotosintetik, Actinomycetes, dan ragi (Anonimus, 1998). EM4  mempunyai kemampuan untuk menurunkan kadar serta kasar dan meningkatkan palatabilitas bahan pakan dan  mampu menurunkan kadar serat kasar pada kotoran ayam petelur dan meningkatkan kadar energinya. Oleh karena daun ubi kayu rendah kadar energinya namun di tambahkan dengan dedak dalam proses fermentasi kimia daun ubi kayu.
Jadi dengan di ketahui kandungan dari zat gizi yang terkandung , maka daun ubi kayu dapat di manfaatkan sebagai bahan pakan  semua ternak baik unggas maupun ruminansia, namun daun ubi kayu lebih efektif apa bila di gunakan sebagai pakan ternak ruminansia yaitu kambing yang diproses dalam bentuk silase dengan fermentasi,karena pada ruminanasia kecernaan bahan pakan lebih baik dari pada unggas dan terbukti  dapat meningkatkan pertambahan berat badan kambing lepas sapih. Serta dengan  Penyimpanan daun ubikayu dalam bentuk silase terbukti dapat mempertahankan kondisi, kualitas dan palatabilitasnya dalam waktu yang cukup lama dan menurunkan kadar HCN sebesar 60 sampai 70 %, sehingga lebih aman diberikan pada ternak
Dapat di lihat pada table berikut, daun ubi kayu yang di fermentasi dengan di campur dengan beberapa bahan pakan lainnya
Tabel 1. Kandungan pH, Bahan kering (BK), Bahan Organik (BO) dan Protein Kasar (PK) daun ubi kayu dengan berbagai bahan additive sebelum difermentasikan.
Silase (bahan additive)
pH
Kandungan BK
Kandungan BO
Kandungan PK
P-0 (tanpa additive)
6,5
24,34
90,43
25,65
P-1 (empok jagung)
5,8
26,69
91,4
23,97
P-2 (dedak)
5,5
25,69
88,83
20,23
P-3 (molasses)
5,3
26,72
88,68
20,48
P-4 (ubi kayu segar)
5,5
24,86
90,92
23,04
P-5 (gamblong)
6,5
23,18
89,0
25,45
P-6 (tepung gaplek)
6,5
26,89
91,33
21,11
Tabel 2. Kandungan pH, Bahan kering (BK), Bahan Organik (BO) dan Protein Kasar (PK) daun ubi kayu dengan berbagai bahan additive setelah difermentasikan selama 21 hari.
Silase (bahan additive)
pH
Kandungan BK
Kandungan BO
Kandungan PK
P-0 (tanpa additive)
4,9
22,4
90,59
26,92
P-1 (empok jagung)
4,6
26,5
91,81
23,44
P-2 (dedak)
4,8
28,58
89,45
22,61
P-3 (molasses)
4,9
24,67
88,97
23,43
P-4 (ubi kayu segar)
4,6
24,05
91,41
23,32
P-5 (gamblong)
4,9
24,26
91,45
23,41
P-6 (tepung gaplek)
4,6
27,73
92,27
20,98

KOMPOSISI DAUN UBI KAYU
Daun ubi kayu mempunyai kulit serta lapisan kayu yang berbentuk bulat dan berongga; terisi oleh lapisan gabus. Pada tanaman dewasa persentase bagian-bagian tops adalah 81% daun/cabang, 7% daun dan 12% tangkai (MONTALDO, 1973). Daun ubi kayu dapat tumbuh mencapai diameter ≤ 3,5 cm. Daun ini tidak begitu keras namun tinggi kandungan seratnya. Selain untuk benih/stek daun ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai partikel pembuat kertas karton, bahan bakar serta bersama-sama dengan daun dan umbi dihancurkan sebagai pakan sapi maupun babi (GRACE, 1977).
Kandungan daun ubi kayu berdasarkan bahan kering apat dilihat pada table berikut :
Kandungan                 bahan kering
BK                              88,46%
PK                               25,51%
SK                               24,29%
BETN                          34,7%
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, IPB (2008)
            Selain kandungan tersebut di atas, daun ubi kayu juga mengandung HCN dan Xanthophyl. HCN atau asam sianida merupakan zat anti nutrisi yang keberadaannya mampu menghambat pemanfaatan protein, akan tetapi kandungan HCN pada daun ubi kayu sangat rendah (lebih rendah dari pada HCN yang terkandung dalam umbi dan batang) sehingga dapat hilang dengan pemanasan atau penjemuran. Xanthophyl merupakan salah satu jenis protein yang mampu mempengaruhi pewarnaan kuning telur pada magnum (Sabrina et al., 1997).
14.       Limbah Ampas Teh
            Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan ampas teh fermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransom terhadap pertambahan bobot hidup, efisiensi penggunaan protein serta persentase karkas pada ayam broiler. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan ternak percobaan sebanyak 100 ekor anak ayam umur satu hari dan dibagi menjadi lima perlakuan ransom dan empat ulangan. Kelima perlakuan ransom disusun berdasarkan tingkat penggunaan ampas teh produk fermentasi, yaitu  : RO (0.0%), R1 (2,5%), R2 (5,0%), R3 (7,5%) dan R4 (10,0%). Hasil penelitian menunjukka R1 (2,5% ampas teh fermentasi) merupakan ransom yang memberikan pengaruh paling baik terhadap semua parameter yang diukur. Penggunaan tepung ampas teh produk fermentasi sampai taraf 7,5% dapat direspon secara positif oleh ayam broiler, sedangkan peggunaannya pada taraf 10,0% dapat menurunkan pertambhan bobot hidup (PBH), ttapi masih mempunyai nilai efisien protein dan persentase karkas yang setara dengan R0 (ransom control).
Pemenuhan keperluan ransum unggas khususnya broiler, dewasa ini mengalami masa yang sulit akibat mahalnya bahan bak, sehigga bedampak pada harga ransum. Berbagai usaha terus dilakukan  untuk mencari bahan pakan baru yang mempunyai gizi cukup tinggi, mudah dicerna, tidak mengganggu kesehatan ternak, murah dan mudah didapat serta tersedia secara kontinyu. Ampas teh merupakan salah satu bahan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternative untuk ternak unggas khususnya broiler.
Dilihat dari kandungan proten yang mencapai 27,42%, serta zat-zat makanan yang terdapat didalamnya, ampas teh mampunyai  potensi yang cukup besar untuk dijadikan bahan baku ransom ayam broiler. Namun adanya zat anti nutrisi seperti tannin, kafein, teobromina, teofilin dan saponin serta serat kasar yang cukup tinggi, tentunya akan menjadi factor pembahas dalam penggunaannya, karena dapat menghambat proses pencernaan bagi ternak yang bersangkutan. Menurut BELITZ dan GROSCH (1986), kandungan kafein 2,5-5,5%, teobromina 0,97-0,17% dan teofilin 0,002-0,013%. Sementara itu, tannin menurut ISTIRAHAYU (1993) mencapai 1,35% dan kandungan serat kasar menurut SOEJIWO (1982) mencapai 23,01% Analisa terhadap zat anti nutrisi pada ampas teh setekah fermentasi hanya dilakukan terhadap tenin saja. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memperbaiki dan memanfaatkan kandungan gizi melalui proses fermentasi substrat padat meggunakan Aspergillus niger. Teknik fermentasi ini dapat meningkatkan kandungan protein singkong.
Kualitas bahan pakan selain dapat dilihat dari kandungan protein juga terlihat dari pertambahan bobot hidup ternak yang mengkonsumsnya. Kandungan protein akan erat hubungannya dengan efisiensi protein, sedangkan manifestasi pertumbuhan yang baik diperlihatkan melalui persentase kasrkas yang dihaslkan. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pemberian ampas the yang difermentasi terhadap pertambahan bobot hidup dan efisiensi protein serta persentase karkas pada ayam broiler.
Ransum yang digunakan disusun berdasarkan NRC 1994 dengan kandungan protein 23% dan energi metabolisme 3100 kkal/kg. Lima perlakuan ransom disusun berdasarkan tingkat penggunaan ampas teh fermentasi. Ransum diberikn dua kali sehari pada pagi dan sore hari dalam bentuk mash. Pemberin air minum selalu tersedia, sedangkan pencvegahan penyakit meliputi kegiatan vaksinasi, serta sanitasi lingkungan. Adapun peubah yang diamati meliputi pertambahan bobot hidup, konsumsi ransom, konsumsi protein dan rasio efisiensi protein ransom serta persentase karkas.
Komposisi nutrient ampas teh produk fermentasi Aspergillus niger
Ampas teh mempunyai kandungan protei kasar yang cukup tinggi yaitu 27,42% (GINTING, 1993). Namun, kendalanya sebagai pakan broiler adalah kandungan zat anti nutrisi yang cukuptinggi yaitu tannin 1,35% (ISTIRAHAYU, 1993) dan serat kasar 23,01% (SOEJIWO, 1982). Proses fermentasi biasanya menghasilkan produk makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba bersifat memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana, sehingga mudah dicerna (WINARNO et al, 1980)
Hasil analsis terhadap ampas teh terfermentasi Aspergllus niger menunjukkan kandungan air 8,8%; abu 2,25%; protein kasar 29,36%; serat kasar 21,19%; lemak 1,11%; kalsium 0,891%; fosfor 0,211%;tannin 0,19%; lisin 0,76%; metionin 1,00%; sistin 0,78%; dan energy metabolisme 223 kkal/kg. Secara umum, komposisi nutriennya meningkat walupun tidak begitu tinggi dibandingkan dengan hasil analsis yang dilaporkan ISTIRAHAYU (1993) dan SOEJIWA (1982). Peningkatan protein diduga karena adanya penambahan protei yang disumbangkan oleh sel mikro akibat pertumbuhanya yang menghasilkan produk Protein Sel Tunggal atau biomassa sel yang mengandung sekitar 40-65% protein.
            Adanya kandungan asam amino yang cukup tinggi, jga menunjukkan bahwa ampas teh terfermentasi ini mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada hasil analisa Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran (2002) terhadap tiga jens asam amino yang terkandung dalam ampas teh fermentasi dan dinilai penting untuk pakan broiler, yaitu lisin 0,76%; metionin 1,00% dan sistein 0,75%. Menurut DARANA (1995), kandungan asam amino tersebut cukup tinggi apabila terdapat pada bahan penyusun pakan unggas. Disamping adanya peningkata dari zat-zat makanan yang diperlukan, fermentasi diduga juga berpengaruh juga terhadap perbaikan zat anti nutrisi.
Pengaruh ransum percobaan terhdap pertambahan bobot hidup dan efisiensi protein serta persentase karkas
Selama enam minggu percobaan tidak dijumpai kematian pada semua perlakuan. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot hidup maupun konsumsi ransom. Ransum perlakun R4 menunjkan pertambahan bobot hidup dan konsumsi ransom yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan besar sebagai akibat adanya efek kumulatif dari zat anti nutrisi, seperti saponin, tannin, kafein, teofilin, dan teobromina. Saponin merupakan komponen bersifat pahit, yang menurut BIRK (1969) dapat menyebabkan gangguan fungsional saluran pencernaan sebagai akibat terhambatnya aktivitas otot penggerak peristaltik. Tanin pada ampas teh merupakan tannin yang terkondensasi pada protein tubuh dan dapat menekan energi metabolisme ransum.
Disamping pengaruh zat anti nutrisi, penurunan pertambahan bobot hidup dan konsumsi ransom pada R4 jga tidak terlepas dari adanya kandungan serat kasar yang  cukup tinggi sebesar 21,19%. Kendatipun total serat kasar ransom masih dalam batas toleransi, akan tetapi ditinjau dari besaran serat kasar yang berasal dari ampas teh fermentasi pada penggunaan 10,00% ternyata mencapai 2,12% atau sama dengan 42,48% dari total serat kasar ransom, sehingga terjadi ketidakseimbangan sumbangan serat kasar pembentuk serat kasar total. Secara keseluruhan, serat kasar dapat mempengaruhi pendayagunaan zat-zat pakan lan dalam proses pencernaan serta dapat menurunkan daya absorpi zat paka terhadap ayam pencernaan ayam broiler.
Perlakuan juga berpenaruh nyata terhadap efisiensi protein. Hasil analss menunjkkan perlakuan R4 hasilnya lebih rendah dan berbeda nyata dengan  R1, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakan R0, R2 dan R#. Hal tersebut sebagai bukti bahwa pemanfaatan ampas the produk fermentasi sampai taraf 10.0% dari total ransom masih setara dengan ransum  control apabila dilihat dari rasio efisiensi protein padahal telah dikemukakan lebih awal bahwa penggunaan amps the produk fermentasi ampai taraf 10,0% menghasilka rataan pertambahan bobot hidup berbeda nyata denan perlakuan lainya. Hasil analsis data persentase karkas diperoleh nilai tidak berbeda nyata antar perlakuan. Rataan persentase karkas yang diperoleh mamiliki besaran persentase karkas yang normal. Perolehan persentase karkas broiler sejala dena pertambahan bobot hidup akhir yang dihasilkan.

15.       Limbah Ampas Kelapa
Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) termasuk jenis tanaman yang memiliki multi fungsi, hal ini karena hampir semua bagian dari tanaman tersebut dapat dimanfaatkan, dan banyak dijumpai di Indonesia yang merupakan penghasil kopra terbesar kedua di dunia, sesudah Phillipina. Usaha budidaya tanaman kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan hasil samping berupa ampas kelapa. Kelapa merupakan salah satu tanaman yang sangat luas penggunaanya, selain untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, seperti santan, gula dan air kelapa segar, kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri. Salah satu contohnya adalah minyak kelapa yang digunakan sebagai bahan industri sabun, obat-obatan, mentega dan lain sebagainya.
Hampir semua bagian dari tanaman kelapa dapat dimanfaatkan. Efisiensi ransum adalah kemampuan ransum yang dikonsumsi dalam satuan waktu tertentu untuk menghasilkan bobot badan seekor ternak dalam waktu yang sama. Dalam menyusun ransum perlu memperhatikan kualitas dari bahan pakan yang digunakan, murah harganya dan terjamin kontinitas pengadaannya. Walaupun ransum harganya murah tetapi tidak dibarengi dengan kualitas ransum yang memadai maka bobot badan yang di hasilkan tidak dicapai.
Saat ini banyak sekali industri-industri pengolahan minyak kelapa seperti VCO (Virgin Coconut Oil) yang terbuat dari daging kelapa segar yang diolah pada suhu rendah atau tanpa pemanasan. Kegiatan industri ini menghasilkan limbah padat, salah satunya adalah ampas kelapa. Ampas kelapa (Cocos mucifera L) dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selain dapat digunakan sebagai pakan ternak ampas kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi galaktomannan.
Ampas kelapa hasil samping pembuatan minyak kelapa murni masih memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan ampas kelapa berpotensi untuk dimanfaatkan dan diolah menjadi pakan. Menurut Derrick (2005), protein kasar yang terkandung pada ampas kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya yang mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan sumber energi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti sebagai bahan pakan pedet (calf), terutama untuk menstimulasi rumen dan pakan asal ampas kelapa juga terbukti ternak dapat menghasilkan susu yang lebih kental dan rasa yang enak (Anonim, 2003).
Fermentasi merupakan salah satu cara untuk mengolah ampas kelapa menjadi bahan pakan. Pada proses fermentasi terjadi reaksi dimana senyawa komplek diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan membebaskan molekul air. Fermentasi dengan menggunakan kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen bahan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna, sehingga diharapkan dapat meningkatkan nutrisinya (Supriyati et al., 1999).

Komposisi  Buah atau Ampas Kelapa
Buah kelapa yang sudah tua mengandung kalori yang tinggi, sebesar 359 kal per 100 gram; daging kelapa setengah tua mengandung kalori 180 kal per 100 gram dan daging kelapa muda mengandung kalori sebesar 68 kal per 100 gram. Sedang nilai kalori rata-rata yang terdapat pada air kelapa berkisar 17 kalori per 100 gram. Air kelapa hijau, dibandingkan dengan jenis kelapa lain banyak mengandung tanin atau antidotum (anti racun) yang paling tinggi. Kandungan zat kimia lain yang menonjol yaitu berupa enzim yang mampu mengurai sifat racun. Komposisi kandungan zat kimia yang terdapat pada air kelapa antara lain asam askorbat atau vitamin C, protein, lemak, hidrat arang, kalsium atau potassium. Mineral yang terkandung pada air kelapa ialah zat besi, fosfor dan gula yang terdiri dari glukosa, fruktosa dan sukrosa. Kadar air yang terdapat pada buah kelapa sejumlah 95,5 gram dari setiap 100 gram.
Ampas kelapa merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ayam pedaging, karena ampas kelapa masih mudah didapatkan dari sisa pembuatan minyak kelapa tradisional dan limbah pembuatan virgin coconut oil (VCO). Menurut Purawisastra (2001) menyatakan bahwa ampas kelapa mengandung serat galaktomanan sebesar 61 % yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah.
Galaktomanan adalah polisakarida yang terdiri dari rantai mannose dan galaktosa, senyawa ini bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung serat dan polisakarida, juga berperan memicu pertumbuhan bakteri usus yang membantu pencernaan (Wiguna, 2007). Selanjutnya dinyatakan berdasarkan hasil kutipan Duodecim Medical Publication, Finlandia, Galaktomanan efektif menangkap lemak dan mengubahnya menjadi gumpalan gumpalan kemudian dibuang bersama feces. Peningkatkan kualitas zat makanan dan daya cerna pada ampas kelapa maka dilakukan proses fermentasi. Menurut Buckle dkk (1985) bahwa fermentasi merupakan hasil proses metabolisme an aerobic dari beberapa jenis mikroorganisme seperti jenis bakteri, kapang dan khamir Proses fermentasi akan terjadi perubahan kualitas bahan makanan menjadi lebih baik dari bahan asalnya baik dari aspek gizi, daya cerna serta meningkatnya daya simpan. Dalam melakukan proses fermentasi aktifitas mikroorganisme dipengaruhi oleh pH, suhu, komposisi zat makanan dan adanya zat inhibitor (Raudati dkk, 2001).
Pembuatan ampas kelapa menjadi pakan.
Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjono, 1989).  Aspergillus niger mempunyai kepala pembawa konidi yang besar, dipak secara padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memasang di atas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya mememrlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 °C - 37 °c. Derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2 - 8,8 tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah.
Ampas kelapa ditambah air, diaduk dan dikukus. Setelah didinginkan hingga mencapai suhu ± 70°C diaduk bersama campuran mineral, ditambahkan spora Aspergillus niger dan diaduk kembali sampai merata. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan difermentasi secara aerob dan anaerob. Ampas hasil fermentasi kemudian dikeringkan dan dikemas dalam wadah plastik.
Karakteristik kimia ampas kelapa segar
Hasil analisis proksimat ampas kelapa seperti disajikan pada Tabel 1. Dari hasil analisis diketahui bahwa ampas kelapa sebagai produk samping pengolahan minyak kelapa murni memiliki kadar protein kasar masih relative tinggi yaitu sebesar 11,35% dengan kadar lemak kasar 23,36%. Protein merupakan salah satu komponen yang terpenting pada pakan sehingga tingginya kadar protein pada ampas kelapa merupakan suatu keuntungan untuk diolah menjadi pakan. Namun demikian, lemak yang cukup tinggi merupakan kendala pada pengolahan ampas kelapa yang akan diolah menjadi pakan karena akan mempengaruhi kualitas pakan yang dihasilkan terutama dalam mempengaruhi umur simpan dan daya cerna pakan.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat terhadap ampas kelapa segar
Komposisi                                                       Kadar (%)
Kadar air                                                         11,31
Protein kasar                                                   11,35
Lemak kasar                                                    23,36
Serat makanan                                                 5,72
Serat kasar                                                       14,97
Kadar abu                                                      3,04
Kecernaan bahan kering in vitro                     78,99
Kecernaan bahan organik in vitro                   98

Karakteristik fisik dan kimia ampas kelapa setelah difermentasi
Komposisi kimia ampas kelapa setelah difermentasi seperti disajikan pada Tabel 2. Fermentasi merupakan salah satu metode yang digunakan dalam mengolah ampas kelapa menjadi pakan dengan menggunakan spora Aspergillus niger. Proses fermentasi dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu fermentasi aerob dan fermentasi an aerob (proses enzimatis), sebelumnya telah dilakukan pada bungkil kelapa (Purwadaria et al., 1995; Helmi et al. 1999).
Pertumbuhan Aspergillus niger pada proses fermentasi ditandai dengan adanya miselium. Secara visual pertumbuhan miselium dapat dilihat dengan timbulnya serabut-serabut menyerupai benang halus dan memadatnya ampas. Perlakuan fermentasi menghasilkan struktur, warna, bau, dan juga komposisi kimia yang berbeda dari ampas kelapa yang belum difermentasi, terutama dalam meningkatkan kadar protein dan menurunkan lemak. Fermentasi juga menyebabkan kehilangan berat kering pada ampas, yaitu sebesar 16,67% pada ampas yang telah difermentasi secara aerob dan 5% setelah proses enzimatis. Analisis yang dilakukan terhadap kehilangan bahan kering menunjukkan terjadinya kehilangan bobot air selama proses fermentasi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana selama proses fermentasi, dimana pada saat itu juga terjadi pelepasan molekul air. Secara visual pelepasan molekul air dapat terlihat dengan adanya air pada plastik yang digunakan sebagai wadah/tempat ampas difermentasi.
Tabel 2. Hasil analisis kandungan kimia ampas kelapa hasil fermentasi
Komposisi                                                       Kadar
Kadar air (%)                                                  8,32
Protein (%)                                                      26,09
Asam amino (%)                                            
asam aspartat                                                   0,16
asam glutamat                                                 1,268
serin                                                                 0,216
glisin                                                                0,132
histidin                                                            0,213
arginin                                                             0,681
threonin                                                           0,229
alanin                                                               0,214
prolin                                                              0,303
tirosin                                                              0,277
valin                                                                0,300
methionin                                                        1,224
sistin                                                                0,164
isoleusin                                                          0,249
leusin                                                               0,825
phenilalanin                                                     0,324
lisin                                                                  0,315
Lemak (%)                                                      20,70
Aflatoksin (ppb)
B1                                                                   < 4
B2                                                                   < 3
G1                                                                   < 4
G2                                                                   < 3
Kecernaan Bahan Kering in vitro (%)             95,1
Kecernaan bahan organic in vitro (%)             98,82

Fermentasi ampas kelapa juga mampu meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, dimana komponen ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pakan tersebut dapat dipergunakan dan dicerna oleh ternak. Hasil analisa menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) secara in vitro ampas kelapa sebelum dan setelah difermentasi cukup tinggi (Tabel 1 dan 2). Peningkatan kecernaan bahan kering ampas setelah difermentasi menunjukkan adanya proses pemecahan bahan yang tidak dapat dicerna. Penggunaan suhu ruang pada proses enzimatis juga mendukung diperolehnya nilai kecernaan yang tinggi (Supriyati et al., 1999). Purwadaria et al. (1995) menerangkan bahwa pada proses enzimatis bungkil kelapa ternyata suhu kamar lebih efektif dibandingkan dengan suhu 50°C.
Menurut Sudarmadji et al. (1989) efektifitas proses enzimatis juga dipengaruhi oleh suhu optimum berkembangnya Aspergillus niger yaitu 35 – 37°C. Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh jenis kapang Aspergillus terutama Aspergillus flavus dan memiliki daya racun yang cukup tinggi. Kandungan aflatoksin pada pakan dapat dijadikan indikator aman tidaknya pakan tersebut untuk diberikan kepada ternak. Hasil analisis terhadap aflatoksin produk hasil fermentasi ampas kelapa yang dilakukan pada penelitian ini mempunyai kandungan aflatoksin yang relative aman untuk ternak, dimana ambang batas yang diijinkan untuk pakan ternak yaitu pakan dengan kandungan Aflatoksin < 20 ppb.
Analisis pertambahan berat badan dan penurunan kolesterol darah
Penggunaan ampas kelapa Fermentasi sampai 12 % sangat nyata efisien dibanding dengan menggunakan ampas kelapa, hal ini menunjukan dengan kemampuan ternak ayam mengkonsumsi 1 kg ransum dapat membentuk rata-rata 0,59 kg bobot hidup sedang menggunakan ampas kelapa hanya mampu membentuk bobot hidup rata-rata 0,45 kg. Fermentasi ampas kelapa dapat meningkatkan kualitas bahan makanan dan mudah dicerna oleh ayam pedaging.
Hal ini memperkuat pendapat Winarno, dkk (1980) menyatakan bahwa fermentasi pada dasarnya memperbanyak miroorganisme dan meningkatkan kualitas zat-zat makanan serta menambah aroma. Selain itu melalui proses fermentasi bahan makanan akan mengalami perubahan fisik dan kimia yang menguntungkan seperti Flavor, tekstur, daya cerna dan daya tahan simpan (Rachman, 1989). Menurut Purawisastra (2001) menyatakan bahwa ampas kelapa mengandung serat galaktomanan sebesar 61 % yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah.
Balasubramanian (1976) melaporkan bahwa analisis ampas kelapa kering (bebas lemak) mengandung 93%  karbohidrat yang terdiri atas: 61% galaktomanan, 26% manosa dan 13% selulosa. Galaktomannan dapat memicu pertumbuhan bakteri usus yang membantu pencernaan dan berperan sebagai serat makanan. Seperti dikutip Duodecim Medical Publication, Finlandia, galaktomannan direkomendasikan sebagai salah satu obat untuk mengatasi hiperlipidemia atau lebih dikenal dengan kadar lemak darah tinggi. Galaktomannan efektif menangkap lemak dan mengubahnya menjadi gumpalan-gumpalan dan keluar bersama feses. Galaktomannan mampu menurunkan serum total kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol 10 – 15%. Sedangkan kadar high density lipoprotein (HDL) dan trigliserida tidak berubah.

16.       Limbah Ampas Sagu
Ampas sagu  (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. ampas clanelod. Ampas yang dihasilkan dari proses extraksi ini sekitar 14% dari total berat basah batang sagu (Flach, 1997). Hasil analisis komposisi zat makanan ampas sagu yang dilakukan oleh Hangewa (1992) sebagai berikut : protein kasar 2,3%, serat kasar 18,86%, BETN 70,04% dan gross energi 4148 Kkal . Dari hasil analisis ini tergambar bahwa ampas sagu masih cukup tersedia sebagai sumber energi bagi ternak, akan tetapi yang menjadi faktor pembatas adalah kandungan protein kasar rendah dan serat kasar tinggi. Sehingga perlu dilakukan fermentasi untuk meningkatkan nilai gizi pada ampas sagu. Pemanfaatan kapang Aspergillus niger sebagai starter  dalam proses fermentasi ini dirasa paling cocok dan sesuai dengan tujuan fermentasi, yaitu untuk menurunkan kadar serat dan sekaligus dapat meningkatkan kadar protein kasarnya. Natamijaya (1988) telah  membuktikan bahwa penambahan ampas sagu non fermentasi dan fermentasi sampai kadar 10% dan 25% dari total ransum, memberi respon yang cukup baik terhadap pertumbuhan ayam buras periode grower.
Indonesia memiliki areal tanaman sagu yang sangat luas, yang diperkirakan mencapai 850.000ha (Soekarto dan Wijandi, 1983). Salah satu kendala yang dihadapi oleh usaha peternakan adalah belum tercukupinya kebutuhan nutrisi terutama protein pakan, sehingga ternak belum dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pakan di daerah tropis kebanyakan bermutu rendah dengan serat kasar yang tinggi. Keadaan ini merupakan tantangan bagi sektor peternakan, karena perlu mencari pakan alternatif untuk meningkatkan produksi ternak.
Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha produksi ternak unggas di Indonesia. Hal ini akan semakin nyata, apabila sumber daya tersebut bukan merupakan kebutuhan langsung bagi kompetitor, seperti manusia atau jenis ternak lain. Oleh karena pakan sangat erat kaitannya dengan produktivitas dan biaya produksi, maka pemanfaatan bahan baku lokal secara efisien akan berpengaruh nyata terhadap perkembangan ternak. Penetapan prioritas bahan baku lokal perlu didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan daya kompetisi secara ekonomi dan kualitas. Kriteria yang perlu
menjadi perhatian dalam kaitannya dengan efisiensi dan kompetisi adalah jumlah dan ketersediaan bahan pakan. Agar efisien, bahan tersebut harusnya tersedia dalam jumlah yang besar, ada sepanjang tahun dan terkonsentrasi.
Bahan baku yang mempunyai karakter tersebut umumnya terkait dengan industri, yang menghasilkan berbagai produk baik yang bersifat sampingan maupun limbah. Bahan baku lokal untuk tiap daerah berbeda tergantung pada kondisi daerah tersebut. Maluku yang dikenal sebagai daerah produsen sagu mempunyai limbah dari industri pengolahan tepung sagu yang berlimpah. Sagu merupakan salah satu sumber daya nabati di Indonesia yang mulai akhir tahun tujuh puluhan makin meningkat pemanfaatannya, sebagai akibat dari program pemantapan swasembada pangan nasional dan permintaan akan bahan baku industri dan energi. Potensi sagu di Maluku cukup besar, walaupun pada beberapa wilayah telah terjadi pengalihan status pemanfaatan lahan sagu untuk pemanfaatan lain (Louhenapessy 1998).
Ampas sagu merupakan limbah yang didapatkan pada proses pengolahan tepung sagu, dimana dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas sagu dalam perbandingan 1 : 6 (Rumalatu 1981). Jumlah limbah yang banyak tersebut, sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dibiarkan menumpuk pada tempat - tempat pengolahan tepung sagu sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Kalaupun ada ternak yang memanfaatkannya, hanya ternak-ternak yang berada di sekitar lokasi pengolahan tepung sagu, yang langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas tanpa dikontrol. Pemanfaatan limbah atau ampas sagu sebagai pakan alternatif merupakan suatu hal yang baik, walau disadari bahwa pemanfaatannya perlu mendapat sentuhan teknologi, karena ampas sagu mempunyai keterbatasan untuk digunakan sebagai pakan yaitu kandungan serat kasarnya tinggi dan proteinnya rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pendahuluan sebelum diberikan kepada ternak. Cara pengolahan limbah yang sudah dikenal antara lain pengolahan fisik, kimia dan biologi.
Produksi dan pengembangan usaha ternak unggas di pedesaan ditentukan sistem pemeliharaan, Produktivitas ternak rendah membutuhkan perhatian khusus clan penanganan pembibitan untuk penyediaan bibit yang baik (dalam jumlah clan kualitas) Kompiang (1995) mengatakan bahwa salah satu penunjang perkembangan peternakan ayam buras adalah tersedianya pakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Ampas sagu  (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. Pemanfaatannya masih terbatas dan biasanya dibuang begitu saja ketempat penampungan atau  kesungai yang ada disekitar daerah penghasil. Olehnya itu ampas sagu berpotensi menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.
Pada pengolahan sagu dijumpai limbah/hasil ikutan yang berupa kulit batang, ampas clanelod. Ampas yang dihasilkan dari proses extraksi ini sekitar 14% dari total berat basah batang sagu (Flach, 1997) . Di sentra-sentra produksi limbah ampas sagu pada umumnya belum dimanfaatkan,
Komposisi Ampas Sagu
Dari batang sagu ini melalui proses ekstraksi diperoleh tepung sagu. Limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan tersebut, yaitu terutama ampas dan limbah cair belum banyak dimanfaatkan, sehingga sering menimbulkan masalah karena mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pangsopan et al. (1984) menyatakan bahwa ampas sagu dapat dipergunakan sebagai bahan pakan untuk sapi Peranakan Onggol sampai tingkat 45% dalam ransum. Kendala utama dalam penggunaan ampas sagu untuk pakan ternak, terutama untuk ternak monogastrik, karena nilai gizinya rendah dan kandungan serat kasarnya tinggi . Haryati et al. (1995) mendapatkan bahwa kandungan protein pada ampas sagu hanya 1,65%, akan tetapi kandungan patinya masih cukup tinggi, yaitu 45,90%.
Di daerah Maluku tersedia dan belum banyak dimanfaatkan oleh peternak akibat kurangnya informasi penggunaannya . Hasil analisis komposisi zat makanan ampas sagu yang dilakukan oleh Hangewa (1992) sebagai berikut : protein kasar 2,3%, serat kasar 18,86%, BETN 70,04% dan gross energi 4148 Kkal . Dari hasil analisis ini tergambar bahwa ampas sagu masih cukup tersedia sebagai sumber energi bagi ternak, akan tetapi yang menjadi faktor pembatas adalah kandungan protein kasar rendah dan serat kasar tinggi. Tepung sagu dapat diolah menjadi bahan yang kaya akan protein dan vitamin untuk makanan ternak, dengan teknologi fermentasi . Ampas sagu yang telah difermentasi meningkat kadar proteinnya sampai 14% (puslit13 Angnak, 1997).
kandungan Zat Nutrisi Ampas Sagu Sebelum dan Sesudah fermentasi
Zat Nutrisi
Sebelum Fermentasi
Sesudah fermntasi
Peningkatan (%)
protein (%)
3,84
23,08
601,04
Lemak (%)
1,48
1.90
128,38
Abu (%)
5.40
9.50
175,93
Ca (%)
0,32
0,48
150
P (%)
0,05
0,48
960.00
Lemak Kasar (%)
14,51
28,89
199.10
Energi (Kkal/kg)
1.352
1.543
144.13

Peningkatan Nilai Gizi Ampas Sagu
Potensi penggunaan ampas sagu sebagai pakan memiliki faktor pembatas adalah kandungan protein kasarnya rendah dan serat kasar tinggi. Agar  menjadi bahan pakan ternak yang kaya akan protein dan vitamin, berdasar riset ini maka ampas sagu dapat diolah dengan teknologi fermentasi .  Dengan proses fermentasi, kadar protein ampas sagu dapat meningkat sampai 14 %. Prosedur fermentasi ampas sagu sama dengan prosedur fermentasi.
Tahapan Fermentasi ampas sahu
1.      Ampas sagu yang digunakan dijemur sampai kering selanjutaya diayak untuk memisahkan tepung elasagu dari serat.
2.      Tepung ampas sagu kering dibasahi sampai agak lembab (basah), lalu dikukus selama 30 menit atau sampai terasa lengket .
3.      Ampas sagu yang telah matang dibiarkan dingin betul, kemudian ditimbang dan ditambahkan urea sebanyak 3% dari berat ela sagu basah diaduk sampai rata lalu ditambahkan Aspergillus niger (dapat juga mengunakan ragi tape) sebanyak 3 – 5 gram/kg ela sagu, dicampur hingga homogen.
4.      Ampas sagu yang telah diberi ragi ditempatkan dalam wadah yang bersih, bebas air dan minyak, ditutup rapat selama 48 - 72 jam baru dibuka.
5.      Ampas sagu yang telah mengalami fermentasi sempurna memiliki ciri-ciri sebagai berikut : aroma khas/aroma buah atau beraroma seperti tape ketan, warna agak kemerahan, teksturnya lembut dan rasanya agak manis. Hasil fermentasi dijemur sampai kering dan siap digunakan dalam ransum
Proses fermentasi mempunyai kelebihan antara lain: tidak mempunyai efek  samping yang negatif, mudah dilakukan, relatif tidak membutuhkan peralatan khusus dan biaya relatif murah.  Pemanfaatan kapang Aspergillus niger sebagai starter  dalam proses fermentasi ini dirasa paling cocok dan sesuai dengan tujuan fermentasi, yaitu untuk menurunkan kadar serat dan sekaligus dapat meningkatkan kadar protein kasarnya. Aspergillus niger merupakan kapang yang sangat mudah tumbuh dalam suasana aerob, bersifat selulolitik dan sangat cepat perkembangbiakannya.  Banyak penelitian proses fermentasi yang telah dilakukan menggunakan Aspergillus niger,  utamanya dalam upaya penurunan kadar serat bahan pakan dan peningkatan kadar proteinnya.
Penggunaan  Ampas Sagu Dalam Ransum Unggas
Pemakaian tepung sagu dalam ransum ayam buras umur 12 minggu juga menghasilkan pertambahan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum tanpa tepung sagu, hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Natamijaya (1988). Secara umum, riset ini membuktikan bahwa penambahan ampas sagu non fermentasi dan fermentasi sampai kadar 10% dan 25% dari total ransum, memberi respon yang cukup baik terhadap pertumbuhan ayam buras periode grower.
Harry Tum dan Batsebat Wiro (1999) telah memberikan ampas sagu terhadap ayam buras selama 8 (delapan) minggu di Desa Koya Barat, Kotamadya Jayapura. Pada pengkajian ini pertambahan bobot badan ayam buras tertinggi sebesar 100 gr/minggu berada dibawah rata-rata hasil pengkajian terdahulu (120 gr/minggu) dengan tambahan 20% sagu (Uhi et al ., 1997) .
Natamijaya et al. (1988) melaporkan bahwa pemakaian tepung sagu dalam ransum ayam buras umur 12 minggu menghasilkan pertambahan berat badan yang cukup tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa tepung sagu, dengan angka konversi pakan sebasar 3,5. Bamualim et al. (1991) melaporkan penggunaan tepung putak yaitu isi batang gewang (Coriphagebanga) yang dikombinasi dengan jagung sampai dengan tingkat 80% pada ayam buras periode grower menghasilkan rata-rata pertambahan berat badan sebesar 380-470 gram/ekor/bulan, dengan angka konversi sebesar 3,1- 4,09 .
Menurut Muller (1977) tepung sagu kelas dua atau ampas sagu sebagai pengganti jagung atau biji-bijian dalam ransum ayam dan babi pada semua periode umur yang perlu diperhatikan adalah kandungan serat kasar . Bila kandungan serat kasar di atas 5% maka kandungan amilosanya cukup tinggi sebaiknya digunakan dalam ransum pertumbuhan dan induk dan tidak cocok untuk anak ayam.
Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah tingkat energi, keseimbangan asam amino, tingkat kehalusan ransum, keaktifan ternak, berat badan, kecepatan pertumbuhan dan suhu lingkungan. Dari hasil pengujian ini disimpulkan bahwa  penambahan ampas sagu non fermentasi dan fermentasi sampai dengan kadar 10% dan 25% dari total ransum memberikan respon yang cukup baik terhadap pertumbuhan ayam buras periode grower .

17.       Tepung Limbah Udang
Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan budi daya ternak. Biaya yang dikeluarkan untuk bahan pakan (ransum) pada peternakan unggas adalah biaya terbesar yaitu berkisar 60 – 70 persen dari seluruh biaya produksinya. Tepung ikan adalah bahan baku pakan yang menyebabkan mahalnya harga ransum, karena tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sehingga lebih dari setengah, yaitu   200 ribu ton/tahun kebutuhan tepung ikan Indonesia disuplai dari impor.  Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan peternak skala kecil dan menengah perlu bahan pakan alternatif sebagai pengganti tepung ikan ini. Salah satu bahan pakan alternatif adalah limbah udang (shrimp head waste).
Industri pengolahan udang beku Indonesia berkembang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir ini, sejalan dengan meningkatnya produksi udang. Indonesia termasuk negara pengekspor udang terbesar di dunia. Data BPS tahun 2004 menunjukkan produksi udang Indonesia sebesar 240.000 ton dan produksi ini meningkat sebesar 14 % per tahun. Tahun 2005 produksi udang mencapai angka 250.000 ton. Apabila udang segar ini diolah menjadi udang beku, maka sebesar 35% – 70% dari bobot utuh akan menjadi limbah udang, kualitasnya bervariasi tergantung jenis udang dan proses pengolahannya.
Ekspor udang umumnya berupa udang tidak beku, udang beku dan udang dalam kaleng.  Produk udang beku sebagian besar berupa produk tanpa kepala (headless) dan produk udang kupasan (peeled). Dari bagian udang yang terbuang tersebut ada bagian yang masih layak bagi konsumsi, misalnya bagian kepala dan dada udang (cephalothorax).  Namun karena nelayan belum memiliki teknologi mempertahankan kesegaran udangnya, bagian tubuh udang tersebut tidak tertangani dengan baik sehingga cepat  rusak dan membusuk sehingga daripada menjadi beban, limbah udang tersebut lebih baik dibuang.Oleh karena itu dirasa perlu dilakukan pembahasan yang lebih mendalam mengenai kemungkinan penggunaan tepung limbah udang ini untuk menggantikan tepung ikan dalam ransum broiler.

Deskripsi Limbah Udang
            Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan yang merupakan sisa sampai tidak mungkin untuk dimanfaatkan kembali. Salah satu usaha pengolahan limbah adalah menjadikannya sebagai pakan ternak.  Proses pengolahan limbah menjadi pakan ternak dapat dilakukan secara kering (tanpa fermentasi) yaitu dengan mengeringkannya, baik menggunakan alat pengering atau maupun dengan sinar matahari. Kemudian dicincang, selanjutnya dijemur pada sinar matahari sampai kering yang ditandai dengan cara mudah dipatahkan atau mudah hancur kalau diremas. Setelah kering limbah ditumbuk menggunakan lesung atau alat penumbuk lainnya, kemudian dilakukan pengayakan (Anonima, 2008).
Udang  sebagai  salah  satu  komoditi  ekspor  terbagi  atas  tiga  macam,  yaitu (1) produk  yang  terdiri  dari  bagian  badan  dan  kepala  secara  utuh ,  (2)  badan tanpa  kepala dan  (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian  tersebut merupakan  limbah  industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang (Mudjima,1986 dalam Abun 2009).

Klasifikasi udang secara ilmiah :
Kerajaan          :Animalia
Filum               :
Arthropoda
Upafilum         :
Crustacea
Kelas               :
Malacostraca
Ordo                :
Decapoda
Upaordo          :
Pleocyemata
Infraordo         : Caridea

Proses Pembuatan Tepung Limbah Udang
Tepung limbah udang (LU) terbuat dari limbah udang sisa hasil pengolahan udang setelah diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah bagian kepala, cangkang dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit. Kualitas dan kandungan nutrien LU sangat tergantung pada proporsi bagian kepala dan cangkang udang (Djunaidi. dkk, 2009).

Menurut (Mirzah, dkk. 2007) proses pembuatan tepung udang terdiri dari beberapa tahapan antara lain :
1.      Mempersiapkan limbah udang yang dapat diperoleh dari pasar tradisional, industri pengalengan atau pembekuan udang.
2.      Sebelum diolah limbah udang ini dibersihkan dari benda-benda asing yang melekat dan dicuci dengan air segar.
3.      Perendaman dengan larutan filtrat air abu sekam (FAAS) 20 %  selama 48 jam. Untuk memperoleh larutan abu sekam padi 20 % dilakukan dengan melarutkan 200 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih. Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya dan siap digunakan.
4.      Selanjutnya dipanaskan dengan autoclave selama 45 menit, dan langsung digiling menjadi bentuk pasta.
5.      Dilanjutkan dengan proses fermentasi dengan EM­-4 dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dengan lama fermentasi 11 hari.
6.      Kemudian di keringkan dengan cahaya matahari lalu digiling

Penggunaan bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan menggunakan larutan filtrat air abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan. Hasil penelitian Mirzah (2006), menunjukkan bahwa perendaman limbah udang dalam larutan filtrat air abu sekam (FAAS) 10% selama 48 jam dan dikukus selama 45 menit dapat menurunkan kitin dari 15,2% menjadi 9,87% dan meningkatkan kecernaan protein kasar dari 50% menjadi 70,50%, sedangkan kandungan zat-zat makanan lain tidak banyak berubah, yaitu bahan keringnya 86,40%, protein kasar 38,98%, lemak 4,12%, kalsium 14,63%, fosfor 1,75%, dan asam amino kritis seperti metionin 0,86%, lisin 1,15%, triptopan 0,35%, serta retensi nitrogen 66,13% dan energy termetabolis 2204, 54 kkal/kg. TLU hasil olahan dengan FAAS 10% tersebut lebih baik dibandingkan TLU tanpa diolah, yaitu dengan kandungan protein kasar 42, 6%, lemak 5,43%, kitin 15,24%, retensi nitrogen 55,23%, energi
termetabolis 1984,87 kkal/kg, dan kecernaan protein 52,00%, namun kualitas TLU olahan itu perlu dievaluasi secara biologis melalui pemberian ransum kepada ayam broiler.
Pengolahan limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%. Filtrat air abu sekam sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam padi yang telah diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan abu sekam padi 10% diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih. Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya dan siap digunakan. Setelah direndam selanjutnya limbah udang dikukus selama 45 menit, dan dikeringkan dengan cahaya matahari dan akhirnya digiling. Kandungan zat-zat makanan TLU tanpa olahan dan diolah dibandingkan dengan tepung ikan.
Untuk meningkatkan kualitas dan memaksimalkan pemanfaatan limbah udang ini, maka sebelum diberikan pada ternak perlu dilakukan  pengolahan,   yaitu yang dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan kandungan khitinnya.  Penggunaan teknologi pengolahan pakan yang tepat guna, untuk tujuan meningkatkan kualitas nutrisi limbah udang sangat diperlukan agar pemanfaatan proteinnya maksimal. Berbagai perlakuan pengolahan dapat dilakukan antara lain perlakuan fisik, kimia dan biologis serta kombinasinya.
Namun waktu  fermentasi cukup lama, yaitu sampai 14 hari. Waktu pengolahan yang sangat lama ini tidak efektif dan efisien dalam penyediaan bahan baku pakan unggas. Selain Lactobacillus sp, juga dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pruduksi ternak, sebagian besar terdiri dari genus Lactobacillus sp, bakteri fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai selulosa dan ragi yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin pada limbah udang (Kyusey Nature Farming Societies, 1995;  Indriani, 2003).
Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat meningkatkan kandungan nilai gizi dan  kualitas nutrisi TLU dibandingkan TLU hasil preparasi dengan FAAS saja. Penggunaan inokulum dengan kultur campuran (EM-4) lebih baik dibandingkan  inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus sp).  Produk TLU olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan EM-4 dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari.
Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Udang
            Tepung limbah udang mengandung semua asam amino essensial, juga    sebagai sumber asam amino aromatik seperti fenilalanin dan tirosin yang    kandungannya lebih tinggi daripada tepung ikan, lisin   cukup tinggi yaitu 4,58% serta sumber asam amino bersulfur (S) dengan kandungan metionin sebesar     1,26 % (Purwatiningsih,1990). Perbandingan kandungan nutrisi antara tepung limbah udang dan tepung ikan terdapat pada tabel 1.
            Tabel 1. Kandungan Nutrisi Antara TLU dan Tepung Ikan.
Nutrien
TLU tanpa diolah
TLU olahan
Tepung Ikan
Air (%)  
8,96
14,60
8,21
Bahan kering (%) 
91,04
86,40
91,79
Protein kasar (%)
39,62
39,48
49,81
Lemak (%)   
5,43
4,09
4,85
Serat kasar (%) 
21,29
18,71
1,78
Abu (%) 
30,82
30,94
16,29
Kalsium (%) 
15,88
14,63
3,17
Fosfor (%)    
1,90
1,75
0,37
Khitin (%)  
15,24
9,48
-
Metionina (%)      
1,16
0,86
1,58
Lisin (%)          
2,02
1,15
3,51
Triptopan (%)      
0,53
0,35
0,59
Retensi nitrogen (%)     
55,23
66,13
77,20
Energi metabolis (kkal/kg)  
1984,87
2204,54
3080,00
Kecernaan protein (in vitro)
52,00
70,47
80,62

udang cukup baik meskipun tidak sebaik yang dimiliki oleh tepung ikan. Hal ini memperlihatkan bahwa potensi tepung limbah udang  dapat di rekomendasikan kepada peternak untuk menggantikan tepung ikan karena selain mudah untuk didapatkan, bahan ini tentu saja lebih ekonomis dibandingkan bila menggunakan tepung ikan. Terdapat perbedaan kandungan nutrisi antara tepung limbah udang tanpa diolah dan Tepung limbah udang yang telah mengalami proses pengolahan.
            Bila dihitung secara nominal berdasarkan kandungan protein kasar pada limbah udang, maka pada tahun 2004 diperoleh limbah udang sebesar 66,3 ribu ton atau setara 88,5 ton protein kasar. Jumlah tersebut merupakan potensi bahan baku pakan sebagai sumber protein hewani yang sangat besar, namun dibalik beberapa kelebihan yang dimiliki limbah udang ini memiliki beberapa kekurangan seperti tingginya kandungan serat kasar dan terdapatnya kandungan zat antinutrisi khitin yang menyebabkan kecernaan terhadap protein menjadi rendah.
Senyawa Khitin
Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin dan khitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion  (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben maka khitin dan khitosan dari limbah udang berpotensi dalam memcahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah didapatkan.
Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari khitin dan mineral terutama kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan khitin-protein-kalsium karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan protein yang terikat dalam khitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium karbonatnya sampai 15-30% (Foster dan Webber, 1960; Walton dan Blackwell, 1973). Adanya ikatan khitinprotein- kalsium karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna protein limbah udang ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%), dan khitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% - 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992)
            Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah. Khitin adalah polisakarida alamiah yang menyebabkan kerasnya kulit crustaceae (udang) dan molusca (kerang) serta dinding sel fungi dan alga tertentu.
Protein atau nitrogen yang ada pada limbah udang ini berikatan erat dengan kitin dan kalsium karbonat dalam bentuk komplek ikatan senyawa protein-kitin-kalsium karbonat, sehingga “bioavailability” oleh ternak unggas sangat rendah, di samping itu, ternak unggas tidak mempunyai enzim kitinase pada saluran pencernaannya. (Mirzah, 2007)
Kandungan khitin yang tinggi menyebabkan limbah udang mempunyai kecernaan yang rendah yaitu kadar khitin 3 % dalam ransum ayam broiler yang akan menekan konsumsi ransum dan pertumbuhan . Oleh sebab itu sebelum digunakan sebagai bahan pakan dalam ransum broiler limbah udang itu harus mendapat penanganan dan pengolahan yang baik untuk meningkatkan nilai gizinya. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.
Penggunaan Tepung Limbah Udang dalam Ransum Broiler
            Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ayam merupakan hal yang mungkin dapat dipakai, disamping menambah variasi dan persediaan bahan baku ransum yang tidak bersaingan dengan manusia, mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat  menekan biaya ransum, dimana 60—70% dari komponen biaya produksi adalah biaya ransum.

18.       Limbah Kulit Nanas
Pakan merupakan komponen terbesar, yakni mencapai 60%, dari biaya produksi peternakan. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh jenis bahan bakunya. Untuk menekan biaya pakan, peternak atau perusahaan penggemukan mau tidak mau harus mencari alternatif bahan baku yang dapat dijadikan pakan berkualitas baik dan murah. Dalam ransum, kulit nanas diambil manfaatnya sebagai sumber serat dan energi bagi ruminansia. Sementara kebutuhan akan proteinnya dipasok dari campuran bungkil-bungkilan dan urea. Bahan baku pakan bersumber dari limbah industri ini cukup tersedia sepanjang tahun. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak dengan daging buah berwarna kuning yang mempunyai kandungan air yang dimiliki buah nanas adalah 90%. Nanas kaya akan Kalium, Kalsium, lodium, Sulfur, Khlor, Asam, Biotin, Vitamin B12, Vitamin E serta Enzim Bromelin. Dalam bahasa Inggris, nanas disebut pineapple yang berasal dari persamaan bentuk buah pohon pinus yaitu pine-cone (biji atau buah cemara). Sebutan ini pertama kali tercatat pada tahun 1398, yang asalnya dulu digunakan untuk menjelaskan organ reproduksi dari pohon conifer. Ketika bangsa Eropa melakukan eksplorasi laut (menjelajah dunia) maka ditemukanlah buah tropikal ini, bangsa Eropa menyebutnya “pineapples”. Dalam bahasa ilmiah, nama dari nanas adalah Ananas Comosus. Kata Ananas asalnya dari bahasa Tupi (Tupian Languages) sebuah suku yang tinggal di daerah Rio de Janeiro, Brazil, kependekan dari pine ananas (kata ini tercatat pada 1555 oleh Andre Thevenet). Sementara kata Comosus berarti “berumbai” (tufted) yang didasarkan pada bentuk tangkai/batang buah yang mempunyai daun berumbai-rumbai. Pada genus atau kerabat nanas lainnya sering juga disebut pine saja. (AAK, 1998).
Sebenarnya nanas (Ananas Comocus) bukanlah tanaman asli Indonesia, tetapi pendatang dari Brazilia,Argentina, dan Paraguay. Pada saat ini nanas telah tersebar luas keseluruh dunia. Negaraproduksi nanas yang terkenal ialah Hawaii, Taiwan, dan kuba. Di Indonesia tanaman nanas banyak terdapat di Bogor, Purwakarta, Palembang, Riau, Jambi, dan sebagainya yang luasnya mencapai lebih dari 28.000 hektar dengan produksi mencapai 1999.400 ton per tahun. Hal itu disebabkan tanaman mudah tumbuh dan tidak banyak memerlukan perawatan. Sedangkan resikokegagalan dalam bertanam nanas jarang terjadi. Pemasaran hasilnya mudah asalkan manis dan tidak gatal. Oleh karena itu, kualitas buah sangat menentukan pemasarannya. (Natawidjaja.1993)
            Produksi buah nanas secara nasional mencapai sekitar 702 ribu ton per tahun dan sebagian besar disumbang oleh lima wilayah utama penghasil nanas. Potensi tanaman nanas sebagai sumber pakan ternak dimungkinkan, apabila terdapat industri yang akan mengolahan buah nanas menjadi produk hasil olahan seperti sari nanas. Tingkat rendemen sekitar 15%, atau dihasilkan produk limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging buah sebesar 85%. Walaupun tidak seluruh produksi tanaman nanas digunakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolah yang ada, secara potensi terdapat sekitar 596 ribu ton per tahun limbah segar nanas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Bila dikonversikan kedalam bahan kering dengan kadar air 24%, maka terdapat potensi sebesar 143 ribu ton per tahun limbah nanas kering.. Kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi memungkinkan bahan tersebut digunakan untuk menggantikan rumput sebagai pakan dasar untuk ternak ruminansia.
            Pengolahan limbah nanas untuk menghasilkan bahan pakan ternak pada dasarnya limbah nanas mengandung air dalam jumlah besar, sehingga membutuhkan pengeringan secara intensif dan cepat untuk menghindari kerusakan bahan. Namun, limbah nanas dapat pula diproses menggunakan teknologi fermentasi untuk menghasilkan produk silase limbah nanas. Hal ini dimungkinkan karena kandungan air sebesar 75% sesuai bagi proses pembuatan silase (McDonald, 1981).     
            Teknologi ini dapat mengatasi masalah cepatnya limbah mengalami kerusakan apabila tidak segera dikeringkan. Dengan demikian pengolahan limbah menjadi silase dapat menghindari proses penggilingan maupun pengeringan, karena silase limbah dapat langsung digunakan sebagai pakan ternak ruminansia dasar. Hal ini dengan sendirinya berpotensi untuk mengurangi biaya pengolahan secara signifikan, walaupun untuk mengolah limbah kedalam bentuk silase juga membutuhkan biaya, antara lain untuk pembuatan silo dan bahan aditif. Diperlukan analisis efisiensi ekonomis untuk mengetahui proses pengolahan yang paling optimal dalam memanfaatakan limbah nanas tersebut yang hasilnya akan ditentukan oleh skala produksi.
            Limbah nanas mengandung serat (NDF) yang relatif tinggi (57,3%), sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu hanya 3,5%. Oleh karena itu, potensi penggunaannya bukan sebagai komponen penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan dasar penyusun ransum. Limbah nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung sebagai pakan dasar, sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit limbah harus digiling terlebih dahulu. Sebagai pakan dasar, limbah nanas diharapakan dapat meminimalisir ketergantungan akan pengadaan hijauan pakan bagi kebutuhan ternak. (Winarno.1993).

Kandungan Nutrisi
            Nutrisi Komposisi Bahan Kering 54,2%. Bahan organik 91,9%. Abu 8,1%. Protein Kasar 3,6%. NDF 57,3%. ADF 31,1%. Energi Kasar 4481 Kkal/kgBK. Energi Cerna 2120 Kkal/kg BK Kulit buah dan serat perasan daging buah nanas merupakan sumber energi yang potensial untuk ternak ruminansia. Kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi memungkinkan bahan tersebut digunakan untuk menggantikan rumput sebagai pakan dasar. Limbah nanas berupa campuran serat perasan daging buah dan kulit buah sebagai produk sisa pengolahan buah segar menjadi jus nanas.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Zat Makanan Limbah Nanas (%) Bahan Kering
Komposisi
PK
SK
Abu
LK
BETN
Daun, segar
9.1
23.6
4.9
1.6
60.8
Daun, silase
6
22.8
10
2.9
58.3
Dedak nanas, kering
3.5
16.2
5.2
0.5
74.6
Kulit
6.4
16.7
4.1
0.9
71.9
Mahkota
7.2
25.4
3.7
0.8
62.9
Pucuk
7
22.3
4.1
0.8
65.7
Inti
7.1
19.7
2.3
1
69.9
Hiasan
6.8
16.2
2.6
0.9
73.5
Ampas
7.8
21.9
4.4
1.2
64.7
Sumber : Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan, R.Murni, Suparjo, Akmal, BL.Ginting. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. 2008
            Hasil intensifikasi tanaman pangan tidak hanya mengahsilkan bahan pangan, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak.
            Menurut Devendra (1987), manyebutkan bahwa pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agroindustri dan bahan pakan nonkonvensional sangat penting dillakukan karena dapat digunakan sebagai substitusi kekurangan hijauan maupun sebagai pengganti hijauan, salah satu limbah pertanian yang memiliki potensi besar yaitu limbah nanas.( Hutagulang et al, 1978).
            Adapun dalam pengamatan nilai kecernaan terhadap Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) menunjukkan hasil yang cukup baik dimana teradi peningkatan daya cerna sampai 40%. Pemberian ransum dengan serat kasar yang rendah secara kontinyu dapat mengadaptasikan ternak ruminansia terhadap karbohidrat yang mudah dicerna selain itu bakteri yang merombaknya juga meningkat. (Arora, 1989).
Berikut adalah tabel analisis proksimat kulit nanas dan beberapa kandungan kimia yang terkandung didalam buah nanas yang berdasarkan berat basah.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Limbah Kulit Nanas Berdasarkan Berat Basah
Komposisi
Rata-rata Berat Basah (%)
Air
86,70
Protein
0,69
Lemak
0,02
Abu
0,48
Serat basah
1,66
Karbohidrat
10,54
Sumber: Sidharta (1989)
Dari data tersebut menunjukkan bahwa kandungan air pada nanas lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein, lemak, abu, serat basah dan karbohidratnya.
Berikut ini adalah hasil analisis proksimat bahan pakan yang berasal dari limbah industri.

Tabel 3. Analisis proksimat limbah nanas
Bahan
BK
Abu
PK
Lemak
SK
Beta-N
Ca
P
Ampas nanas
89,6
4,5
4,5
15,8
1,60
63,9
-
-
Sumber : http://intannursiam.wordpress.com/2010/08/25/bahan-makanan-ternak-limbah-industry-perkebunan/
Dari tabel diatas industri pengalengan nanas menghasilkan limbah berupa kulit, mahkota daun dan hati buah nanas sebanyak 30-40%. Bila buah nanas tersebut diproses menjadi juice atau sirup akan diperoleh limbah lagi yaitu ampas nanas. Ampas nanas masih mengandung kadar gula tinggi dan serat kasarnya juga cukup tinggi tetapi proteinnya rendah.
Tabel. 4 Komposisi Nanas (%)
Buah
Sihid
Protein
Asam Citrat
Gula Reduksi
Surkosa
Fibre
Abu
Nanas segar
12,5-16,1
0,42-0,50
0,8-1,5
1,2-9,7
1,7-10,32
0,17-0,3
1,4-0,7
Nanas kalengan
17
0,43
0,35
9,72
5,12
-
0,4

Menurut Kayser, Nanas segar mengandung zat padat 16,72%, asam citrat 0,63%, gula invert 4% dan sakrosa sekitar 8,6 gram/100cc. Buah mengandung manitol +1% asam terdiri dari sitrat dan malat (13% dari keseluruhan sitrat) zat warna karotine (1,5-2,5 mg/kg) abu terdiri dari KO 0,24,CaO 0,04, MgO 0,02.
Selain buahnya, bagian tanaman nenas yaang lain dapat pula dimanfaatkan seperti kulit buah. Kulit buah nenas dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak yang disebut silase. Silase adalah produk fermentasi an-aerobik bakteri asam laktat yang berasal dari hijauan dengan kadar air tinggi. Silase merupakan bahan pakan yang basah dan lembut, sehingga disukai ternak dan tidak mengganggu kelancaran sistem pencernaan.
Limbah nanas, baik hasil pengalengan maupun limbah tanaman dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak ruminansia. Nilai gizi limbah nanas lebih tinggi dibandingkan dengan limbah tanaman lainnyas. Penyusun utama limbah nanas adalah karbohidrat mudah larut terutama gula. Limbah nanas mengandung provitamin A sekitar 80.000 I.U berdasarkan bahan kering (BK). Pemanfaatan limbah nanas dalam bentuk kering atau dalam bentuk dedak lebih menguntungkan daripada bentuk segar atau basah. (Montgomery dkk,1993).
            Berdasarkan kandungan nutriennya, ternyata kulit buah nanas mengandung karbohidrat dan gula yang cukup tinggi yang baik dikonsumsi oleh ternak ruminansia. Menurut Wijana, dkk (1991) kulit nanas mengandung 81,72 % air; 20,87 % serat kasar; 17,53 % karbohidrat; 4,41 % protein dan 13,65 % gula reduksi. Mengingat kandungan karbohidrat dan gula yang cukup tinggi tersebut maka kulit nanas juga memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan kimia, salah satunya etanol melalui proses fermentasi.

19.       Akar Alang-Alang
Kebutuhan akan penggunaan tanaman obat sebagai suplemen (feed supplement) sudah sangat umum digunakan pada ransum ternak. Kandungan zat gizi yang diperlukan semakin tinggi menyebabkan kebutuhan bahan pakan semakin meningkat. Feed supplement yang digunakan haruslah aman bagi ternak dan juga diperlukkan untuk dapat meningkatkan kualitas karkas dan performans pada ayam broiler.  Suplementasi pada pakan dapat diberikan dalam bentuk ekstrak ataupun dalam bentuk tepung, seperti yang digunakan pada penelitian ini yaitu akar alang-alang (Imperata cylindrica).
Akar alang-alang (Imperata cylindrica) dapat dimanfaatkan untuk  pakan ternak, memiliki kandungan seperti  asam asetat, asam oksalat, asam malat, dan asam sitrat  yang berperan dalam peningkatan efesiensi metabolisme energi dalam tubuh. Penggunaan suplementasi ekstraks akar alang-alang (Imperata cylindrica) sampai level 4 g/kg pakan dapat meningkatkan kualitas karkas pada ayam broiler, sedangkan pada penggunaan suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica) yang diberikan pada level 1 % dapat memperbaiki nilai konsumsi ransum dan menekan kelainan pada kaki ayam broiler.
Dalam bahan pakan atau ransum diperlukannya feed supplement agar dapat meningkatkan penyerapan berbagai macam zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh ternak dan menghambat perkembangan mikrobia.  Zat anti mikrobia yang ada dalam tanaman obat seperti akar alang-alang (Imperata cylindrica) dapat meningkatkan berat badan dan efisieni penggunaan pakan, dimana zat ini membantu dalam membasmi mikroba patogen didalam saluran pencernaan sehingga zat makanan dapat dimanfaatkan secara efisien.
Kriteria kualitas karkas dan performans ayam
Ayam broiler adalah galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan cirri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging baik, dada lebih besar dan kulit licin (North and Bell, 1990). Menurut Rasyaf (1999) ayam broiler merupaakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur 1–5 minggu. Selanjutnya dijelaskan bahwa ayam broiler yang berumur 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan ayam broiler tersebut didukung oleh sifat genetic dan keadaan lingkungan yang meliputi makanan, temperature lingkungan dan pemeliharaan. Pada umumnya di Indonasia ayam broiler sudah dipasarkan pada umur 5- 6 minggu dengan berat 1,3 – 1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena ayam broiler yang sudah berat sulit dijual (Rasyaf, 1999).
Karkas ayam
Karkas ayam brioler adalah bagian dari ayam broiler hidup, setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker). Klasifikasi berdasarkan cara penanganannya, dibedakan menjadi : Karkas segar ialah karkas segar yang baru selesai diproses selama tidak lebih dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut. Karkas dingin segar ialah karkas segar yang segera didinginkan setelah diproses sehingga suhu di dalam daging mencapai antara 4-5°C. Karkas beku ialah karkas yang telah mengalami proses pembekuan cepat atau lambat dengan suhu penyimpanan antara 12-18°C.
Ayam broiler merupakan ternak unggas yang potensial karena mampu menyediakan daging dalam jumlah yang banyak dan cepat sebagai sumber protein. Komposisi pakan yang baik dapat meningkatkan performans dan kualitas karkas pada ayam broiler. Performans ayam broiler juga dapat ditingkatkan dengan pemberian feed supplement berupa suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica). Untuk memperoleh ayam broiler dengan karkas dengan kualitas baik, dibutuhkan zat nutrisi yang lengkap dan seimbang  dalam ransumnya. Kriteria karkas yang baik dapat dilihat dari bentuk tulang dada yang normal, melengkung, panjang, ramping seperti perahu, punggung rata, pertumbuhan daging paha, sayap, dan dada baik dan berisi, warna kuning dan cerah, daging lunak dan lentur, tekstur kulit halus, bau tidak amis, dan dagingnya banyak.
Akar alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tanaman obat-obatan yang kaya akan senyawa metabolis dan memiliki beberapa khasiat antara lain sebagai pakan ternak, obat-obatan seperti : pelembut kulit, peluruh air seni, pembersih darah, penambah nafsu makan, dan sebagai penghenti pendarahan. Alang-alang dapat berbiak dengan cepat, dengan benih-benihnya yang tersebar cepat bersama angin, atau melalui rimpangnya yang lekas menembus tanah yang gembur. Rumput ini senang dengan tanah-tanah yang cukup subur, banyak disinari matahari sampai agak teduh, dengan kondisi lembab atau kering.
Di kalangan masyarakat umum, alang–alang (Imperata cylindrica)  merupakan sejenis tanaman liar pengganggu yang merusak keadaan tanah dan sebagi sumber utama timbulnya bahaya kebakaran pada tanaman budidaya dan hutan (Dove dan Mortopo 1987). Selain itu alang–alang (Imperata cylindrica)  juga dianggap sebagi saingan tanaman budidaya kerana alang–alang  berkembang  biak  dengan  stolon  yaitu  batang–batang  menjalar  dibawah tanah yang mempunyai mata tunas ada setiap buku batangnya dan tumbuh menjadi  tanaman baru lebih cepat dari tanaman budidaya ( Sukman dan Yakup 1995 ). Akar alang-alang (Imperata cylindrica) memiliki kandungan seperti  asam asetat, asam oksalat, asam malat, dan asam sitrat  yang berperan dalam peningkatan efesiensi metabolisme energi dalam tubuh dan dapat meningkatkan pertambahan berat badan (PBB) serta efisiensi pakan.
Kandungan nutrisi
Akar alang-alang (Imperata cylindrica) memiliki kandungan nutrisi seperti protein 1,54 %, energi 3728 Kkal/kg, SK 0,24 %, lemak 0,29 %, Ca 0,16 % dan P 0,28%. Metabolit yang telah ditemukan pada akar alang-alang terdiri dari arundin, ferfenol, flavonoid, kampesterol, stigmasterol, ß-sitosterol, katekol, asam oksalat, asam sitrat, potassium (0,75% dari BK), sejumlah besar kalsium sejumlah besar kalsium dan 5-hidroksitriptamin. Dari hasil penelitian lain terhadap akar dan daun ditemukan 5 macam turunan flavonoid yaitu turunan 3′,4′,7-trihidroksi flavon, 2′,3′-dihidroksi kalkon dan 6-hidroksi flavanol. Suatu turunan flavonoid yang kemungkinan termasuk golongan flavon, flavonol tersubstitusi pada 3-0H, flavanon atau isoflavon terdapat pada fraksi ekstrak yang larut dalam etilasetat akar alang-alang (Imperata cylindrica). Pada fraksi ekstrak yang larut dalam air akar alang-alang (Imperata cylindrica)  ditemukan golongan senyawa flavon tanpa gugus OH bebas, flavon, flavonol tersubstitusi pada 3-0H, flavanon, atau isoflavon (Anonim,2003). Akar alang-alang (Imperata cylindrica)  juga mengandung Air (81,00714%), Karbohidrat (6,3072%), Serat (5,8580%), Abu (1,1301%), monitol, senyawa K, sakarosa, glukosa, malic acid,  citric  acid,  arundoin,  cyllindrin,  fernenol,  simiarenol,  dan anemonin  (Mursito 2000).
Tabel 1. Komposisi gizi akar alang-alang (Imperata cylindrica)
Gizi
Ekstrak  (% BK)
Tepung   (% BK)
Protein kasar
1,54
2,61
Lemak
0,29
0,37
Abu
3,98
3,91
Serat Kasar
0,24
0,52
Dari data tersebut, kandungan gizi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica)  lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan gizi ekstrak akar alang-alang (Imperata cylindrica). Namun kadar abu ekstrak akar alang-alang yang terkandung lebih tinggi sedikit dari kadar abu tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica).
Setelah melakukan pengamatan terhadap ekstrak akar alang-alang pada kualitas karkas ayam broiler dan tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica)  pada performans ayam broiler, menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi ekstrak akar alang-alang (Imperata cylindrica) sampai pada level 4 g/kg pakan dapat meningkatkan kualitas karkas pada ayam broiler, sedangkan penggunaan suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica) pada level 1 % berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan berat badan, memperbaiki nilai konversi ransum dan dapat menekan kelainan pada kaki ayam broiler. Semakin meningkatnya level suplementasi tepung akar alang-alang (Imperata cylindrica) maka semakin tidak efisiennya penggunaan ransum.
Penggunaan akar alang-alang (Imperata cylindrica)  dalam pakan atau ransum unggas dapat mengurangi gulma tanaman para petani, karena yang kita tahu bahwa alang-alang (Imperata cylindrica)  hanyalah rumput atau tanaman pengganggu, baik yang tumbuh di tepian sawah, jalan, lapangan maupun dihalaman rumah. Sehingga penggunaan akar alang-alang (Imperata cylindrica)  untuk pakan ternak dapat mengurangi keresahan para petani atau masyarakat disekitaran tumbuhnya alang-alang ini.
Daun alang-alang yang masih muda dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia, sebagai tambahan pakan hijauan, walaupun pemberiannya tidak banyak namun pemanfaatannya cukup baik dan bisa diterima oleh masyarakat. Selain itu, tanaman alang-alang dapat digunakan sebagai obat tradisional ataupun herbal, dan juga dapat juga dikonsumsi oleh manusia, tentunya dengan produk alang-alang (Imperata cylindrica)  yang telah diolah baik olahan rumah maupun industri.



20.       Semak Bunga Putih
Pemanfaatan Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata) dalam Ransum sebagai pakan ternak mempunyai potensi yang tinggi untuk meningkatkan pertambahan bobot badan pada ternak dan memberikan keuntungan secara ekonomis serta juga bermanfaat dalam konsentrat pakan ternak sebagai konsumsi dan prtambahan bobot badan serta menghasilkan konversi pakan.
Semak bunga putih merupakan gulma bagi pertanian karena pertumbuhannya yang cepat, sehingga menggu produksi tanaman pertanian dan dapat menutupi lahan pertanian.
Klasifikasi ilmiah dari semak bunga putih (Chromolaena odorata)
Kingdom         : plantae
Diviso              : Magnoliohyta
Kelas               : Magnoliopsida
Sub-kelas         : Asterales
Familia            : Asteraceae
Genus              : Chromolaena
Spesies            : Chromolaena odorata (Wikipedia, 2011)
Chrolaena dikenal pula dengan nama tekelan maupun kirinyuh. Semak bunga putih merupakan tumbuhan perdu berkayu tahunan. Gulma ini mempunyai cirri khas: daun berbentuk segita, mempunyai tiga tulan daun yang nyata terlihat dan bila diremas akan terasa bau yang khas, percabangan berhadapan, perbungaan majemuk yang dari jauh terlihat berwarna putih. Penyebaran meliputi 50 – 1000 m diatas permukaan laut (Nasution, 1986).

Marthen (2007) memaparkan berbagai hal yang menuntungkan dengan memanfaatkan tanaman semak bunga putih sebagai pakan ternak yaitu :
1.      Kandungan protein tinggi (21 – 36%) setara dengan lamtoro, turi dan gamal
2.      Produksi Protein kasar 15 ton/ha/tahun
3.      Memiliki keseimbangan asam amino yang baik untuk ternak monogastrik
4.      Degradabilitas efektif dalam rumen > 80%
5.      Palatabilitas lebih baik dari gamal
6.      Suplementasi sampai 30 % dalam ransum meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ternak kambing.
Kandungan asam amino semak bunga putih yaitu alanine (4,03%), arginine (4,96%), glysine (4,61%), lysine (2,01%), methionine (1,58%), cystine (1,30%), leucine (7,01%), valine (6,20), dan asam glutamic (9,38%) (Marthen, 2007). Hasil analisa proksimat tepung semak bunga putih menunjukkan bahwa protein kasar (25,51%), bahan kering (89,94%), lemak kasar (1,88%), serat kasar (11,17%), dan abu (15,92%) (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak USU, 2008), sedangkan kandungan energinya sebesar 3.583,5 kkal/kg (Loka Penelitian Kambing Sei Putih), Ca (0,14%), dan P (0,42%) ( Lab. Sentral FP USU).
Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
            Pemanfaatan semak bunga putih (chromolaena odorita) ini diberikan kepada unggas dalam entuk teung setelah semak bunga putih dikeringkan dan digiling sehingga bentuknya menjadi tepung. Pemberian tepung semak bunga putih dicampur dengan bahan pakan yang lain dengan persentase yang berbeda dalm ransum sehingga dapat dilihat bagaimana palatibiltas konsumsi pertambahan bobot badan maupun konversi ransumnya terhadap ayam pedaging.
Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Hasil penelitian Sagala (2009) menyatakan bahwa, tepung daun semak bunga putih dapat digunakan sebagai bahan pakan burung puyuh sampai pada level 10% dalam ransum. Dan dari hasil penelitian Ginting (2009) menyatakan bahwa pengaruh semak bunga putih (chromolaena odorata) dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh tidak nyata terhadap konsumsi ransum dan konversi ransum hingga level 10%.
Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50 %
Disamping itu sesuai pernyataan Marthen, (2007), Chromolaena odorata mengandung protein yang tinggi (21-36%) setara dengan turi, lamtoro dan gamal; produksi protein kasar sebesar 15 ton/thn, memiliki keseimbangan asam amino yang baik.

Kandungan nilai nutrisi semak bunga putih (Chromolaena odorata):
Nutrisi
%
Bahan kering
Protein kasar
Ekstrak eter
Serat kasar
Abu
Nitrogen Free Ekstrak
87-40
18-36
1.01
11.67
3.63
65.03
Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50 %
Penelitian di Pakistan oleh Bamikole dan Osemwenkhoe (2004) menunjukkan bahwa tepung daun semak bunga putih dapat ditambahkan dalam pakan kelinci sampai level 35%.
Tepung semak bunga putih dapat digunakan sebagai konsentrat sampai level 35 % dalam ransum kelinci jantan umur 8-18 minggu.
Kandungan tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009).
Semak bunga putih berpotensi pakan ternak, karena memiliki kandunga protein yang cukup tinggi, setara dengan lamtoro serta memiliki keseimbangan asam amino yang baik untuk ternak monogastrik (Mulik, 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar